Thursday 3 September 2015

tasawuf sunni filsafat

TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FALSAFI

Tasawuf Sunni
A.    Pengertian
          Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf  yang berusaha memadukan aspek hakekat dan syari'at,  yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada Allah SWT, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur'an, sunnah dan shirah para sahabat. Konsep-konsep tasawuf sunni (ahlussunnah) diambil dari Islam dan tidak campur-aduk dengan pemikiran di luar Islam.1Dengan kata lain, sufi yang menganut mainstream tasawuf sunni senantiasa mengontrol tasawuf mereka dengan pertimbangan syariat dan tasawuf mereka terliput dalam bentuk akhlak.2
          Tasawuf sunni disebut juga tasawuf akhlaki, keduanya identik karena ajaran tasawuf akhlaki menekankan akhlak dalam kehidupan kaum muslimin.3Namun, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memagari tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah secara ketat.4
          Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksisitensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenali dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (meghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya Nur Ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan)5.

B.     Perkembangan Tasawuf Sunni
          Tasawuf sunni muncul pada abad ketiga dan keempat hijriah (masa pengembangan). Pada abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu sehingga di angan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat  sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekan oleh semua orang terlebih oleh kaum salaf. Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak yang terpuji.
          Pada abad kelima hijriah tasawuf sunni memenangkan pertarungan dengan tasawuf semi falsafi. Kemenangan ini dikarenakan menangnya teologi Ahl Sunnah wa al Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al Hasan al Asy’ari (w. 324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al Busthamy dan al Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syathahiyat-nya yang dianggap bertentangan dengan kaidah dan akidah Islam.6
             Beberapa tokoh sufi sunni pada abad kelima hijriah adalah al Qusyairi, al Harawi dan Al Ghazali. Pada abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
          Di Indonesia, tasawuf sunni adalah tasawuf yang lebih dulu berkembang baik secara nadzari (teoritis) dan amali (praktis). Syaikh Nur Al-Din Ar-Raniri dan Syaikh ‘Abd As-Shamad Al-Palimbani dikenal sebagai pelopor bagi perkembangan tasawuf Sunni di Indonesia, karena metode dan ajaran-ajaran yang disampaikan sedikit banyak diserap dari hasil karya pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali, salah satu karyanya “Ihya Ulum Ad-Din” merupakan salah satu pegangan wajib bagi pengajaran tasawuf Sunni pada masanya dan hingga saat ini. Raniri berupaya keras dalam menanamkan serta mengembangkan ajaran tasawuf Sunni, hal ini tidak lain demi menunjukkan sikap antipati terhadap keadaan sosial masyarakat ketika itu, yang sangat mengagungkan materi sebagai gaya hidup. Tasawuf Sunni disamping sebagai sikap juga dapat dikatakan sebagai alternatif dan solusi untuk menghindarkan masyarakat dari kecintaan terhadap hal-hal duniawi. Sepeninggal Raniri, ‘Abd Shamad Al-Palimbani berdiri tegak untuk meneruskan semangat perjuangan gurunya meskipun banyak pertentangan dimana-mana, Raniri yang begitu keras memperjuangkan tasawuf Sunni dengan mengadakan kampanye anti-tasawuf falsafi mendapat kecaman yang luas, meskipun pada akhirnya tetap mendapatkan tempat di masyarakat, perjuangannya tidaklah sia-sia dan berhenti sampai disitu. Al-Palimbani muncul untuk mengusung visi dan misi yang sama dengan gurunya. Dengan berbekal ilmu dari berbagai negeri yang telah ia kunjungi, Al-Palimbani tetap mengajarkan para pengikut tasawuf Sunni dengan ajaran-ajaran yang telah disampaikan sebelumnya.

C.    Karakteristik Tasawuf Sunni
    Berikut adalah karakteristik dari tasawuf sunni :7
a.      Melandaskan diri pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
          Tasawuf jenis ini, dalam pengejawantahan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur`ani dan Hadist sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang berada di luar pembahasan al-Qur`an dan hadist. Al-Qur`an dan Hadist yang mereka pahami, kalaupun ada penafsiran, penafsiran itu bersifat hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam.
b.      Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.
          Terminologi-terminologi dikembangkan tasawuf sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathahat. Kalaupun ada terma yang mirip syathahat, itu dianggapkan merupakan pengalaman pribadi, dan mereka tidak menyebarkannya kepada orang lain.
c.       Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
          Dualisme yang dimaksudkan di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apa pun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dappat menyatu dengan Tuhan.
d.      Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at.
          Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek bathiniyah) dengan fiqh (sebagai aspek lahiriyah). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham di atas. Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap berada pada posisi atau kedudukannya sebagai objek penerima informasi dari Tuhan.
e.       Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

