Thursday 3 September 2015

makalah etika budaya jawa

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Seni Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua di Indonesia. Pada masa pemerintahan Raja Balitung pertunjukan wayang telah ada, hal tesebut ditemukan pada prasasti Balitung tahun 907 Masehi. Sejarah perkembangan seni wayang di Indonesia, yaitu pada abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, melalui jalur perdagangan. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Kemudian ,Abad ke-9, bermunculan cerita-cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi.
Berhubungan dengan itu, dalam makalah ini, kami akan memaparkan hasil studi pustaka yang telah kami lakukan, meliputi; sejarah seni wayang/asal-usul wayang di Indonesia, jenis-jenis wayang, serta cerita salah satu tokoh pewayangan, yaitu Resi Bhisma atau Dewabrata.
Adapun hal yang melatarbelakangi studi pustaka dan analisis Seni Wayang ini adalah sebagai wujud apresiasi kami sebagai penikmat seni terhadap budaya tradisional, yang kian hari semakin tersisih oleh budaya asing. Semoga dengan penyusunan makalah ini, kita menyadari keindahan dan keagungan budaya tradisional yang harus kita lestarikan, kita jaga dan kita banggakan sebagai kekayaan budaya bangsa.



B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kesenian wayang masuk dan berkembang di Indonesia?
2.      Apa sajakah jenis-jenis wayang yang ada di Indonesia?
3.      Bagaimana cerita pewayangan gugurnya Resi Bhisma?

C.   Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mendeskripsikan tentang wayang dan sejarah wayang di Indonesia.
2.      Untuk menjelaskan jenis-jenis wayang yang tersohor di Indonesia.
3.      Untuk menceritakan tentang kisah Gugurnya Resi Bhisma.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Wayang dan Sejarah Pewayangan di Indonesia
        Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
        Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala malapetaka. Pada tahun 898 – 910 M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di zaman Mataram Hindu ini, Ramayana dari India berhasil dituliskan dalam Bahasa Jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, wayang adalah boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb. yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb). Biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Sunda, wayang didefinisikan sebagai boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari kulit ataupun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung penerangan.
        Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt “Art in Indonesia”: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof. Dr. Soedarsono (MSPI-2000-hal. 431). Tertulis sebagai berikut:
Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai desa Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdikan, yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari serambi di Dalinan. Lagi setelah menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda perayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselamatan bangunan suci serta rakyat” pertunjukan (tontonan) disakilan. Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk berakting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi mempertunjukkan Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara.
        Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal abad ke-10, episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana dilagukan dalam peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai sebuah teater bayangan (sekarang: wayang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan mengatakan karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa Jawa.
        Dr. G. A. J. Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa misalnya kelir, blencong, cempala, kepyak, wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
        Dr. N. J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa - Prof G. Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wayang.
        Pada masa pemerintahan Kaisar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarixzn), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa.
        Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkacasraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki.
        Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adaptasi dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu dikaitkan dengan suatu upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan, bersih desa, menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan kebiasaan dan adat-istiadat setempat.
        Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah pertunjukan wayang tersebut seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada pertunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-istiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita langsung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apakah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan pertunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara.
        Mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu Arjunawiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di zaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu Panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke lontar (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di zaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ditempatkan berada di atas ‘hyang’
        Abad dua belas sampai abad lima belas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mitos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa. Abad lima belas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad ke-enam belas berdirilah kerajaan Demak (1500-1550 M) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotong royong wayang beber karya prabangkara (zaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan bertema sara).
        Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disamping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita, raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan, sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan.
        Sunan kudus mendapat tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton.
        Sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan zaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata: raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain.
        Sunan kudus juga memperkenalkan wayang golek dari kayu, sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedhog dengan demikian wayang gedhog pun sudah mulai memasyarakat di luar keraton di masa mataram islam wayang semakin berkembang.
        Panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru: cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan, sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk).
        Setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’. Berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari zaman mataram islam sampai zaman sekarang dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nyapun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’.

B.   Jenis-jenis Wayang Di Indonesia
1.      Wayang Golek
        Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu, Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Slendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
        Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah cerita panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Soemantri, 1988).
        Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.  
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan cerita babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana) tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970-1980.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi contoh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.

2.      Wayang Kulit
      Wayang kulit merupakan sejenis hiburan pementasan bayang yang terhasil dari patung yang dibuat dari belulang (kulit lembu/kerbau/kambing). Terdapat berbagai jenis wayang kulit bergantung kepada tempat asal mereka. Ia merupakan seni tradisional Asia Tenggara merangkumi Thailand, Malaysia dan Indonesia, yang terutama berkembang di Phattalung wilayah selatan Thailand, Jawa dan disebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu.
      Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
      Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disuluhkan lampu eletrik atau lampu minyak (dian), sehingga para penonton yang berada disebelah berlawanan layar dapat melihat bayangan wayang yang berada ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Wayang kulit lebih popular di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.



