Sunday 20 September 2015

Makalah Akhlak

A.   Latar Belakang
            Agama Islam adalah agama Allah SWT. yang terakhir, diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan Kitab Suci Al-Qur’an. Nabi Muhmmad SAW. merupakan Nabi penutup para Nabi dan Rasul yang terdahulu (Khatamul-Anbiya’ Wal-Mursalin). Beliau ditugaskan untuk mendakwahkan Islam dengan membawa Risalah yang berupa Kitab Suci Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah Kitab Suci terakhir yang menyempurnakan Kitab-kitab Suci yang sebelumnya. Sehingga, agama Islam harus dipercayai dan dipeluk oleh seluruh umat manusia.
            Sebagai agama yang terakhir, berkaitan dengan moral atau akhlak sudah pasti yang diajarkan di dalam agama Islam telah menyempurnakan dari ajaran yang ada sebelum Islam. Allah mengutus Nabi Muhammad SAW. bukan hanya sebagai seorang Nabi dan Rasul yang merupakan penutup Nabi dan Rasul yang sebelum beliau. Melainkan, beliau juga diutus sebagai penyempurna akhlak. Nabi Muhammad SAW. merupakan seorang guru besar, selain beliau mengajarkan Al-Qur’an dan Hadis, beliau juga mengajarkan manusia dengan memberikan suri tauladan yang baik dalam berperilaku. Jadi, seyogyanya bagi umat Muslim untuk meneladani akhlak Nabi Muhamad SAW. dalam menjalani kehidupan.
            Islam mengajarkan umatnya untuk berakhlaqul-karimah dan menghindari akhlaqul-madzmumah. Akhlaqul-karimah yaitu perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku baik yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan dalam Islam. Umat Muslim dapat berakhlaqul-karimah dengan meneladani atau melaksanakan perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku Nabi Muhammad SAW. Sementara akhlaqul-madzmumah yaitu perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku buruk yang melenceng dari ajaran Islam. Akhlaqul-madzmumah merupakan perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. yang  dilarang bagi umat Muslim untuk melakukannya. Dari Sahl bin Sa'ad r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda yang artinya:Sesungguhnya Allah mencintai akhlak yang mulia dan membenci akhlak yang buruk”. (Al-Mu'jam Al-Kabiir: Sahih)
            Sebagai umat Muslim, kita diwajibkan untuk meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. semampu kita, kecuali perbuatan yang khusus bagi Nabi Muhammad SAW. Dengan melaksanakan apa yang beliau ajarkan dan meninggalkan apa yang beliau larang, maka pastilah umat Muslim akan menjadi umat ynag makmur dan sejahtera, tidak tertinggal dari umat-umat agama lain, seperti umat Kristiani yang saat ini sangat maju. Apabila umat Muslim dari individu-individunya senantiasa meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. niscaya umat Muslim tidak akan mengalami berbagai masalah atau kesulitan yang besar, seperti masalah korupsi, kemiskinan dan lain sebagainya.
            Umat Muslim pada masa sekarang menurut para pengamat telah mengalami kemrosotan akhlak dalam berbagai aspek kehidupan. Hal inilah yang menjadi faktor ketertinggalan umat Muslim di berbagai Negara di dunia, salah satunya di Indonesia. Sementara bangsa Eropa terus mengalami kemajuan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, sedangkan Bangsa Timur yang mayoritas Muslim terus mengalami kemunduran dalam hal moral, yang mana akan berpengaruh kepada kualitas bangsa. Di era modern ini umat Muslim di Indonesia sebagaimana kita perhatikan dapat dikatakan mengalami kemunduran atau kemerosotan moral atau akhlak, meskipun mengalami kemajuan dalam perekonomian dan IPTEK.
            Sebagai pelajar Muslim, hendaknya kita menelaah lebih dalam mengenai sebab-sebab terjadinya krisis akhlak umat Muslim di Negara ini. Kita harus mengkaji apa yang salah di dalam masyarakat, di lingkungan kita terutama dan mencari tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Setelah itu, kita harus berusaha untuk mencari solusinya agar umat Muslim di Negara Indonesia ini tidak terus menerus hanyut dalam kesalahan yang dilakukan, baik yang disadari maupun tidak. Kita harus memikirkan dan mengupayakan dengan berbagai cara untuk menyadarkan bagi orang-orang yang sudah terjerumus dalam akhlaqul-madzmumah dan mencegah bagi orang-orang yang masih selamat agar tidak terjerumus ke dalam akhlaqul-madzmumah tersebut.