D.    Tokoh-Tokoh Tasawuf Sunni
          Berikut adalah beberapa tokoh tasawuf sunni dan pemikirannya tentang tasawuf:
1.      Abdul Karim bin Hazin (al Qusyairi)
          Abdul Karim bin Hazin lahir di Istiwa’, salah satu kawasan di Naisamburi tahun 276 H. Ia lebih dikenal dengan nama Qusyairi. Qusyairi merupakan salah satu tokoh penting dalam tasawuf Islam pada kurun kelima hijriyah. Urgensinya itu tak lain disebabkan oleh tulisannya tentang tasawuf dari para sufi kurun ketiga dan keempat hijriah, yaitu sufi-sufi yang mempunyai mainstream sunni. Qusyairi menjaga perkataan-perkataan mereka, dan kontribusi mereka dalam tasawuf dan tinjauan teoritis maupun praktis.8
          Al Qusyairi merupakan seorang penulis sufi yang sangat mumpuni. Dia mampu menggabungkan telaah atas suatu konsep yang sangat sulit dengan paparan yang jelas dan tegas, serta mampu menggabungkan analisis yang tepat dengan anekdot-anekdot teatrikal. Karya al Qusyairi dalam bidang tasawuf Al Risalah al Qusyairiyah al Tashawwuf dianggap sebagai momentum penting dalam perkembangan gerakan tasawuf. Dan, bisa jadi karya ini merupakan karya tasawuf klasik yang paling terkenal dan diakui karena kedalaman, ketajaman, dan kejelasan pembahasannya.9
          Qusyairi adalah keturunan Arab, dan tumbuh di Naisamburi yang merupakan salah satu pusat keilmuan masa itu. Di sanalah Qusyairi bertemu dengan gurunya, Abi Ali ad Diqaq, yang merupakan tokoh sufi terkemuka. Qusyairi mengambil jalan kesufian darinya. Gurunya tersebut memerintahkan kepadanya untuk menguasai keilmuan-keilmuan syariat terlebih dahulu. Sehingga Qusyairi harus belajar ilmu fikih kepada seorang ahli fikih bernama Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar at Thusi, belajar ilmu kalam dan usul fikih kepada Abu Bakar bin Furik dan Abi Hasan Al Isfirayin, dan juga pernah mempelajari kitab al Baqilani. Oleh karena itu, tertanam pada diri Qusyairi akidah ahli sunnah wa al jama’ah.10
          Qusyairi merupakan salah satu pembela utama aliran tersebut pada masanya dari hujaman-hujaman akidah Mu’tazilah, Karamiyah, Muajssimah, dan Syiah. Sehingga ia mendapatkan tekanan sangat keras hingga dipenjara selama lebih dari satu bulan. Orang-orang yang membaca Risalah Qusyairiyah akan melihat dengan sangat jelas kecenderungan Qusyairi dalam membenarkan tasawuf sesuai dengan akidah ahli sunnah. Ia berkata: “Ketahuilah! Syekh-syekh kelompok ini (sufi) telah membangun kaidah-kaidah mereka di atas sebuah prinsip yang benar dalam bertauhid, dan menjaga akidah mereka dari bid’ah.”
          Sehingga, mereka bersandarkan pada apa yang ada pada diri salaf dan ahli sunnah. Misalnya, akidah yang tak menandakan sebuah penyerupaan dan peliburan aktifitas Allah, dan mengukuhkan keberadaan wujud dari ketiadaan. Oleh karena itu, berkatalah pemimpin kelompok ini yang bernama Juanid: “Tauhid adalah menjauhkan zat yang dahulu dari sesuatu yang baru.” Mereka membangun prinsip-prinsip dalam akidah dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas sebagaimana yang dikatakan oleh al Jarin: “Ilmu tauhid mereka tidak dilandaskan pada sebuah bukti-bukti yang menyesatkan.”11
          Perkataannya tersebut menandakan pengingkarannya terhadap sufi-sufi yang identik dengan syathahat, yaitu mereka yang mengatakan sebuah ungkapan yang menimbulkan adanya tumpang tindih antara sifat-sifat ketuhanan, terutama adalah sifat dahulu dengan sifat-sifat manusia, terutama sifat barunya (hadist). Bahkan dalam beberapa tempat lainnya, Qusyairi dengan sangat jelas mengkritisi mereka dengan mengatakan: “Mereka mengklaim dirinya telah terbebas dari segala belenggu, dan telah mencapai hakikat kesampaian dengan Tuhan. Mereka berdiri bersama al Haq yang telah memberlakukan hukum-hukumnya kepada mereka, sedangkan mereka dalam keadaan fana’. Sehingga Allah tak patut dipersalahkan atas apa yang telah mereka perbuat telah tersingkap oleh mereka rahasi-rahasia keesaan, dan setelah mengalami kesirnaan diri, mereka berada dalam cahaya keabadian ...”12
          Qusyairi juga mengkritisi sufi-sufi semasa dengannya yang senantiasa mengenakan pakaian-pakaian orang miskin dan pakaian-pakaian bulu, sedangkan perbuatannya bertentangan dengan pakaian yang dikenakannya itu. Oleh karena itu, Qusyairi menekankan adanya perbaikan batin dengan berpegangan pada al Qur’an dan sunnah. Dalam hal ini, ia berkata: “Wahai saudaraku! Janganlah tertipu dengan apa yang telah engkau lihat dari sebuah penampilan luar atau penamaan-penamaan. Segala tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan dari kesucian adalah sebuah penyelewengan. Segala bentuk batin yang bertentangan dengan dhahir adalah salah. Segala bentuk tauhid yang tidak dibenarkan oleh al Qur’an dan sunnah adalah atheis dan bukan istiqomah adalah sebuah penyesatan dan bukan pengetahuan.”13
          Qusyairi juga memberikan gambaran lain tentang penyelewengan para sufi tentang tasawuf dari orientasi awalnya. Sehingga menurutnya tasawuf perlu diperbaiki, yaitu dengan mengembalikannya kembali pada akidah ahl sunnah wal jama'ah dan mensuritauladani sufi-sufi sunni yang telah disebutkannya dalam risalahnya itu.14
2.      Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al Ansari (al Harowi)
          Salah satu sufi yang menyandarkan tasawufnya dengan sangat jelas pada akidah Ahli Sunnah, dan termasuk para pembaharu tasawuf pada kurun kelima hijriah adalah al Harowi. Ia termasuk orang-orang yang menentang keras mereka yang bersyatahat semisal Bustami dan Halaj.15
          Al Harawi adalah Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al Ansari. Ia lahir di Bahrah salah satu kawasan di Kharasan pada tahun 396 H. Ia sebagaimana yang dikatakan oleh Massignon adalah salah satu fuqaha’ terkemuka dan Madzhab Hambali. Karya-karyanya dalam tasawuf sangatlah bernilai. Di saat ia merupakan seorang bermadzhabkan Hambali, maka ia sangat menyukai aliran Asy’ariyah.16
          Salah satu kitab terpenting al Harowi dalam tasawuf adalah Manazilul Sairin ila Rabbil Alamin. Yaitu sebuah kitab yang sangat ringkas yang di dalamnya menggambarkan maqam-maqam sufi dan tingkatan-tingkatannya, dari titik permulaan hingga keberakhiran. Ia berkata : “Mayoritas ulama golongan ini (sufi) sepakat bahwa titik keberakhiran tak sah tanpa pembenaran terhadap permulaan. Sebagaimana bangunan tak mungkin berdiri dengan tanpa adanya sebuah pondasi. Pembenaran terhadap permulaan adalah melaksanakan perintah dengan penuh keikhlasan, dan mengikuti sunnah.”17
          Al Harowi merupakan pemilik teori fana’ dalam tauhid sebagaimana Junaid, yang dijelaskan dan dibela oleh Ibn Qayyim dalam Madarij Salikin, dan memberikan sebuah himbauan adanya perbedaan antara teori tersebut dengan penyatuan (ittihad) dan wahdatul wujud (penyatuan wujud). Al Harowi mengatakan bahwa fana’ mempunyai tiga tingkatan, dengan mengatakan : “Fana’ adalah lenyapnya segala sesuatu selain Allah secara pengetahuan. Kemudian adalah pengingkaran, dan setelah itu adalah kebenaran”. Fana’ yang pertama menyatakan lenyapnya sebuah pengetahuan dan peleburannya dalam diri zat yang diketahui (Allah). Karena zat yang diketahuinya membuat seorang sufi tak mengetahui dirinya sedniri. Sedangkan fana’ yang kedua adalah pengingkaran terhadap segala bentuk selain Allah saat berada dalam kondisi absen. Ini merupakan pengingkaran tak hakiki. Sehingga terkadang seorang sufi absen dari alam tanpa mengingkari wujudnya. Inilah perbedaan antara teori penyatuan dengan teori al Harowi sebagaimana yang dikatakan oleh ibn Qayyim : “Orang-orang penganut paham penyatuan mengingkari segala sesuatu selain Allah secara keseluruhan, sehingga berrkata : “Tak ada sesuatu dari  berbagai macam tinjauan”.18
                  
