Thursday 21 April 2016

Makalah Waqhaf dan Zakat

A.     PENDAHULUAN
Wakaf merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi umat muslim dunia. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan kepada para sahabatnya mengenai wakaf. Di Indonesia wakaf juga telah diatur sedemikian rupa bertujuan untuk mengurangi sampai kepada mencegah terhadap penyelewengan harta wakaf. Namun kenyataannya masih ada saja problem yang timbul dalam masalah wakaf ini, baik dari segi wakif maupun nadzir itu sendiri. Sudah seharusnya kita sebagai umat islam memikirkan bagaimana caranya harta kita ini supaya berpotensi memajukan keadaan ekonomi umat islam.
Banyak yang harus kita lakukan sebagai umat muslim. Apalagi jika kita melihat ada peluang namun kurang dimanfaatkan. Begitu halnya dengan harta wakaf yang sudah jelas ada di depan mata tapi ternyata pengelolaanya masih kurang maksimal. Maka dari itu penulis akan coba menjabarkan problem wakaf produktif yang masih belum maksimal dan analisis pemecahan probem tersebut.
B.      PEMBAHASAN
1.        Pengertian
Secara etimologi waqaf  berarti menahan, mencegah, selamanya, tetap, paham, menghubungkan, mencabut, meninggalkan dan lain sebagainya. Dari pengertian tersebut munculah pernyataan seputar pengertian wakaf oleh para tokoh dari empat madzhab fiqih :
a.        Wakaf menurut Abu Hanifah dan sebagaian ulama Hanafiyah: adalah menahan benda yang statusnya tetap milik waqif (orang yang mewakafkan hartanya), sedangkan yang disedekahkan adalah manfaatnya.
b.       Wakaf menurut Malikiyah: adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan penyerahan berjangka waktu, sesuai dengan kehendak waqif.
c.        Wakaf menurut Shafi’iyah: adalah menahan harta yang dapat diambil manfatnya disertai dengan kekalan zat benda, lepas dari penguasaan waqif dan dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh gama.
d.       Wakaf menurut Hambaliah: adalah menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat disertai dengan kekekalan zat benda serta memutus semua hak wewenang atas benda itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan dalam hal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah

sedangkan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 adalah: perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut shari’at.