B.   Orientasi Akhlak
            Secara etimologis (bahasa), kata Akhlak adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab Al-Akhlaaq. Ia merupakan bentuk jama’ dari kata Al-Khuluq yang berarti budi pekerti, tabia’t atau watak. Selanjutnya, arti ini sering disepadankan (disinonimkan) dengan kata: etika , moral, kesusilaan, tata krama atau sopan santun. (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 6)
            Dengan demikian, maka kata Akhlak merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mengistilahkan perbuatan manusia yang kemudian diukur dengan baik atau buruk. Di dalam agama Islam, ukuran yang digunakan untuk menilai baik atau buruk itu tidak lain ialah ajaran Islam itu sendiri (Al-Qur’an dan Al-Hadis).
            Sedangkan secara terminologis (istilah), pengertian akhlak telah banyak dikemukakan oleh para Ulama’ dan cerdik pandai. Diantaranya dapat kita simak sebuah ta’rif (definisi) yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Al-Akhlaaq:
“Sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, apabila kehendak itu membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.” (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 9)
            Menyimak pengertian ini, maka yang dimaksud dengan Akhlak adalah ‘aadatul iraadah atau kehendak yang dibiasakan. Dengan kehendak itulah manusia melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan lahir maupun perbuatan batin. Suatu perbuatan yang dibiasakan itulah yang dinamakan akhlak. Maka nampaklah bahwa pengertian akhlak menurut ta’rif diatas adalah mencakup perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi atau telah menjadi kebiasaan bagi yang bersangkutan.
            Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahdzibul-Akhlaaq Wa Tathirul-A’raq, beliau menyebutkan bahwa akhlak ialah:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu).” (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 10)
            Apabila Prof. Dr. Ahmad Amin menggunakan istilah iraadah (kehendak) dalam ta’rifnya, maka Ibnu Maskawaih menggunakan istilah haalun nafs (keadaan jiwa). Di sini dapat kita ambil garis kesamaan bahwa perbuatan batiniahlah yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan lahiriah. Meskipun pada hakikatnya kedua perbuatan itu merupakan satu kesatuan perbuatan. Karena perbuatan lahiriah hanyalah merupakan refleksi dari perbuatan batiniah belaka. Apabila perbuatan itu telah mempribadi pada diri seseorang , dilakukan secara berulang-ulang (menjadi kebiasaan) tanpa memerlukan pertimbangan-pertimbangan akalnya, maka kebiasaan perbuatan yang demikian itu dinamakan akhlak.
            Selanjutnya, apabila ternyata perbuatan yang biasa dilakukan oleh seseorang itu ternyata bernilai baik menurut ukuran yang dipergunakan, maka dinamakan akhlak terpuji (akhlaqul karimah) dan orang yang mempunyai akhlak tersebut disebut “orang yang berakhlak mulia”. Sebaliknya apabila perbuatan yang biasa dilakukan itu bernilai buruk menurut ukuran yang dipergunakan, maka dinamakan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah) dan orang yang mempunyai akhlak tersebut disebut “orang yang berakhlak tercela”.
            Untuk lebih memperjelas pemahaman kita tentang pengertian akhlak ini, marilah kita simak ta’rif yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin:
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.” (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 12)
            Ta’rif ini ternyata juga memberikan pengertian yang hampir sama dengan ta’rif-ta’rif yang sebelumnya. Bahwasanya akhlak itu merupakan perbuatan yang menjadi kebiasaan pada diri seseorang. Ia merupakan refleksi dari perbuatan batinnya dan biasa dilakukan secara berulang-ulang, sehingga perbuatannya tersebut dilakukan tanpa pertimbangan akal pikirannya terlebih dahulu.
            Dari ketiga ta’rif di atas, dapat kita simpulkan bahwa Akhlak ialah perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain.