                   15Ibid, hlm. 179-180
             16Ibid, hlm. 180
             17Ibid, hlm. 180
             18Ibid, hlm. 180-181
          Fana’ yang ketitiga adalah pelenyapan secara hakiki. Setelah kesirnaan seorang sufi dari kesaksian terhadap sesuatu selain Allah, maka ia akan mengalami kesirnaan diri. Ibn Qayyim berkata : “Fana’ dalam tauhid adalah fana’ yang khusus bagi al Muqorrobin (orang-orang yang dekat dengan Allah).”19
          Ibn Qayyim membandingkan fana’ dalam pemikiran al Harowi dengan fana’ dalam konsep penyatuan, dengan mengatakan : “Fana’ terhadap wujud segala sesuatu selain Allah, adalah fana’ orang-orang atheis yang mengatakan akan kesatuan wujud, yang menyatakan tak ada sesuatu selain Allah, dan tujuan seorang salik adalah sna’ dalam wahdatul wujud, meniadakan ‘perspektif banyak’ dan keberagaman dan berbagai macam pandangan. Mereka tak menyaksikan selain Allah, bahkan menyaksikan wujud seorang hamba satu wujud dengan Tuhan. Tak ada sesuatu yang hakiki menurut mereka selain Tuhan.”20
          “Sedangkan fana’ terhadap kesaksian segala sesuatu selain Allah adalah fana’ yyang telah dinyatakan oleh mayoritas sufi masa terakhir, dan mereka anggap sebagai sebuah tujuan. Inilah arti fana’ yang dipahami oleh Abu Ismail al Ansari (al Harowi) dalam kitabnya dan dianggap sebagai tingkatan ketiga di tiap-tiap bab dalam kitabnya. Yang mereka kehendaki bukanlah fana’ terhadap segala wujud selain Allah dalam alam nyata, namun adalah fana’ mereka terhadap kesaksian-kesaksian dan penginderaan terhadapnya. Hakikatnya adalah keabsenan mereka dari kesaksian-kesaksian selain dari apa yang sedang disaksikannya. Bahkan keabsenannya dari kesaksian atas keberadaannya sendiri. Sebab ia mengalami keabsenan karena apa yang disembahnya, dan kesaksian terhadap hamba-hamba-Nya. Kondisi semacam ini terkadang dinamakan sebagai mabuk, ketercerabutan, dan lain sebagainya.”21
          Al Harowi dari tinjauan dirinya sebagai penganut paham sunni juga mengkritisi sufi-sufi yang mengungkapkan sebuah syathahat. Ia berkata : “Salah satu dari mereka (sufi-sufi yang menyeleng) ada orang yang membedakan tingkatan-tingkatan khusus, dan orang-orang umum. Sebagian dari mereka adalah seseorang yang menganggap syathahat sebagai sebuah tingkatan (maqam), dan menyamakan antara pemilik eforia dengan sufi-sufi yang kokoh. mayoritas dari mereka tidak mengatakan tentang tingkata-tingkatan.”22
          Al Harowi sangat respek terhadap tingkatan ketentraman hati yang muncul dari sebubuah kerelaan terhadap Allah. ah kerelaan terhadap Allah. Yaitu sebuha tingkatan yang tercegah dari syatahat. Dalam hal ini, ia berkata : “Derajat yang keempat (dari ketiga tingkatan ketentraman) adalah ketentraman yang muncul dari sebuah kerelaan (ridha) dan


                   19Ibid, hlm. 181
             20Ibid, hlm. 181
             21Ibid, hlm. 181-182
             22Ibid, hlm. 182

tercegah dari syathahat yang menjijikkan, dan pemiliknya berhenti pada batasan sebuah derajat.”23
             Yang dimaksudnya dengan syathahat yang menjijikkan adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Yazid dan semisalnya, berbeda dengan Junaid, Sahal al Tustari, dan orang-orang yang seperti keduanya. sebab ketentraman yang telah mereka peroleh, telah mencegah diri mereka mengeluarkan perkataan-perkataan syathahat. Itu semua karena syathahat disebabkan oleh tidak adanya sebuah ketentraman. Sehingga di saat ketentraman tersebut bersemayam dalam hati, maka akan mencegahnya untuk mengeluarkan sebuah syathahat, atau penyebab-penyebabnya.24
          Sedangkan yang dimaksud dengan batasan sebuah derajat adalah berhentinya sufi pada tingkatan penyembahan dan tidak melampaui tingkatan penyembahan tersebut. di saat ketentraman tersebut tidak bersemayam selain dalam hati seorang wali atau nabi, maka ia mengingkari dengan sangat jelas akan kewalian al Bustami dan al Halaj karena syathahat yang keluar dari dirinya tersebut.25