2.        Problem wakaf produktif
Sudah kita ketahui wakaf produktif merupakan bentuk harta wakat yang masih dapat dimanfaatkan lagi untuk mendapatkan kemanfaatan berikutnya. Misal seseorang mewakafkan sapi berjumlah 40 ekor, dari sapi tersebut setiap harinya dapat menghasilkan 40 liter susu sapi misalkan, dari penjualan susu tersebut dapat digunakan untuk keperluan lainnya seperti renovasi tempat ibadah, sekolah maupun digunakan dalam bisnis lain yang kira-kira berjangka panjang dan tidak terlalu memakan banyak biaya serta berpotensi positif untuk kedepannya.
Dari contoh diatas sudah jelas bahwa sangat berpotensi maju bagi keadaan ekonomi umat islam dengan catatan pengelolaan wakaf tersebut maksimal dan berjalan lancar. Namun tidak mungkin suatu hal tidak mempunyai problem atau kendala, dalam wakafpun terdapat beberapa kendala apalagi kaitannya dengan wakaf produktif. Diantara problem dalam wakaf produktif adalah sebagai berikt :
a.        Pemahaman umat islam terhadap wakaf
Wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu paham Syafi`iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang : ikrarnya, harta yang boleh diwakafkan, dan boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.
Dari paham tersebut dapat kita ambil yang paling pokok adalah boleh tidaknya harta wakaf ditukar. Secara mutlak imam syafi’i tidak membolehkan menukar atau menjual harta wakaf, begitupun yang dipegang teguh oleh umat islam di Indonesia. Namun apabila yang terjadi harta yang diwakafkan adalah uang, maka harus kita kaji lagi mengenai bentuk dari harta wakaf tersebut. Di Indonesia sendiri sudah mulai menggunakan uang sebagai harta yang boleh diwakafkan dan hal tersebut sangat sesuai dengan UU no 41 tahun 2004 dimana dalam UU tersebut disebutkan bentuk dari harta wakaf yaitu harta bergerak dan harta tidak bergerak.
Wakaf bntuk uang ini memang sangat produktif apabila dapat dikelola secara maksimal dan dikelola oleh nadzir yang profesional tentunya.
b.       Jumlah tanah wakaf yang strategis
Memang belum terfikirkan pada saat wakif dan nadzir melakukan akad wakaf mengenai tanah wakaf tersebut bersifat strategis atau tidak. Namun lambat laun semakin bertambahnya kepadatan penduduk dan bukan tidak mungkin tanah yang semula tidak berpotensi menjadi sangat berpotensi. Maka dari itu harus segera difikirkan oleh nadzir untuk pengolahan lahan tersebut. Tapi realitanya masih sangat minim kesadaran terhadap hal tersebut. Perlu difikirkan lagi bagaimana cara supaya tidak ada tanah wakaf yang vacum atau tidak mempunyai kemanfaatan.
c.        Banyaknya tanah wakaf yang belum bersertifikat
Masalah ini bukan lagi masalah baru namun sangat berpengaruh bagi kelangsungan harta wakaf itu sendiri. Sangat mungkin ada pihak yang mengakui harta itu miliknya dengan sertifikat awal harta tersebut, apalagi jika tidak ada saksi yang menyaksikan akad wakaf tersebut. Dimisalkan ada wakif mau mewakafkan tanahnya seluas 1 Ha. Namun dalam kurun waktu yang lama tanah tersebut tidak segera di daftarkan sebagai tanah wakaf oleh nadzir. Muncullah keturan dari waqif bertujuan mengambil kembali tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang lama karena belum ada sertifikat baru untuk tanah itu. Terus bagaimana caranya kita mempertahankan bahwa tanah itu milik wakaf, apalagi pada zaman sekarang ini, mempertahankan barang tidak ada bukti otentik tidak akan bisa. Dari kemungkinan tersebut maka sangat dianjurkan bagi para badzir untuk segera mensertifikatkan setiap tanah wakaf yang masuk dan sangat diharapkan untuk dikelola dengan baik.
d.       Nadzir wakaf masih tradisional
Seorang nadzir diharapkan berwaawasan luan dan mampu membuat rencana kedepan dengan mempertimbangkan potensi dari harta wakaf tersebut. Suatu kendala jika sang nadzir masih berpegang pada kebiasaan wakaf zaman dahulu, hanya mengandalkan kepercayaan waqif, berpandangan bahwa harta wakaf hanya digunakan sebagai sarana pembuatan tempat ibadah, sekolah maupun pemakaman. Hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya kemanfaatan harta wakaf untuk bidang yang lain. Padahal masih banyak yang harus dibenahi oleh umat muslim dari segi manapun.
3.        Analisi pemecahan masalah
Dilihat dari undang-undang yang kita pakai yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004  Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Dimana dalam undang-undang tersebut berisi mengenai :
a.       mengadmistrasikan, mengelola, mengembangan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
b.      membuat laporan secara berkala kepada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) mengenai kegiatan perwakafan.
Jika dikaitkan dengan problem wakaf diatas maka kita akan garis bawahi pada masalah pengembangan dan pengelolaan harta wakaf. Dari empat problem diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia masih kurang maksimal. Di butuhkan beberapa metode supaya hal tersebut dapat ditangani. Dari analisis penulis menyatakan beberapa hal yang harus dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut, antara lain :
a.       Dilakukan sosialisasi wakaf khususnya yang bersifat produktif karena pemahaman terhadap hal tersebut masih sangat minim dikalangan masyarakat.
b.      Pembekalan terhadap para nadzir. Hal tersebut bertujuan untuk lebih fokus pada kemanfaatan harta wakaf dalam jangka panjang dan mampu mengembangkan harta tesebut serta nadzir mampu menilai potensi yang akan diambil dari harta wakaf kelolaannya itu.
c.       Penyertifikasian harta wakat terutama tanah. Disini dapat kelihatan efek dari nadzir yang mempunyai dedikasi dengan nadzir yang biasa-biasa saja. Jika semua nadzir berdedikasi maka urusan sertifikasi harta akan sangat difikirkan karena hal tersebut akan berpengaruh di masa depannya.
Jika semua upaya diatas dapat terlaksana maka sudah diketahui tidak akan ada harta wakaf yang kurang bermanfaat apalagi sampai vacum, dalam artian harta wakaf tersebut hanya dimanfaatkan sebagai tempat ibadah atau tempat belajar saja, namun sangat diharapkan harta wakaf mampu menunjang kemajuan ekonomi umat islam khususnya dan bagi negara indonesia pada umumnya.