3.      Wayang Orang
      Wayang orang atau wayang wong mungkin kurang populer dibandingkan dengan wayang kulit. Namun sesungguhnya pertunjukan wayang wong tidak kalah menarik dengan wayang kulit. Wayang wong terasa istimewa karena kita bisa menikmati cerita sembari melihat keindahan gerakan para penari. Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang wong sudah bisa disaksikan di luar keraton atau kerajaan.
      Pada dasarnya, cerita atau peran yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang orang tidak berbeda dengan wayang kulit. Biasanya lakon yang dibawakan adalah lakon dalam cerita epik seperti Mahabrata dan Ramayana. Bedanya jika dalam wayang kulit peran itu ditampilkan dalam sosok wayang, maka dalam wayang orang lakon atau peran semacam itu dibawakan oleh orang atau wong dalam bahasa jawa. 
      Tugas dalang wayang wong tidak jauh berbeda dengan dalang wayang kulit. Namun tugas dalang wayang wong lebih ringan karena para pelakon melakukan percakapan sendiri. Dalang wayang wong hanya menyampaikan sedikit narasi baik ketika membuka pertunjukan, di tengah pertunjukan atau di akhir pertunjukan. 
      Wayang wong memiliki gerakan-gerakan tertentu yang harus dipatuhi oleh para penarinya. Untuk para penari laki-laki, beberapa gerakannya adalah alus, gagah, kambeng, bapang, kalang kinantang, kasar, gecul, kambeng dengklik, dan kalang kinantang dengklik. Sedangkan gerakan para penari perempuan sering disebut nggruda atau ngenceng encot. Ada sembilan gerakan dasar atau joged pokok yang ditampilkan para penari wanita serta dua belas joged gubahan atau gerakan tambahan serta joged wirogo yang memperindah tarian yang ditampilkan.
      Para penari yang membawakan lakon wayang biasanya adalah mereka yang sudah terbiasa menari tarian klasik Jawa seperti bedhaya ketawang atau bedhaya srimpi. Hal ini pulalah yang menjadikan wayang wong lebih istimewa dibanding dengan wayang jenis lain seperti kulit atau golek.
      Menurut sejarah, wayang wong diciptakan setelah wayang kulit oleh Raden Panji Asmarabangun, putra Lembu Amiluhur yaitu raja dari kerajaan Jenggala. Panji Asmarabangun sendiri merupakan salah satu seniman yang hebat di masanya. Dia pula yang kerap kali menjadi dalang di setiap pertunjukan wayang wong yang diciptakannya. Cerita yang diangkat pada masa itu adalah cerita tentang kerajaan Jenggala. Pemilihan cerita itu tidak lain merupakan permintaan raja Airlangga, ayah dari Lembu Amiluhur.