3.       Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al Ghazali (al Ghazali)
          Imam al Ghazali dianggap sebagai pembela tasawuf sunni terdepan dalam Islam. Yaitu sebuah tasawuf yang didirikan di atas akidah ahli sunnah wa al jama;ah, zuhud, kesederhanaan pendidikan jiwa dan perbaikannya. Dalam hal ini, Imam al Ghazali sepakat dengan mainstream tasawuf al Qusyairi, al Harowi dan orang-orang sebelumnya yang mempunyai mainstream yang sama. Namun demikian, al Ghazali lebih besar ketimbang mereka secara keseluruhan dari tinjauan kepribadian, intelektualitas, tasawuf, dan keilmuannya. Maka tepat sekali jika al Ghazali dianggap sebagai sufi terbesar dalam Islam. Kontribusinya dalam tasawuf terhadap orang-orang setelahnya sangatlah besar.26
          Dalam bidang tasawuf al Ghazali membawa paham al Ma’rifah. Namun paham al Ma’rifahnya ini berbeda dengan al Ma’rifah yang dibawa oleh Zunnun al Misri, dan karena jasa al Ghazalilah tasawuf dapat diterima di kalangan ahli syariat.Bagi al Ghazali ma’rifah ialah mengetahui rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya mengenai segala yang ada.27
          Selanjutnya al Ghazali menjelaskan bahwa oorang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, atau ‘arif, tidak akan mengatakan kata-kata ya Allah atau ya Rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berasa berada di
          23Ibid, hlm. 183
             24Ibid, hlm. 182
             25Ibid, hlm. 182-183
             26Ibid, hlm. 183
             27Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 181
belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya akan memanggil temannya dengan kata-kata seperti itu.28
             Ma’rifah bagi al Ghazali juga mengandung arti memandang kepada wajah Tuhan. Namun bagi al Ghazali ma’rifah itu lebih dahulu urutannya daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah, dan mahabbah baginya bukan mahabbah dalam bentuk cinta yang diucapkan Rabi’ah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya yaitu cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain.29
          Menurut al Ghazali bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya yafng dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.30
          Al Ghazali mempunyai intelektualitas yang sangat luas dan medalam. Ia memiliki intelektualitas yang berbeda-beda pada masanya, dan mampu menguasainya dengan sangat mengherankan. Itu semua tampak dari karya-karya yang telah ditulisnya.31
          Al Ghazali sebagai seorang ahli fikih adalah bermadzhabkan Syahiyah, dan sebagai seorang ulama kalam adalah bermadzhabkan Asy’anyah. Di samping penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syariat, ia juga menguasai ilmu filsafat dan mantiq (ilmu logika), sehingga orang-orang yang mengkritisinya menganggap keilmuan al Ghazali dalam filsafat menyamai keilmuan para filsuf sendiri terhadapnya. Namun demikian, al Ghazali bukanlah seorang filsuf walaupun keilmuannya tentang filsafat sangatlah luas. Ia membantah filsafat sebagai jalan mencapai pengetahuan yakin, dan menganggap tasawuf dan metode intuisinya sebagai jalan mencapai pengetahuan yakin.32
          Al Ghazali membangun sebuah tasawuf suni yang didirikan atas dasar akidah ahli sunnah wa al jama’ah, dan berusaha menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh Gnostis dan berbagai macam segi yang telah mempengaruhi para filsuf muslim, Ismailiyah (salah satu sekte dalam Syiah), ihwan ash Shafa’, dan selainnya. Ia juga menjauhkan area tasawuf dan konsep ketuhanan Aristoteles, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teori emanasi dan penyatuan. Sehingga bisa dikatakan bahwa tasawuf al Ghazali bermainstreamkan Islam murni.33
          Al Ghazali kagum terhadap sufi-sufi kurun ketiga dan keempat hijriah yang bermainstreamkan suni. Ia mengambil keilmuan dari Haris al Muhasbi, dan sangat
                  
                   28Ibid, hlm. 181
             29Ibid, hlm. 182
             30Ibid, hlm. 182
             31Abu Wafa’ al Ghanami al Taftazani, op.cit.hlm. 192
             32Ibid, hlm. 192
             33Ibid, hlm. 193
mengaguminya seperti yang telah dikemukakan oleh Ibn Ibad Randi dalam Syarakh Himak : “Imam Abu Abdullah al Haris al Muhasibi, menulis sebuah kitab yang berjudul Nashaih, yang di dalamnya mengandung pemikiran-pemikiran tentang hawa nafsu dan kesunahan secara menyeluruh sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita, serta melakukan penelitian dan melihat segala sesuatu yang bisa memperbaiki perbuatan, kondisi, dan jiwa mereka, serta mejaga kesucian hati, dan menekankan kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam dosa.”34
          “Imam al Ghazali telah mengutipnya dalam salah satu bab di kitabnya dan bahkan mengemukakannya secara leterlek, setelah ia memuji penulisnya, menjelaskan kepada orang-orang yang tak mengetahuinya tentang keilmuan dan keutamaannya, dengan mengatakan : “Al Muhasibi merupakan orang yang sangat mumpuni dalam bidang ilmu muamalah. Pembahasannya tentang cela-cela yang ada dalam jiwa, penyakit-penyakit dalam amal perbuatan, dan segala sesuatu yang merusak ibadah, telah mendahului orang-orang yang membahas permasalahan tersebut.”35
          Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan dominasinya nuansa akhlak tasawuf al Ghazali. Perhatiannya dalam tasawuf sebagaimana al Muhasibi dan sufi-sufi kurun ketiga dan keempat, adalah tentang nafs (jiwa/hawa nafsu) manusia, dan bahaya-bahayanya, mekanisme melakukan pembinaan akhlak terhadapnya. Secara keseluruhan, tasawufnya adalah berkenaan dengan sebuah pembinaan.36
          Al Ghazali beranggapan bahwa pencapaian jalan sufi dalam tasawuf adalah memutuskan diri dari belenggu-belenggu nafs, membersihkannya dari akhlak-akhlak yang tercela dari sifat-sifatnya yang menjijikkan sehingga mampu mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, dan menghiasinya dengan ingatan-ingatan (zikir) kepada-Nya. Ia beranggapan pula bahwa para sufi adalah orang-orang yang sedang menempuh perjalanan yang paling baik, jalan mereka adalah jalan yang paling benar, dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Itu semua karena gerakan dan dirinya mereka, di dhahir dan batin mereka, adalah diperoleh dari cahaya lentera kenabian yang di belakangnya tak ada lagi cahaya yang mendapat penerangan darinya.” Namun itu tidak terjadi pada diri sufi-sufi pemilik syathahat, dan segala sesuatu yang dikhayalkannya semisal penyatuan (ittihad), penitisan (hulul), atau kesampaian. Al Ghazali beranggapan bahwa syathahat-syathahat yang mereka ucapkan adalah sebuah kesalahan yang tak patut diucapkan oleh seorang arifin (sufi) yang sempurna.37
                 
                  34Ibid, hlm. 193
             35Ibid, hlm. 193
             36Ibid, hlm. 193-194
             37Ibid, hlm. 194
          Al Ghazali beranggapan bahwa bahaya syathahat sangatlah besar bagi masyarakat umum. Dalam hal ini, al Ghazali menjelaskan kepada kita tentang dua model syathahat. Pertama adalah klaim yang sangat panjang yang muncul dalam sebuah kerinduan terhadap Allah dan kesampaian dengan-Nya, yang karenanya membuat orang-orang yang rancu pikirannya melalaikan perbuatan-perbuatan dhahir, dan akhirnya berujung pada klaim penyatuan, terangkatnya tirai penghalang, dan musyahadah (kesaksian). Orang-orang semacam itu menyerupai Husain bin Mansur al Halaj yang telah disalib karena publikasinya terhadap kalimat-kalimat semacam itu, dan sekaligus mereka bersandarkan pada perkataan-perkataan al Halaj yang mengatakan : “Aku adalah al Haq”, dan juga yang telah diceritakan tentang perkataan Abu Yazid al Bustami : “Maha suci aku, maha suci aku.” Al Ghazali beranggapan bahwa perkataan-perkataan tersebut sangat berhaya bagi orang awam, sehingga menjadikan sekelompok petani meninggalkan pertaniannya, dan memunculkan klaim-klaim semacam itu. Perkataan tersebut memang membuat nikmat dirasakan oleh watak manusia karena di dalamnya mengandung penguguran terhadap perbuatan, saat melakukan pensucian jiwa dan pencapaian pada tingkatan-tingkatan dan kondisi-kondisi.38
          Namun demikian, al Ghazali bisa memaklumi al Bustami dan mentakwil syathahatnya seperti : “Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah diriku,” dengan mengatakan bahwa perkataan Abu Yazid tersebut tak lain hanyalah sebuah pencitraan terhadap Allah.39
          Sedangkan model kedua dari syathahat adalah sebuah kalimat yang tak dapat dipahami, mempunyai penampakan-penampakan yang meruni, di dalamnya terdapat sebuah ungkapan yang muluk-muluk, dan di baliknya tidak terdapat sesuatu yang besar. terkadang tidak terpahaminya perkataan tersebut disebabkan oleh orang yang mengatakannya sendiri. Sebab terkadang itu muncul saat pikirannya sedang kacau dan imajinasinya memudar, yang disebabkan oleh tidak adanya penguasaan terhadap arti-arti kalimat, dan karena tidak adanya penguasa pula terhadap ilmu syariat, sekaligus tidak menguasai dalam pengungkapan, sehingga perkataan semacam itu tidak membawa manfaat sedikit pun, kecuali hanya merancukan hati dan membingungkan pikiran.40