C.      PENUTUP
Wakaf merupakan pemberian harta oleh wakif kepada nadzir dengan tujuan dapat dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan umat. Wakaf dibagi menjadi dua yaitu wakaf konsumtif dan wakaf produktif. Banyak problem yang mempengaruhi pengelolaan harta wakaf, terutama dalam masalah pengembangan harta itu sendiri. namun hal tersebut dapat terpecahkan apabila nadzir mampu mengetahui peluang potensi dari harta yang diolah dan yang akan dikembangkannya.

D.     DAFTAR PUSTAKA
https://sururudin.wordpress.com/2010/08/27/pemanfaatan-hasil-wakaf-produktif/
http://k2ichsan.blogspot.com/2012/06/strategi-nazhir-produktif-2.html
http://bagiilmukepo.blogspot.com/2015/03/makalah-wakaf-produktif.html


Resum buku metode studi islam

Resume buku karya DR.H. Abuddin Nata, MA yang berjudul Metodi Studi Islam dari halaman 161-183 oleh A Badrul Anwar ( 211-13-011).

Metode penelitian tafsir
Kata tafsir berasal dari bahasa arab fassara, yufassiru, fassiron yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Imam al-Zarqani mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai di kehendaki allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Az-Zarkasyi juga mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran al-Quran yang pernah dilaksanakan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
Dilihat dari latar belakang munculnya metode tafsir al-Quran. Penafsiran al-Quran merupakan kegiatan ilmiah yang paling tua dalam islam. Pada masa pertama penafsiran al-Quran, Rosulullah lah orang pertama yang bertugas sebagai mubayyin (pemberi penjelas) al-Quran baik dari segi arti maupun kandungan al-Quran terhadap para sahabatnya.
Sepeninggal Rosul para sahabat dalam menjelaskan persoalan terpaksa melakukan ijtihad, khususnya bagi mereka yang memiliki kemampuan seperti Ali bin Abi Tholib, Ibn’ Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibn Mas’ud. Ada juga dikalangan para sahabat yang bertanya kepada ahli kitab yang telah masuk islam seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al- Akhbar seputar kisah umat terdahulu. Hal tersebut merupakan awal mula Israiliyyat.
Perkembangan tafsir sendiri dibagi dalam tiga periode, periode pertama yaitu pada masa Rosullullah, masa sahabat dan permulaan masa tabi’in. Periode kedua bermula pada masa pengkodofikasian hadits secara resmi pada masa kholifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Dimana pada masa itu penulisan tafsir bergabung dengan penulisan hadits, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya dalah tafsir bi al-ma’tsur. Dan periode ketiga dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri. Sementara tokohnya diduga dimulai oleh al-Farra dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani al Quran.
Muhamad Arkoun, seorang pemikir asal Al Jazair kontemporer menulis bahwa al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Berdasarkan adanya upaya penafsiran alquran semenjak masa Rosul hingga sekarang ini serta sifat dari kandungan al-Quran yang secara terus menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan. Pertama, meneliti disekitar produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu. Kedua, kegiatan penafsiran itu sendiri.
Model-model penelitian tafsir
Berikut merupakan model-model penasiran oleh para ulama tafsir, yaitu :
1.      Model Quraisb Shihab
H.M Quraisb shihab lahir tahun 1944. Beliau merupakan pakar dibidang tafsir dan hadits se-Asia Tenggara. Beliau banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya penafsiran ulama terdahulu. Misalnya tafsir Muhammad Abduh dan H Rasyid Ridha dengan judul tafsir al-Manar. Model yang dilakukan oleh beliau adalah banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun yang lainnya. Hasil yang diperoleh dari tafsir al-Manar yaitu menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh merupakan seorang mufassir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip “ tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh akal manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam al-Quran.
Dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraisb Shihab berhasil meneliti seluruh karya tafsir para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan antara lain, (1) Periodisasi perkembangan dan pertumbuhan tafsir. (2) Corak-corak penafsiran. (3) macam-macam metode penafsiran al-Quran. (4) syarat-syarat dalam menafsirkan al-Quran dan (5) hubungan tafsir modernisasi.