C.   Cerita Pewayangan Gugurnya Resi Bhisma (Dewabrata)
          Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Ia berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja. Bisma adalah kakek dari pandawa yang kjmerupakan anak dari Prabu Pandu Dewanata dan Kurawa yang merupakan anak dari Prabu Destarata.
            Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala). Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayuddha. Cerita perang Barata Yudha yang membawa kematian Dewa Bisma adalah sebagai berikut:
            Pasukan dari negara-negara baik yang mendukung Pandawa maupun yang mendukung Kurawa telah berdatangan di Tegal Kurusetra. Mereka telah mendirikan perkemahan-perkemahan. Malam ini mereka mulai berjaga-jaga, karena esok hari Perang Barata Yudha, akan dimulai. Hati dan perasaaan mulai bergetar, mengapa harus berperang, yang akan mengorbankan banyak orang tewas, mengapa tidak memilih damai, berdasarkan pembagian tanah Astina yang telah dibagi secara adil  oleh Resi Bisma waktu itu, Kembalikanlah Indraprasta ke Pandawa. Perdamaian telah diajukan kepada Kurawa, namun ditolak. Besok pagi Bisma menjadi Panglima Perang Kurawa melawan Pandawa. Sementara itu Prabu Sri Bathara Kresna meminta Pandawa bersiap-siap memasuki medan laga Kurusetra.
            Seta ditunjuk menjadi Senapati perang Pandawa. Sedangkan kedua adiknya Utara memimpin pasukan disayap  kanan dan Wratsangka pendamping kiri, memimpin pasukan disayap kiri. Matahari mulai bersinar, suara sangkakala menyayat-nyayat. Bergetar jiwa dan raga. Semua  prajurit bersiap berperang. Kedua belah pihak telah mengatur strategi perang. Resi Bisma telah memasuki medan laga dan melayangkan beberapa senjata pada Perajurit Pandawa. Arjuna menangkis serangan senjata Bisma. Sementera itu kereta perang Bisma melaju cepat ketengah prajurit Pandawa. Resi Bisma bertemu dengan Abimanyu, dimintanya Abimanyu mundur saja, karena masih terlalu muda.
            Kereta Perang Resi Bisma bertemu dengan kereta perang Arjuna, yang di saisi Prabu Kresna. Resi Bisma memberi pesan agar Prabu Kresna memerintahkan Srikandi maju ke medan laga, Srikandilah  orang yang bisa menghantarkan kematian Resi Bisma. Sementara kereta perang Prabu Salya mengawal kereta perang Resi Bisma dari arah kiri. Sedangkan disebelah kanan kereta perang Resi Bisma adalah Kereta perang Pandita Durna. Sementara itu Arjuna kehilangan daya juang, melihat senapati Astina adalah kakeknya yang sangat disayangi, Sejak masih kecil kakek Bisma menyayanginya. Disnilah timbul dialog antara Arjuna dan Prabu Kresna.Untuk menggugah kembali  semangat Arjuna. Dialog ini dikenal dengan Bagawad Gita.
            Kereta perang Resi Bisma bertemu Senapati Pandawa, Seta. Terjadilah adu panah antara Seta melawan Resi Bisma. Namun walaupun Bisma sudah berusia lanjut, ia masih lincah memainkan panah dan pedangnya. Keduanya masih berimbang. Sementara itu Werkudara dengan gadanya menyambar-nyambar kepala Para Kurawa, Arjuna dengan panahnya melesat ke semua arah penjuru musuh dan Nakula serta Sadewa membabat Kurawa dengan pedang kembarnya. Gatut kaca menyambar Nyambar-nyambar lawannya dari angkasa. Para Kurawa banyak yang ketakutan dengan kegesitan para Pandawa.
            Sementara Putera Wirata, Utara sebagai pendamping Senapati sayap Kanan dan Wratsangka disayap kiri terus melaju ketengah medan pertempuran. Resi Bisma merasa mulai terdesak. Resi Bisma meninggalkan medan laga. Resi Seta mengejarnya. Sewaktu mengejar Resi Bisma, sebuah panah menyerempet bahu kanan Resi Seta. Konon Resi Seta berdarah putih, maka meneteslah darah putih dri lukanya. Resi Seta menengok kebelakang, nampak Rukmarata anak Prabu Salya, menyerang dari belakang, dengan cepat Resi Seta melepaskan panahnya kearah Rukmarata, sekali tebas leher Rumaratapun putus, dan gugurlah Rukmarata putera kesayangan Prabu Salya.
            Resi Bisma berlari ke Sungai Gangga dan menyelam  kedalam Sungai Gangga menemui ibunya. Resi Bisma pamit mati pada ibunya, Dewi Gangga merasa sedih, karena seingatnya Resi Bisma, yang sewaktu muda bernama Dewabrata, sampai sekarang hidupnya tidak pernah bahagia, Bisma mestinya yang bertahta di Astina menggantikan ayahnya. Dewi Gangga memberikan cundrik. Resi Bisma berpamitan dan keluar dari sungai Gangga, ternyata di luar sudah ditunggu Seta. Resi Bisma meloncat dan menusukan cundrik di dada Seta, yang membuat Seta Gugur.Sementara perang semakin sengit, kini Prabu Salya telah dapat lawan yang seimbang, Prabu Salya bertemu dengaan putera Wirata, Utara. Kedua-duanya sama sama gesit dalam memainkan segala senjata, dari panah, pedang dan adu kesaktian. Namun ketika terdengar sorak sorai  Seta Gugur, Utara terlena, terperanjat, dan Utara tidak teringat lagi kalau masih di medan perang, Kesempatan baik itu tidak disia-siakan oleh Prabu Salya, sehingga dengan mudah membidikkan senjatanya kepada Raden Utara. Senjata Prabu Salya mengenai dada Utara, maka gugurlah Raden Utara ditangan Prabu Salya.
            Demikian juga Raden Wratsangka mendapat lawan tangguh yaitu dengan Pendita Durna. Yang gesit dan pandai olah senjata dan kanuragan,maka dengan mudah Pendita Durna membunuh Wratsangka. Pihak Kurawa bersorak sorai dengan gugurnya tiga Satria Wirata. Kubu Pandawa sangat berduka dengan kematian tiga satria Wirata.Sementara itu pada hari kesepuluh Perang Barata Yudha, Prabu Kresna meminta Srikandi segera bersiap untuk melawan Resi Bisma. Resi Bisma juga telah siap kembali bertempur, setelah berhasil mengalahkan Seta ditepi Sungai Gangga.
            Dewi Srikandi sudah berhadapan dengan Eyang Bisma. Dewi Srikandi berkali-kali dipukul, oleh Resi Bisma, namun tidak membalas. Tiba-tiba Resi Bisma terkesima, waktu memandang Dewi Srikandi, seperti berhadapan dengan Dewi Amba. Resi Bisma tidak bisa berbuat apa-apa, ia teringat sekali waktu Dewi Amba dengan manja mempesona Resi Bisma. Rupanya Dewi Amba telah memasuki tubuh Dewi Srikandi. Melihat situasi yang sedemikian rupa, Prabu Kresna langsung memerintahkan Dewi Srikandi untuk memanah Resi Bisma, Dewi Srikandi segera memanah Resi Bisma, panahpun dengan cepat melesat kearah Resi Bisma, tetapi apa karena ia seorang wanita atau ia ragu-ragu terhadap Resi Bisma, panah Dewi Srikandi hampir tidak sampai kepada Resi Bisma. Dengan cepat Arjuna melayangkan sebuah panah, dengan kekuatan tinggi mendorong  panah Srikandi melaju dengan cepat dan mengenai dada Resi Bisma. Resi Bisma jatuh ke bumi. Sasangkala berbunyi seiring dengan tumbangnya Resi Bisma di Tegal Kurusetra.  Untuk menghormati Resi Bisma, seseorang yang telah banyak berbuat baik kepada Pandawa maupun  Kurawa, yang merelakan melepas tahta Astina demi adik-adiknya, tetapi malah menjadikan Negeri Astinapura hancur lebur, Demikianlah nasib  Negeri   Astinapura, peninggalan ayahanda  Bisma  yaitu  Prabu Sentanu.
            Resi Bisma ingin tidur diatas bantal. Prabu Suyudana memerintahkan Dursasana mengambil tilam bersulam emas dari istana Astina. Tetap Resi Bisma tidak mau, Resi Bisma minta pada Arjuna untuk mengambilkan bantal pahlawan. Secepat kilat Arjuna mengambil busurnya dan menancapkan beberapa anak panah di dekat Resi Bisma tidur. Kepala Resi Bisma disangga diatas panah Arjuna yang menancap di tanah dibawah kepalanya. Sedangkan Werkudara memberikan perisai-perisai perajurit yang telah gugur untuk menyelimuti Resi Bisma. Resi Bisma meminta pada Dewa untuk memberikan umur sampai  akhir Perang Barata Yudha. Karena ia ingin melihat akhir perang Barata Yudha. Kemudian oleh Pandawa, Resi Bisma dibuatkan penutup kelambu untuk menghormati Resi Bisma.
            Pandawa dalam perang Barata Yudha ini kehilangan banyak tokoh-tokoh berguguran. Diantaranya adalah kakaeknya, Resi Bisma, karena Resi Bisma adalah ahli strategi Perang yang handal. Resi Bisma bertahan selama 10 hari menjadi senapati pihak Kurawa.