Tasawuf Falsafi
A.    Pengertian
          Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran
                  
                   38Ibid, hlm. 195
             39Ibid, hlm. 195-196
             40Ibid, hlm. 196
filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.41
          Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para sufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar, yang dikenal dengan syatahat, yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami, yang seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar.42
             Para sufi falsafi mengenal filsafat Yunani dan aliran-alirannya seperti aliran Socrates, Plato, Aristoteles, Rowaqiyah, sebagaimana juga mengenal filsafat Neoplatonisme, dan teori emanasinya, serta filsafat yang dikenal dengan sebutan Hermeticisme dan buku-bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka juga mempelajari filsafat-filsafat timur klasik seperti Persia dan India, dan juga filsafat-filsafat muslim sendiri seperti al Farabi, Ibn Sina dan lain sebaginya, dan juga terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syiah ekstrim seperti Syiah Ismailiyah, Batiniyah, dan juga dengan risalah-risalah Ihwan Shifa’. Di samping itu, pengetahuan mereka sangat luas tentang ilmu-ilmu syari’at seperti fikih, kalam, hadist, dan tafsir, sehingga mereka terbentuk dari berbagai macam pemikiran yang berbeda-beda.43
             Berdasarkan tasawuf falsafi, konsepsi tentang Tuhan merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam (teolog) dan filosof. Secara garis besar, tasawuf falsafi mempunyai tiga konsepsi tentang Tuhan yang berakar dari al Qur’an dan hadis, yaitu44 :
1.      Konsepsi etika yang dipelopori dan berkembang di kalangan zuhud sebagai bibit permulaan timbulnya tasawuf. Dzat Tuhan dianggap sebagai kekuasaan, daya dan iradat yang mutlak. Tuhan adalah pencipta yang tertinggi dari segala sesuatu, termasuk tingkah laku manusia.
2.      Konsepsi estetika, yaitu tentang Tuhan dalam estetika. Tasawuf bersumber dari anggapan bahwa Tuhan dan manusia berkomunikasi timbal-balik. Rasa cinta yang luar biasa kepada Tuhan adalah karakteristik konsepsi estetika ini yang pertama kali dimunculkan oleh Rabi’ah al Adawiyah. Jika seorang sufi menyembah Tuhan, maka sebenarnya dia ingin mendapat sambutan cinta dari-Nya.
3.      Konsepsi kesatuan wujud, yaitu bahwa dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan, karena dia merupakan pancaran Nur Ilahi. Oleh karena itu, jiwa manusia selalu berusaha kembali bersatu dengan sumber asalnya. Jadi alam semesta dan berbagai fenomena di dunia ini hanyalah bayangan dari realita sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang menjadi dasar bagi adanya segala sesuatu.

2.2.2  Obyek Pembahasan Tasawuf Falsafi dan Karakteristiknya
          Perhatian utama sufi-sufi falsafi adalah mengarah pada peletakan teori tentang wujud melalui pondasi intuisi. Dari sinilah mereka mewarnai permasalahan-permasalahan lainnya dalam tasawuf.
          Ibnu Khaldun telah meringkas dalam Muqaddimah-nya adanya empat pembahasan utama para sufi falsafi pada masa terakhir,45 yaitu :
1.       Mujahadah (memerangi hawa nafsu) dan segala sesuatu yang dihasilkannya yang berupa intuisi, naluri perasaan, kontrol jiwa dalam berbuat
2.       Kasf dan hakikat yang ditemukan dari alam ghaib semisal sifat-sifat ketuhanan, Arasy, Kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat-hakikat segala sesuatu yang wujud baik yang tak tampak maupun tampak, tatanan alam dalam kemunculannya dari zat yang mewujudkan dan membentuknya.
3.       Otoritas terhadap alam melalui berbagi bentuk karomah atau khawariqul Adah
4.       Munculnya kata-kata yang membingungkan dan tinjauan luar yang dikenal dengan sebutan Syathahat, yaitu sebuah ungkapan yang bermasalah dari tinjauan luarnya, sedangkan presepsi manusia terhadapnya adalah di antara mengingkari, beranggapan baik, dan mentakwil.
          Dari tinjauan mujahadah dan intuisi yang dihasilkan darinya seperti maqom (tingkatan) dan ahwal (kondisi), merupakan titik temu antara mereka dengan sufi-sufi lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Khaldun : “Sesuatu yang tidak dipersoalkan oleh seorang pun. Intuisi mereka dalam tasawuf adalah benar, dan menghasilkan sebuah kebahagiaan.”46
          Sedangkan tentang keterkuakan (kasf) hakikat-hakikat wujud yang ditemukannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa : “Sufi-sufi falsafi melakukan olah diri dengan cara mematikan kekuatan indra dan meyirami ruh yang berakal dengan dzikir, sehingga jiwa mampu menemukan hakikat-hakikat tersebut dari zat jiwanya itu. Jika mampu menemuka itu, mereka beranggapan bahwa segala wujud tercakup dalam temuannya tersebut. mereka telah menguak keseluruhan hakikat-hakikat wujud.” Kemudian Ibn Khaldun berkata: “Kasf semacam itu
                  