Corak-corak penafsiran

Berdasarkan penelitian Quraisb Shihab menyatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain :
1.      Corak sastra bahasa
2.      Corak filsafat dan teologi
3.      Corak penafsiran ilmiah
4.      Corak fikih atau hukum
5.      Corak tasawuf
6.      Bermula pada syekh muhammad abduh

Macam-macam metode penafsiran al-quran
Berdasar penelitian quraisb shihab metode penafsiran secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu corak ma’tsur (riwayat) dan corak penalaran.
1)       Corak ma’tsur
Keistimewaan metode ini antara lain ;
a)      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-quran
b)       Memaparkan ketelitian radaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c)      Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjeruus pada subjektivitas berlebihan
Kelemahan metode ma’tsur antara lain :
a)      Terjerumusnya seorang mufasir kedalam uraian kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok alquran menjadi kabur dicelah uraian tersebut.
b)      Seringkali konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2)       Metode panalaran ; pendekatan dan corak-coraknya
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan penalaran, shingga akan sangat banyak apabila kita bermaksud menelusuri satu persatu. Al Famawi membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kedalam 4 macam, yaitu :
a)      Metode tahlili
Kelebihan metode ini yaitu adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalluui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsiran menyangkut segala aspek yang ditemukan oleh mufasir dalam setiap ayat. Analisi yang dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufasir. Walau dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
b)      Metode ijmali
Metode ijali atau yang sering disebut dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat al-quran dengan menunjukan kandungan makna yang terdapat dalam suatu ayat secara global.dengan metode ini mufasir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.
c)      Metode muqarin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir al-Quran yang dilakikan dengan cara membandingkan ayat al-Quran yang satu dengan lainnya, yaitu ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah yang sama atau diduga sama, dan membandingkat ayat al-Quran dengan hadits Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Quran.
Sejalan dengan kerangka diatas, maka prosedur tafsir muqarin sebagai berikut :
                                                        i.            Menginventarisir ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi;
                                                      ii.            Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat tersebut;
                                                    iii.            Mengadakan penafsiran.
d)      Metode maudhu’i
Menurut Quraisb Shihab metode maudhu’i adalah pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Quaran dengan menjelaskan tujuan-tuJannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya serta menghubungkan persoalan yang beraneka ragam yang terdapat dalam surat tersebut antara satu dengan ayat lainnya dan juga dengan tema tersebut sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat al-Quran yang membahs satu masalah tertentu dalam berbagai ayat atau al-Quran dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutannya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.



2.      Model Ahmad Syarbashi

Pada tahun 1985 beliau melakukan penelitian tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana yang dilakukan oleh Quraisb Shihab. Sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis ulama tafsir seperti Ibn Jarir at-Thabari, al-Zamarkasyi, Jalaluddin al-Suyuthi, al-Raghib al-Ashfahani, al-Syatibi, Haji Khalifah dan lain-lain. Hasil penelitiannya ini mencakup tiga bidang. Pertama mengenai sejarah penafsiran al-Quran dibagi kedalam tafsir masa sahabat Nabi. Kedua mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik. Ketiga mengenai gerakan pembaruan dibidang tafsir.
Pada zaman Rosul tafsir disusun pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al-Quran. Pada masa sesudah itu akibat pertumbuhan islam yang pesat maka penguasaan bahasa aran semakin menurun karna terdapat percampuran dengan orang dari Negara lain, hal tersebut memunculkan kaidah-kaidah bahsa arab seperti ilmu nahwu, balaghah dan sebagainya.
Tentang tafsir ilmiah, beliau mengatakan sudah dapat kita pastikan bahwa dalam al-Quran tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam-macam kenyataan ilmiah. Munculnya tafsir ilmiah ini antara lain didasarkan pada data kitab tafsir ar-Razi. Tafsir sufi, as-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk  menafsirkan huruf-huruf al-Quran dan berusaha menerangkan hubungan yang satu dengan yang lainnya. Adanya tafsir sufi tersebut belia mendasarkan kepada kitab-kitab karangan para ulama sufi. Mengenai tafsir politik as-Syarbashi mendasarkan pada pendapat kaum khawarij dan lainnya yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Yang terkhir mengenai gerakan pembaharuan, as-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad 20. Ia menyebutkan Sayyid Rashid Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya kedalam majalah al-Manar.itu merupakan langkah pertama, selanjutnya beliau menghimpun dan menambahkan penjelaskan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang dibei nama tafsir al-Manar, yaitu kitab yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman.
3.      Model Syaikh Muhammad al-Ghazali.
Al-Ghazali merupan pemikir islam abad modern yang produktif. Salah karyanya dibidang tafsir yaitu berjudul berdialog dengan al-Quran. Al Ghazali juga membagi periode metode klasik dan modern dalam memahami al-Quran. Peroide klasik adalah periode memahami al-Quran para ulama terdahulu. Selanjutnya al-Ghazali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami al-Quran. Metode modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada metode sebelumnya.
Berangkat dari kelemahan metode tafsir pada masa lalu, terutama jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalalah kontemporer dan modern. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pemikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memilki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Disisi lain kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfaat atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila semua itu menggunakan metode yang tepat. Itulah kesimpulan dan saran yang dikemukan oleh Muhammad al-Ghazali dari hasil penelitiannya.

