Sunday 20 September 2015

Akhlak mulia insan khamil

A.   Pendahuluan


B.   Pengertian Akhlak

Pengertian akhlak akan menjadi lebih jelas bagi kita, apabila kita lihat secara etimologis dan sekaligus secara terminologis serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

1.      Pengertian Secara Etimologis
Secara etimologis, kata Akhlak adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab Al-Akhlaaq. Ia merupakan bentuk jama’ dari kata Al-Khuluq yang berarti budi pekerti, tabiat atau watak. Selanjutnya, arti ini sering disepadankan dengan kata: etika, moral, kesusilaan, tata krama atau sopan santun.
Dengan demikian, maka kata Akhlak merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mengistilahkan perbuatan manusia yang kemudian diukur dengan baik atau buruk. Dan dalam Islam, ukuran yang digunakan untuk menilai baik  atau buruk itu tidak lain adalah ajaran Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis.

2.      Pengertian Secara Terminologis
Secara terminologis, pengertian akhlak telah banyak dikemukakan oleh banyak Ulama’ dan cerdik pandai. Diantaranya dapat kita simak sebuah ta’rif (definisi) yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Al-Akhlaaq:
“Sementara orang membuat definisi Akhlak, bahwa yang disebut Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, apabila kehendak itu membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak”.  (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 9)
Menyimak pengertian ini, maka yang dimaksud dengan akhlak adalah ‘Aadatul Iradah atau kehendak yang dibiasakan. Dengan kehendak itulah manusia melakukan satu perbuatan, baik perbuatan batin, maupun perbuatan lahir. Dan suatu perbuatan yang dibiasakan itulah yang dinamakan akhlak. Maka nampaklah bahwa pengrtian akhlak menurut ta’rif diatas adalah mencakup perbuatan-perbuatan seseoran yang telah mempribadi atau telah menjadi kebiasaan bagi yang bersangkutan.
Sebagai bahan pembanding ta’rif di atas, kita dapat menyimak ta’rif lain yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahdzibul-Akhlaaq wa Tathhirul A’raq. Beliau menyebutkan bahwa akhlak ialah:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu)”. (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 10)
Apabila Prof. Dr. Ahmad Amin menggunakan istilah iradah (kehendak) dalam ta’rifnya, maka Ibnu Maskawaih menggunakan istilah haalun nafs (keadaan jiwa). Disini dapat kita ambil garis kesamaan bahwa perbuatan batiniahlah yang mendororng seseorang untuk melakukan perbuatan lahiriah. Meskipun pada hakikatnya kedua perbuatan itu merupakan satu kesatuan perbuatan. Karena perbuatan lahiriah hanyalah merupakan refleksi dari perbuatan batiniah belaka. Dan apabila perbuatan itu telah mempribadi pada diri seseorang dan dilakukan secara berulang-ulang (menjadi kebiasaan) tanpa memerlukan pertimbangan-pertimbangan akalnya, maka kebiasaan perbuatan yang demikian itu dinamakan akhlak.
Selanjutnya, apabila perbuatan yang biasa dilakukan seseorang itu ternyata bernilai baik menurut ukuran yang dipergunakan, maka dinamakan akhlak mulia, dan orang yang melakukan dinamakan orang yang berakhlak mulia. Sebaliknya, apabila perbuatan itu bernilai buruk, maka dinamakan akhlak tercela, dan pelakunya dinamakan orang yang berakhlak tercela.
Dari pengertian-pengertian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa akhlak ialah perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain.
Adapun alat yang digunakan untuk mengukur perbuata-perbuatan yang kemudian kita namakan akhlak itu ialah baik atau buruk. Dengan kata lain, tolok ukur akhlak adalah baik atau buruk. Dengan demikian, maka tidak semua perbuatan manusia dapat kita namakan sebagai akhlak, karena tidak semua perbuatan manusia itu dapat kita ukur dengan baik atau buruk. Misalnya bernapas, berkedip, gerakan reflek, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan manusia, tetapi tidak dapat diukur dengan baik atau buruk menurut akhlak. Sehingga perbuatan-perbuatan yang demikian tidak dapat kita masukkan ke dalam perbuatan akhlak.
Namun demikian, ukuran baik atau buruk itu sangatlah bervariasi, tergantung pada sumber akhlaknya masing-masing. Apa yang dinilai baikmenurut sumber akhlak yang satu, belum tentu dinilai menurut akhlak yang lain, bahkan bisa berlawanan satu sama lain.
Secara garis besar, sumber akhlak dapat kita bedakan menjadi dua, yakni akhlak religius dan akhlak sekuler. Aklak religius adalah akhlak yang bersumber dari keagamaan atau kepercayaan kepada yang ghaib, seperti Tuhan, ruh, malaikat, dan seterusnya. Maka tolok ukur yang dipergunakan adalah ajaran agama atau kepercayaan itu sendiri. Dan dorongan untuk melakukan akhlak religius ini adalah adanya keyakinan terhadap pahala bagi yang berakhlak baik dan siksaan bagi yang berakhlak buruk. Akhlak yang bersumber dari agama ini akan membingbing umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya dan sekaligus hubungannya dengan sesama manusia atau sesama makhluk. Ukuran baik atau buruk tidak hanya dipandang dari sudut kemanusiaan, tetapi juga dipandang dari sudut ketuhanan.
Sedangkan akhlak sekuler adalah akhlak yang bersumber dari hasil budaya manusia belaka tanpa mempertimbangakan adanya kekuatan ghaig (Tuhan). Ukuran baik atau buruk hanya didasarkan pada komunitas manusia yang menciptakan kebudayaan yang bersangkutan. Maka dorongan untuk melaksanakan akhlak sekuler ini hanyalah berupa pujian dari sesama manusia apabila seseorang melakukan akhlak terpuji dan mendapat sanksi dari sesamnya pula apabila seseorang melakukan akhlak yang dianggapnya tercela. Akhlak sekuler ini hanya membimbing manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia atau sesama makhluk dan ukuran baik atu buruk yang dipergunakanpun hanya dipandang dari sudut kemanusiaan belaka.


No comments:

Post a Comment