                  
                   45Abu Wafa’ al Ghanami al Taftazani, op.cit., hlm. 235
             46Ibid, hlm. 235
            
muncul dari sebuah kelurusan, yang bagi jiwa bagaikan keterbukaan cermin yang senantiasa selaras dengan berbagai macam kondisi-kondisi.”47
          Ibn Khaldun juga mengatakan bahwa sufi-sufi falsafi sangat menseriusi model keterkuakan (kasf) semacam itu, dan membicarakan hakikat-hakikat wujud di langit dan di bumi. Namun mereka tak jelas dalam tujuan. Sebab perkataan-perkataan mereka berkaitan dengan intuisi dan naluri. Di samping itu, mereka sengaja berteka-teki dengan menggunakan terma-terma filsafat yang tidak dipahami oleh luar kalangan mereka sendiri. Perkataan mereka secara umum “Tak bisa ditangkap oleh ahli fikir karena kesamaran dan ketertutupannya”.48
          Sedangkan apa yang disebutkan oleh sufi-sufi falsafi tentang karomah, Ibn Khaldun tidak mengingkarinya. Karomah seperti berita tentang hari esok dan kemampuannya merubah sesuatu, adalah benar dan tidak diingkari. Namun para ahli falsafi beranggapan bahwa kemampuan merubah-rubah alam adalah dibangun atas dasar sebuah ilmu tersendiri, yaitu ilmu tentang nama-nama dan huruf-huruf.49
          Dari perkataan Ibn Khaldun, tampak bahwa tasawuf falsafi mempunyai beberapa karakteristik tertentu. salah satunya adalah mereka senantiasa memerangi hawa nafsu sebagaimana sufi-sufi lainnya, untuk melakukan peningkatan-peningkatan akhlak sehingga menimbulkan sebuah kebahagiaan. Ia merupakan tasawuf yang menjadikan kasf sebagai metode untuk mengetahui hakikat. Orang-orangnya juga merasakan kondisi fana’, sebagaimana mereka samar dalam mengungkapkan hakikat-hakikat tasawuf tersebut. terkadang mereka menggunakan bahasa-bahasa simbolis untuk mengungkapkannya.50
          Karakterisitik-karakteristik tersebut merupakan karakteristik umum yang berlaku pada diri mereka dan sufi-sufi selainnya. Namun para sufi falsafi mempunyai karakteristik lainnya yang tak dimiliki oleh sufi sunni. Pertama, mereka adalah pemilik teori wujud dan menjelaskannya dalam kitab-kitab dan syair-syairnya. Ungkapan-ungkapan mereka ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah syathahat sehingga pengucapannya tidak bisa dipertanyakan. Kedua, mereka sangat berlebih-lebihan dalam penggunaan bahasa-bahasa simbolis, sehingga perkataan-perkataannya tidak bisa dipahami oleh orang di luar kalangannya. Ketiga, perhitungannya yang amat sangat terhadap diri dan ilmu-ilmu mereka. walaupun itu tidak dilakukan oleh keseluruhan mereka, namun dilaksanakan oleh mayoritasnya.51

2.2.3  Perkembangan Tasawuf Falsafi
          Berbarengan dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi juga muncul pada abad ketiga dan
          47Ibid, hlm. 235-236
             48Ibid, hlm. 236
                   49Ibid, hlm. 237
                   50Ibid, hlm. 239
                   51Ibid, hlm. 239
keempat hijriah. Pada abad kelima hijriah (masa konsolidasi), tasawuf falsafi “kalah dalam pertarungan” dengan tasawuf sunni karena menangnya teologi Ahl Sunnah wal Jama’ah. Satu abad kemudian, yaitu pada abad keenam tasawuf falsafi kembali muncul dan masa tersebut disebut sebagai masa falsafi.52
            Dalam sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia, peran tasawuf Falsafi tidak dapat dipisahkan begitu saja, apalagi banyak kontribusi yang telah diberikan dalam pemikiran-pemikiran tasawuf di Indonesia. Beberapa tokoh pelopor tasawuf Falsafi, diantaranya: Syaikh Hamzah Fansuri dan Syaikh Muhyi Al-Din Al-Jawi. Hamzah Fansuri dikenal sebagai seorang Sufi nusantara dengan pengaruh paham wujudiyyah Ibn ‘Arabi, yang telah dianggap sebagai ajaran tasawuf yang sesat oleh Nur Al-Din Ar-Raniri, oleh karena itu Hamzah Fansuri dijatuhi hukuman mati semasa Raniri menjabat sebagai mufti, karya-karyanya telah habis dibinasakan, hingga dipastikan tidak ada lagi yang dapat mempelajari apa yang disampaikan oleh Fansuri, nasib serupa juga dialami para pengikutnya. Para murid dan pengikut ajaran tasawuf Falsafi yang digagas oleh Fansuri mendapat tekanan dari Syaikh Raniri dan juga pengikutnya.

2.2.4  Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
1.       Suhrawadi al Maktul
          Suhrawadi al Maktul dianggap sebagai salah satu sufi falsafi pertama dalam Islam. Namanya adalah Abu Futuh Yahya bin Habsy bin Amirak, yang dijuluki sebagai Syihabuddin, dan diklaim sebagai seorang filsuf. Ia hidup pada kurun 6 Hijriah, dan kelahirannya di Sahrawardr sekitar tahun 550 H.53
          Suhrawardi seringkali melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu. Ia berguru di kota Miraghah yang merupakan salah satu kawasan di Azerbaijan kepada seorang ahli fikih dan kalam yang dikenal dengan sebutan Majdin al Jili, guru dari Fakhruddin ar Razi. Ia juga berguru di Asfihan kepada Ibn Sahlan as Sawi pemilik kitab Basair Nasiriyah dalam ilmu mantik. Ia juga berteman dengan para sufi dan berzuhud bersama mereka, dan kemudian pergi sehingga menimbulkan iri para fuqaha Halb. Mereka menjelek-jelekkan Suhrawardi, sehingga raja Dhahir anak dari Salahuddin pemilik Halb masa itu, memanggilnya. Waktu itu, Suhrawardi dikelilingi oleh para fuqaha dan ulama kalam, namun argumentasi-argumentasinya mampu mengalahkan mereka. akhirnya raja bisa menerimanya, dan menjadikannya sebagai orang dekatnya. Namun orang-orang yang iri dengan Suhrawardi menulis surat kepada Salahuddin, yang isinya memperingatkan kepadanya akan kerusakan akidah manusia jika Suharwadi masih hidup. Maka Salahuddin menulis surat kepada anaknya
                  