4.      Model Penelitian Lainnya
Selanjutnya dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari al-Quran. Diantaranya ada yang memfokuskan pada kemukjizatan al-Quran, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan al-Quran, kunci-kunci untuk memahami al-Quran serta ada pula khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran al-Quran yang khusus terjadi pada abad keempat.
Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul studi agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Beliau mengatakan perjalanan penulisan tafsir zaman pertengahan agaknya tidak terlalu meleset jika dikatan bahwa dominasi penulisan tafsir al-Quran secara leksiografis (lughowi) lebih menonjol. Selanjutnya beliau mengtakan meskipun begitu, masih perlu digaris bawahi bahwa karya tafsir mutakhir ini kaya dengan metode komparatif didalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosakata al-Quran.
Tanpa harus mengucilkan para ulama tafsir yang bercorak leksiografis, corak penafsiran seperti ittu dapat membawa kita kepada pemahaman al-Quran yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran al-Quran yang fundamental.




Makalah Fiqih Munakahah tentang Khulu'

PENDAHULUAN
Nikah merupakan suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama dan sebagai wujud ittiba’ rosul. Tujuan dari nikah itu sendiri adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah dan juga membentuk keturunan yang kuat dalam beragama. Namun seiring berjalannya waktu banyak masalah yang timbul ketika dua orang telah menikah tersebut menemui suatu masalah yang sukar unuk dihadapi. Kadang hal tersebut membuat seorang istri mengajukan permintaan cerai terhadap sang suami. Apalagi sekarang, hal tersebut sudah menjadi fenomena yang tak asing lagi. Banyak sosial media yang menayangkan tentang kasus-kasus perceraian yang didasari permintaan seorang istri keapada suaminya untuk bercerai. Dari banyak hal tersebut penulis mencoba menjelaskan mengenai permintaan cerai seorang istri kepada suaminya, atau dalam istilah fiqih disebut khulu’.
PEMBAHASAN
1.       Pengertian khulu’
Khulu’ mempunyai arti menanggalkan pakaian atau membuka pakaian. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin khulu’ merupakan suatu bentuk dari putusnya perkawinan, namun beda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan itu, dalam khulu’ terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh. Khulu’ juga diartikan talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya atas permintaan istri dengan adanya pembayaran sejumlah harta kepada suami.
2.       Hukum khulu’
Jumhur Ulama berpendapat bahwa khulu’ diperbolehkan. Dasar dari kebolehan khulu’ yaitu terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 229 :
Artinya : jika kau khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah SWT, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Nabi Muhammad juga membolehkan khulu’ tersebut. Dasar kebolehan tersebut sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Bukharidari Anas bin Malik : istri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi SAW dan berkata : “ wahai Rosul Allah Tsabit bin Qais itutudak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamannya. Cuma saya tidak senang terjadi kekufuran dalam islam.” Rosulullah bersabda : Maukah kamu mengembalikan kebunnya ? si istri menjawab : ya mau. Nabi berkata kepada Tsabit : terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.
3.       Tujuan dan hikmah khulu’
Tujuan kebolehan khulu’ adalah untuk menghindakan istri dari kesulitan dan kemadhorotan yang dirasakan bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak suami karena dia sudah menerima iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.
Hikmah dari hukum khulu’ adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya menggunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya denga menggunakan cara khulu’.
4.       Rukun dan syarat khulu’
Khulu’ dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun khulu’ ada empat, yaitu : suami, istri, mukhtali’ah dan sighat khulu’ serta ‘iwadh.