            Secara garis besar, sumber akhlak dapat kita bedakan menjadi dua, yakni akhlak religius dan akhlak sekuler. Akhlak religius adalah akhlak yang bersumber dari keagamaan atau kepercayaan kepada yang ghaib (Tuhan, Ruh, Malaikat, dan seterusnya). Maka tolok ukur yang digunakan ialah ajaran agama atau kepercayaan itu sendiri. Maka, dalam agama Islam, sumber akhlak yanitu Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dorongan untuk melaksanakan akhlak religius ini adalah adanya keyakinan terhadap pahala bagi yang berakhlak terpuji dan dosa bagi yang berakhlak tercela. Akhlak yang bersumber dari agama ini akan membimbing umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sekaligus dalam hubungannya dengan sesama manusia atau sesama makhluk. Ukuran baik atau buruk tidak hanya dipandang dari sudut kemanusiaan, tetapi juga dipandang dari sudut ketuhanan.
            Sedangkan akhlak sekuler adalah akhlak yang bersumber dari hasil budaya manusia belaka, tanpa mempertimbangkan adanya kekuatan ghaib. Ukuran baik atau buruk hanya didasarkan pada komunitas manusia yang menciptakan kebudayaan yang bersangkutan. Maka, dorongan untuk melaksanakan akhlak sekuler ini hanyalah berupa pujian dari sesama manusia apabila seseorang melakukan akhlak terpuji dan mendapatkan sanksi apabila seseorang melaksanakan perbuatan yang dianggap tercela. Akhlak sekuler ini hanya membimbing manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia. (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 14)
            Tolok ukur akhlak adalah baik dan buruk. Kembali pada pengertian akhlak yang secara bahasa berarti budi pekerti, tabi’at atau watak, maka pengertian akhlak secara istilah kita dapat simpulkan sebagai perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukannya secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain. Dari itu, masih harus dibatasi lagi bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah perbuatan-perbuatan yang dapat diukur. (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal 13)
            Adapun alat yang dipergunakan untuk mengukur perbuatan-perbuatan yang kemudian kita namakan akhlak itu ialah baik atau buruk. Dengan kata lain, tolok ukur akhlak adalah baik atau buruk. Dengan demikian, maka tidak semua perbuatan manusia dapat dikatakan sebagai akhlak, karena tidak semua perbuatan itu dapat kita ukur dengan baik atau buruk. Misalnya berkedip, bernapas, bergerak reflek dan seterusnya. Ini semua termasuk perbuatan manusia, tetapi tidak dengan baik atau buruk, sehingga perbuatan-perbuatan tersebut tidak dinamakan akhlak.
            Cakupan akhlak hanyalah perbuatan-perbuatan manusia yang menjadi suatu kebiasaan yang dapat diukur dengan tolok ukur baik atau buruk, baik perbuatan batiniah (yang tidak terlihat) maupun perbuatan lahiriyah (yang terlihat). Selanjutnya, semua perbuatan yang dinilai baik, maka disebut dengan akhlak terpuji (akhlaqul karimah) dan semua perbuatan yang dinilai buruk, maka disebut dengan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah). Namun demikian, ukuran baik atau buruk itu sangatlah bervariasi, tergantung pada sumber akhlaknya masing-masing. Apa yang dinilai baik menurut sumber akhlak yang satu belum tentu dinilai baik pula oleh sumber akhlak yang lain.
            Cakupan akhlak mulia bagi umat Muslim meliputi: akhlak kepada Allah SWT., akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada orang lain (Muslim maupun non-Muslim) dan akhlak terhadap makhluk-makhluk Allah yang lain (hewan dan tumbuhan).

C.   Krisis Akhlak Umat Muslim Indonesia Dalam Kehidupan Modern
            Globalisasi adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri semua orang dan semua kalangan pasti akan merasakannya dampak darinya, baik dampak yang positif maupun dampak yang negatif. Namun, jika hal ini tidak dibarengi dengan filter yang kuat globalisasi dapat berakibat pada krisis akhlak yang terjadi hampir di semua lapisan masyarakat mulai dari pelajar hingga pejabat negara. Dikalangan pelajar misalnya bisa dilihat dari meningkatnya angka kriminalitas mulai dari kasus narkoba, pembunuhan, pelecehan seksual dan sebgainya. Demikian halnya di kalangan masyarakat dan pejabat negara. Yang paling menonjol adalah semakin membudayanya tingkat pidana korupsi di negeri ini.