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
        Karya seni sebagai bahasa memiliki dua potensi, yaitu potensi sebagai bahasa simbolik dan potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan suara secara denotatif. Setiap karya seni tidak tumbuh dari sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara dan dari perjalanan sejarah serta dalam suatu konteks sosial budaya, maka sebenarnya sebuah karya seni merupakan rekaman peristiwa yang dikomunikasikan  oleh seniman kepada pembaca  (penonton, pendengar).
        Salah satu karya seni yang berkembang di Indonesia adalah seni wayang, yang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
            Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang. Seni wayang yang terkenal di Indonesia ada tiga, yaitu wayang golek, wayang kulit dan wayang orang.
            Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Dia adalah kakek dari Pandawa dan Kurawa. Kematiannya adalah karena terkena panah dari Srikandi dan Arjuna dalam perang Barata Yudha. Dia tidak langsung mati seketika, tetapi dia mati setelah melihat kekalahan kurawa atas keinginannya sendir.

B.   Saran
                        Indonesia adalah sebuah Negara yang memiliki banyak sekali karya seni dan kesenian, diantaranya adalah kesenian Wayang yang ada di tanah Jawa. Kita sebagai masyarakat Indonesia hendaknya mengetahui dan menjaga akan kelestarian kesenian wayang agar tidak tersisihkan oleh kebudayaan-kebudayaan Barat yang mulai masuk ke Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA



No comments:

Post a Comment