a.       Suami
Para ulama sepakat bahwasannya orang yang dikhulu’ atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan : barang siapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengkhulu’.
b.       Istri
Syarat bagi istri yang hendak mengkhulu’ :
1)      Hendaknya ia istri yang sah scara syar’i.
2)      Istri yang mengajukan khulu’ hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharuf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma.
c.       ‘iwadh
‘iwadh adalah sebuah harta yang diambil oleh suami dari istrinya karena si istri mengajukan khulu’. Syarat dari ‘iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai ‘iwadh dalam khulu’.
d.       Shighat khulu’
Sighat khulu’ adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad khulu’. Shighat khulu’ ini adlah kata-kata yang dapat digunakan sebagai ijab qabul dalam khulu’. Pada dasarnya, shighat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shighatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.
HAL-HAL YANG BERKENAAN DENGAN KHULU’
1.       Waktu terjadinya khulu’
Khulu’ dapat dilaksanakan kapan saja tanpa terkait waktu tertentu, khulu’ adalah perceraian yang diminta oleh istri yang dengan sendirinya dia telah menerima resiko apapun atas permintaannya itu, termasuk perpanjangan masa iddah.
2.       Bentuk perceraian
Bila telah diucapkan shigat khulu’ oleh suami atas permintaan sendiri oleh pihak istri, suami telah pula menerima tebusan, maka perkawinan putus dalam bentuk thalaq bain shugra, dalam arti tidak boleh rujuk, namun dibolehkan melangsungkan pernikahan sesudah itu tanpa muhallil.
3.       Rujuk sesudah khulu’
Sebagian ulama diantaranya berpendapat bahwa suami mempunyai hak pilih antara menerima iwadh dan menolaknya. Kalau suami menerima iwadh dia tidak memiliki hak untuk ruju’ , sedangkan bila ia menolak iwadh yang diberikan istrinya, maka ia berhak untuk ruju’.
4.       Pelaksanaan khulu’
Jumhur ulama serta satu riwayat oleh Imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ itu dapat dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus didepan hakim atau oeleh hakim.




KESIMPULAN
Khulu’ dapat diartilkan talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya atas permintaan isti dengan pembayaran sejumlah harta kepada suami. Menghkhulu’ istri dapat dilakukana sewaktu-waktu.
Hukum khulu’ menurut jumhur ulama adalah boleh. Dasar kebolehan khulu’ berdasarkan al-Quran dan Sunah.
Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah untuk menghindarkan istri dari kesulitan dan kemadhorotan. Sedangkan hikmah dari hukum khulu’ adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami.
Selain itu khulu’ mempunyai rukun dan syarat khulu’. Dan khulu’ itu dapat dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus di depan hakim atau oleh hakim.

Pengertian Resensi dan Unsur

Pengertian Resensi dan Unsur-Unsur Resensi| Pengertian Resensi adalah sebagai karangan yang berisi ulasan terhadap karya, baik berupa buku, film, atau album. Resensi biasa didefinisikan untuk memperdalam dari pengertian resensi, Definisi Rensensi menurut para ahli adalah suatu karangan yang berisi penilaian terhadap buku atau karya seni. Resensi ditulis untuk memperkenalkan buku atau karya seni itu kepada masyarakat pembaca dan membantu mereka dalam memahami atau bahkan memilihnya . Unsur-Unsur resensi terdiri atas identitas buku, ikhtisar buku, Kepengarangan, Keunggulan dan Kelemahan. Untuk mengetahui penjelasan dari unsur-unsur resensi mari kita lihat pembahsannya seperti dibawah ini,. 


Unsur-Unsur Resensi 
1. Identitas Buku, Identitas buku meliputi judul, nama pengarang, nama penerbit dan alamatnyam nomor edisi, dan ketebalannya. Identitas buku dapat juga meliputi ukuran buku, warna dan ilustrasi jilid. Akan tetapi, dalam kepentingannya dengan penulisan resensi hal itu jarang sekali dimunculkan 
2. Ikhtisar Buku, Ikhtisar buku disusun berdasarkan pokok-pokok isi buku. Akan tetapi, karena buku yang akan anda resensi itu berua novel maka cara menentukan pokok-pokok tidak sama dengan buku nonfiksi. pokok-pokok isi novel dapat ditentukan berdasarkan keadaan ataupun peristiwa-peristiwa penting. 
3. Kepengarangan, Sosok pengarang sering diceritakan dalam resensi novel. Hal itu terutama berkaitan dengan latar belakang, keahlian, sikap-sikap, dan karya-karyanya. Bagian-bagian tersebut diceritakan secara ringkas dan umumnya tidak melebihi satu paragraf. Sosok pengarang umumnya dicantumkan di halaman pertama atau dibagian belakang novel itu. Dari sanalah anda dapat berbicara tentang unsur kepengarangan. Untuk pengarang yang sudah terkenal, anda dapat membacanya dari sumber-sumber lain. Dari internet pun anda bisa memperoleh informasi lebih lengkap lagi
4. Keunggulan dan Kelemahan, Keunggulan dan kelemahan dalam resensi dapat berkaitan dengan unsur-unsur novel. Terhadap unsur-unsur itu, anda memberikan penilaian, baik itu berdasarkan kesedarhanaan, kejelasan kekhasan, pengusaan masalah, dan aspek-aspek lainnya yang ditentukan sendiri