                   52Amin Syukur-Masyharuddin, op.cit, hlm. 29
                   53Abu Wafa’ al Ghanami al Taftazani, op.cit., hlm. 240
untuk Suhrawardi. Maka anaknya pun meminta fatwa para fuqaha Halb waktu itu. Mereka menfatwakan untuk membunuh Suhrawardi. Ia pun dibunuh dengan cara dicekik di Halb pada tahun 587 H, yaitu saat ia berumur 38 tahun.54
          Ia meningggalkan sejumlah karangan dan risalah-risalah. Diantaranya adalah Hikmatul Isyraq dan Talwihat yang di dalamnya tampak pengaruh Aristoteles, dan Haikal Nur, Muqamvamat, Mutharahat, Al Wah al Amadiyah, dan sebagian doa-doa. Kitabnya yang paling penting yang menggambarkan pemikirannya adalah Himatul Isyraq, yang di dalamnya mencakup pemikiran-pemikiran tentang tasawuf iluminasi. Gaya bahasa Suhrawardi dalam karyanya itu, secara umum menggunakan bahasa-bahasa simbolis yang sangat tertutup.55
          Suhrawardi al Maktul mengenal filsafat Platonisme, Peripatetik, Neoplatonisme, filsafat-filsafat Persia, aliran pemikiran Shabiah, dan filsafat Hermeticisme. Ia sering kali menyebut Harmes dalam karya-karyanya, dan menganggapnya sebagai pemimpin iluminasi, atau bapak para filsuf. Ia menyebutkannya beriringan dengan Aghodemon, Asqilibius dan Pytagoras dengan menganggap mereka sebagai pakar ilmu yang tersembunyi, beriringan dengan Jamasab dan Barzamaher yang merupakan filsuf Persia. Corbin beranggapan bahwa Harmes merupakan salah satu dari tiga orang yang paling mempengaruhi pemikiran iluminasi Suhrawardi. Sedangkan dua orang lainnya adalah Plato dan Zoroaster.56
          Di samping itu, ia juga mengenal pemikiran-pemikiran filsafat dalam Islam. Terutama pemikiran al Farabi dan Ibn Sina. Walaupun ia mengkritisi para filsuf Islam yang disebutnya sebagai peripatetik, namun ia tetap terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran mereka.57 (TI 241).
          Suhrawardi juga mengenal para sufi kurun ketiga dan keempat hijriah. Ia memuji Abi Yazid al Bustami disebutnya sebagai “Sayyar Bustam” dan al Halaj sebagai “Seorang pemuda dari Baidho” dan Abu Hasan al Kharqam yang merupakan seorang sufi berpahamkan penyatuan dan Persial.58
          Hikmah (filsafat) Suhrawardi dinamakan Hikmah Isyraqiyah. Filsafat ini adalah filsafat intuitif yang bersandarkan pada penerangan (Isyraq), yaitu munculnya cahaya-cahaya akal, pemikiran-pemikiran dan penerangan-penerangannya, kepada jiwa di saat telah mengalami pemurnian. Orang Persia sebagaimana yang dikatakan oleh Quttbuddin Syairazi, dalam berfilsafat (hikmah) bersandarkan pada intuisi dan keterkuakan (kasf).59
          Suhrawardi mempunyai teori pemikiran tentang wujud yang diungkapkan dengan bahasa simbolis. Teorinya itu terbentuk atas dasar teori emanasi sehingga tidak mungkin
                  
                   54Ibid, hlm. 240
                   55Ibid, hlm. 241
             56Ibid, hlm. 241
                   57Ibid, hlm. 241
             58Ibid, hlm. 241
             59Ibid, hlm. 242
dianggap sebuah teori tasawuf tentang wahdatul wujud dengan arti yang terperinci. Sebab menganggap alam-alam sebagai hasil surplus dari Tuhan, atau Nur Anwar (Cahaya di atas cahaya) yang serupa dengan matahari, yang sesuatu bisa kehilangan cahayanya walaupun sebenarnya matahari senantiasa menyala secara terus menerus.60
          Pemikiran Suharwardi sepaham dengan sufi-suufi murni dalam hal keharusan melakukan mujahadah, dan melakukan pendakian tangga-tangga akhlak hingga sampai pada kondisi fana’ pengetahuan terhadap Allah, kenikmatan dan kebahagiaan, namun demikian berbeda dari tinjauan yang mengharuskan adanya ‘hikmah pengkajian’ untuk sampai pada tingkatan manusia tertinggi, dan yang ia maksudkan adalah filsafat peripatetik. Hal tersebut tampak dari klasifikasinya terhadap para filsuf (hukama’), yaitu pertama adalah hakim muta’allah (filsuf menuhankan), masuk dalam masalah penuhanan namun tak masuk dalam permasalahan kajian. Ini sebagaimana mayoritas para nabi dan wali seperti Yazid al Bustami, Sahal Tustari dan al Halaj. Berikutnya adalah hakim yang masuk dalam masalah pengkajian, namun tak masuk dalam masalah penuhanan, yaitu seperti perpatetik orang-orang pengikut Aristoteles seperti al Farabi dan Ibn Sina. Dan seorang hakim yang masuk dalam penuhanan dan pengkajian sekaligus. Orang yang sampai pada tingkatan itu hanyalah Suhrawardi sendiri. Ia adalah seorang hakim yang masuk dalam penuhanan dan pengkaji, serta menjadi pemimpin pada masanya. Ia adalah seorang Quttub. Namun kepemimpinan seorang Quttub bukan berarti tanpa adanya kekalahan. Terkadang kepemimpinannya samar dan hampir sirna. Ia juga termasuk Khalifatullah Alam tak pernah disepikan darinya.61
2.       Abu Yazid al Bustami
          Abu Yazid al Bustami nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa al Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M, dan meninggal dalam usia 73 tahun. Ibunya adalah seorang zahid, dan Abu Yazid amat patuh kepadanya. Meskipun orang tuanya adalah pemuka masyarakat yang mampu (dalam ekonomi) di Bistam, namun Abu Yazid memilih hidup sederhana dan sangat menaruh kasih sayang kepada fakir miskin. Ia jarang keluar dari Bistam, dan ketika kepadanya dikatakan bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ia menjawab : “Temanku tidak pernah bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini”. Sebagian besar dari waktunya ia pergunakan untuk beribadat dan memuja Tuhan.62
          Baginya, zahid adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup zuhud demi mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini ia kerjakan melalui tigas fase; zuhud terhadap
                  