PENGERTIAN RESENSI DAN CONTOHNYA
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku.

Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas

Secara singkat, resensi ialah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.


Lebih detil lagi, tujuan resensi adalah:
Memberikan informasi atau pemahaman yang komprehensif (mendalam) tentang apa yang tampak dan terungkap dalam sebuah buku.
Mengajak pembaca untuk memikirkan, merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh fenomena atau problema yang muncul dalam sebuah buku.
Memberikan pertimbangan kepada pembaca apakah buku itu pantas mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.
Setelah mengetahui definisi serta tujuan dari resensi yang dibuat oleh resentator, kira-kira unsur apa saja yang terkandung di dalam sebuah resensi?



Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:
  •  Membuat judul resensi

Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.
  •  Menyusun data buku

Data buku biasanya disusun sebagai berikut:
- Judul buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan judul aslinya.);
- Pengarang (Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku.);
- Penerbit;
- Tahun terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa);
- Tebal buku;
- Harga buku (jika diperlukan).
  •  Membuat pembukaan

- Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
- Memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh;
- Membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain;
- Memaparkan kekhasan atau sosok pengarang;
- Memaparkan keunikan buku;
- Merumuskan tema buku;
- Mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku;
- Mengungkapkan kesan terhadap buku;
- Memperkenalkan penerbit;
- Mengajukan pertanyaan;
- Membuka dialog.
  •  Tubuh atau isi pernyataan resensi buku

Tubuh atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal di bawah ini:
a. sinopsis atau isi buku secara bernas dan kronologis;
b. ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya;
c. keunggulan buku;
d. kelemahan buku;
e. rumusan kerangka buku;
f. tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit);
g. adanya kesalahan cetak.

Langkah-langkah meresensi buku sebagai berikut:
a. Penjajakan atau pengenalan terhadap buku yang diresensi.
- Mulai dari tema buku yang diresensi, disertai deskripsi isi buku.
- Siapa yang menerbitkan buku itu, kapan dan di mana diterbitkan, tebal (jumlah bab dan halaman), format, hingga harga.
- Siapa pengarangnya: nama, latar belakang pendidikan, reputasi dan prestasi, buku atau karya apa saja yang ditulis, hingga mengapa ia menulis buku itu.
- Buku itu termasuk golongan buku yang mana: ekonomi, teknik, politik, pendidikan, psikologi, sosiologi, filsafat, bahasa, atau sastra.
b. Membaca buku yang akan diresensi secara komprehensif, cermat, dan teliti. Peta permasalahan dalam buku itu perlu dipahami secara tepat dan akurat.
c. Menandai bagian-bagian buku yang diperhatikan secara khusus dan menentukan bagian-bagian yang dikutip untuk dijadikan data.
d. Membuat ringkasan atau intisari dari buku yang akan diresensi.
e. Menentukan sikap dan menilai hal-hal berikut:
- Organisasi atau kerangka penulisan; bagaimana hubungan antara bagian yang satu dan bagian yang lain, bagaimana sistematikanya, dan bagaimana dinamikanya.
- Isi pernyataan; bagaimana bobot ide, analisis, penyajian data, dan kreativitas pemikirannya.
- Bahasa; bagaimana ejaan yang disempurnakan diterapkan, kalimat dan penggunaan kata, terutama untuk buku ilmiah. - Aspek teknis; bagaimana tata letak, tata wajah, kerapian dan kebersihan, dan pencetakannya (banyak salah cetak atau tidak).
Sebelum menilai, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dibuat semacam garis besar (outline) resensi itu. Outline ini sangat membantu kita ketika menulis. Mengoreksi dan merevisi hasil resensi dengan menggunakan dasar dan kriteria yang kita tentukan sebelumnya