                  
                   60Ibid, hlm. 242
                   61Ibid, hlm. 245
             62Abuddin Nata, op.cit, hlm. 176
dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir ini timbul suatu kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi, kecuali Allah, atau fana al nafs, yaitu hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasad kasarnya sebagai manusia karena kesadarannya telah menyatu dengan iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujud Tuhan.63
          Dengan demikian Abu Yazid lah yang membawa faham al Ittihad dalam tasawuf yang dicapai melalui pintu al fana’ dan diikuti oleh al baqa. Dengan tercapainya al fana dan al baqa itu, sampailah Abu Yazid kepada al Ittihad, dan dalam tingkat ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan, dan antara yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan karena fananya tidak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan. Dalam al Ittihad yang disadari yang ada hanya satu wujud, sekalipun sebenarnya ada dua wujud, dan yang disadari itu hanyalah wujud Tuhan. Ketika sampai ke ambang pintu al Ittihad keluarlah ucapan-ucapan yang ganjil dari mulut sufi. Banyak ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah sampai pada tingkat al ittihad. Misalnya : “Aku ingin untuk tidak mengingini”, “Aku tidak ingin dari Tuhan kecuali Tuhan”, “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.64
          Dalam keadaan tersebut yang berbicara bukan lagi Abu Yazid, karena Abu Yazid telah fana’ dan hancur kesadaran dirinya dan masuk manunggal ke dalam diri Tuhan. Abu Yazid tidak ada lagi, dan yang ada hanyalah Tuhan.65
          Abu Yazid dengan demikian termasuk orang pertama yang menampilkan ajaran al ittihad melalui al fana-baqa dengan pengertian yang khas dan ia sekaligus melahirkan aliran tasawuf kesatuan wujud atau al ittihad. Aliran ini kemudian menjadi induk dari berbagai aliran tarikat.66
          Selain kata-katanya yang menggambarkan al ittihad, banyak pula mutiara hikmah dari Abu Yazid yang menjadi perhatian bagi pengagumnya. Di antara ucapannya yang mengandung hikmah itu adalah :67
          “Pertikaian para ulama adalah rahmat kecuali dalam ketauhidan”. Aku mengenal Allah dengan Allah”, dan ketika ia ditanya oleh seseorang tentang sunnah, fardlu dan sifat-sifat orang-orang arif, Abu Yazid menjawab : “Sunnat ialah meninggalkan dunia dengan isinya, fardlu ialah bersahabat dengan Allah SWT, dan sifat-sifat orang-orang arif ialah bersifat dengan sifat ahli neraka yaitu tidak mati dan tidak pula hidup.”68
                  
                   63Ibid, hlm. 177
                   64Ibid, hlm. 178
             65Ibid, hlm. 178
                   66Ibid, hlm. 178
                   67Ibid, hlm. 178
             68Ibid, hlm. 179
3.       Husein bin Mansur (al Hallaj)
          Nama lengkapnya ialah Abu Mughisy al Husein bin Mansur al Hallaj, lahir di negeri Baida bagian selatan Persi pada tahun 244 H, bertepatan dengan 875 M. Ia kemudian menetap di Baghdad, dan meninggal pada tahun 922 M, karena dihukum bunuh. Dan setelah badannya tak bernyawa lagi ia dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini terjadi karena ia dituduh mempunyai hubungan dengan golongan Syiah ekstrim, yaitu kaum Qaramitah yang banyak menentang pemerintahan Bani Abbas. Oleh karena itu terbunuhnya al Hallaj bukan semata-mata karena ucapannya : “Ana al Haqq”, melainkan juga karena soal politik.69
          Di samping dikenal sebagai seorangs ufi, ia juga dikenal sebagai seorang teologi yang terkenal pada zamannya. Nama al Hallaj adalah julukan yang diberikan kepadanya karena ayahnya seorang penenun kain wol, dan ccu dari Gebr yang punya hubungan darah dengan Ibn Ayyub salah seorang sahabat Rasulullah SAW.70
          Al Hallaj mulai belajar tasawuf dari Amr al Makki dan kemudian memperdalamnya melalui al Junaid. Akan tetapi setelah ia kembali dari menunaikan ibadah haji, paham tasawufnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya itu.71 (Ilmu kalam 179).
          Paham tasawufnya dikenal dengan nama al hulul yang merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid sebagaimana telah dikemukakan di atas. Menurut pendapatnya, bahwa Tuhan dan manusia sama-sama memiliki sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan. Pemikiran ini muncul dari pemahaman terhadapa hadis yang berbunyi : “Tuhan menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”.72
          Dari hadis ini, al Hallaj mempunyai kesimpulan bahwa dalam diri Adam terdapat bentuk Tuhan dan sebaliknya dalam diri Tuhan terdapat pula bentuk Adam. Atas dasar ini persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi. Paham persatuan yang dibawa al Hallaj ini disebut al hulul, yang dalam tasawuf mengandung paham bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya. Tetapi untuk sampai ke tingkat itu seorang sufi terlebih daulu harus menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya sehingga yang terdapat di dalam dirinya hanya sifat-sifat ketuhanan, dan ketika itu barulah Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi yang bersangkutan.73
          Sewaktu al Hulul itu tercapai keluarlah dari mulut al Hallaj ucapan “Ana al Haqq”. Dan yang dimaksud dengan ucapan ini bukanlah dirinya, tetapi diri Tuhan, karena selanjutnya ia mengatakan “Aku adalah rahasia dari Yang Maha Benar, bukanlah yang Maha Benar itu aku, aku hanya salah satu yang benar, oleh karena itu bedakanlah antara kami.”74
             69Ibid, hlm. 179
                   70Ibid, hlm. 179
                   71Ibid, hlm. 179
             72Ibid, hlm. 180
             73Ibid, hlm. 180
             74Ibid, hlm. 180

BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
          Dari pembahasan didalam makalah ini dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat menambah pemahaman kita terkait ilmu tasawuf, sebagaimana berikut ini:
1.        Tasawuf  falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni. Bila tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ) yakni berusaha memadukan aspek hakekat dan syari'at dalam pendekatan diri kepada Allah SWT,.Sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) yaitu ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional atau asas rasio.
2.        Karakteristik Tasawuf Sunni dengan  Melandaskan diri pada Al-Qur`an dan As-Sunnah, tidak menggunakan terminologi filsafat sebagaimana terdapat padaungkapan-ungkapan syathahat, lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan danmanusia. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat. Dan lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan          jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dantajalli.
       Sedangkan, karakteristik Tasawuf falsafimereka senantiasa memerangi hawa nafsu, tasawuf yang menjadikan kasf sebagai metode untuk mengetahui hakikat, mereka menggunakan bahasa simbolis untuk mengungkapkannya.mereka adalah pemilik teori wujud dan menjelaskannya dalam kitab-kitab dan syair-syairnya.
3.        Pada abad ke-3H Tasawuf sunni berkembang menjadi ilmu moral keagamaan yang dipraktekan oleh semua orang (kaum salaf). Pada abad ke-5H memenangkan pertarungan dengan tasawuf semi falsafi.           Sedangkan abad ke-5H (masa konsolidasi), tasawuf falsafi “kalah dalam pertarungan” dengan tasawuf sunni karena menangnya teologi Ahl Sunnah wal Jama’ah. Abad ke-6 kembali muncul dan masa tersebut disebut sebagai masa falsafi.

4.        Tokoh-Tokoh Tasawuf Sunni diantaranya Abdul Karim bin Hazin, Al Harawi adalah Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al Ansari, dan Imam al Ghazali. Sedangkan Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi. Sedangkan  tokoh tasawuf falsafi adalah Suhrawadi al Maktul, Abu Yazid al Bustami, dan Husein bin Mansur.

No comments:

Post a Comment