            Masalah besar umat hari ini memasuki era globalisasi terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan secara meluas melalui media massa yang di tandai dengan semakin berkembangnya pengaruh budaya pengagungan materia secara berlebihan (materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan pengaruh munculnya berbagi bentuk Kriminalitas, Sadisme, Krisis moral secara meluas (H.Mas’oed Abidin).
            Dunia pendidikan akhir-akhir ini digoncangkan oleh fenomena kurang menggembirakan terlihat dari banyaknya terjadi tawuran pelajar, pergaulan a-susila dikalangan pelajar dan mahasiswa, kecabulan pornografi tak terbendung, sebahagian cendekiawan berminat tinggi terhadap kehidupan non-science asyik mencari kekuatan gaib belajar sihir, mencari jawaban dari paranormal menguasai kekuatan jin, bertapa ketempat angker menyelami black-magic dan mempercayai mistik. Kalangan remaja dijangkiti kebiasaan bolos sekolah, minuman keras, kecanduan ectasy (XTC), budak kokain dan morfin, judi, dan sejenisnya. Pada hakekatnya semua prilaku a-moral tersebut lahir karena lepas kendali dari nilai-nilai agama dan menyimpang jauh terbawa arus deras keluar dari alur budaya luhur bangsa. Kondisi seperti itu telah memberikan penilaian buruk terhadap dunia pendidikan pada umumnya.
            Remaja akan menjadi aktor utama dalam pentas kesejagatan (millenium ketiga), karena itu generasi muda (remaja) harus dibina dengan budaya yang kuat berintikan nilai-nilai dinamik yang relevan dengan realiti kemajuan di era globalisasi. Perkembangan kedepan banyak ditentukan oleh peranan remaja sebagai generasi penerus dan pewaris dengan kepemilikan  ruang interaksi yang jelas menjadi agen sosialisasi guna menggerakkan kelanjutan  survival kehidupan.          Kecemasan atas penyimpangan perilaku kemunduran moral dan akhlak, kehilangan kendali para remaja, sepatutnya menjadi kerisauan semua pihak. Ketahanan bangsa akan lenyap dengan lemahnya remaja. Kenakalan remaja lebih banyak disebabkan rusaknya sistim, pola dan politik pendidikan. Kerusakan diperparah oleh hilangnya tokoh panutan, berkembangnya kejahatan orang tua, luputnya tanggung jawab institusi lingkungan masyarakat, impotensi dikalangan pemangku adat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru dilecehkan. Millenium Baru (diawali abad keduapuluh satu) ditandai serba cepat, modern dengan persaingan kompetitif dan komunikasi serba efektif, dunia tak ada jarak seakan global village, akan banyak ditemui limbah westernisasi, harus diyakini bahwa kehadirannya tak bisa di cegah. Umat mesti mengantisipasi dengan penyesuaian agar tidak menjadi kalah.
            Remaja itu masanya mencari identitas.Makanya banyak tingkah laku remaja yang dianggap mengganggu karena tidak sesuai yang orangtua inginkan. padahal niat mereka hanya ingin mencari yang pas dengan kepribadiannya. Mereka beranggapan “aku adalah aku”.
            Dewasa ini dengan terjadinya perkembangan global disegala bidang kehidupan selain mengindikasikan kemajuan umat manusia disatu pihak, juga mengindikasikan kemunduran akhlak dipihak lain. Di samping itu, era informasi yang berkembang pesat pada saat ini dengan segala dampak positif dan negatifnya telah mendorong adanya pergeseran nilai di kalangan remaja.
            Kemajuan kebudayaan melalui pengembangan IPTEK oleh manusia yang tidak seimbang dengan kemajuan moral akhlak, telah memunculkan gejala baru berupa krisis akhlak terutama terjadi dikalangan remaja yang memiliki kondisi jiwa yang labil, penuh gejolak dan gelombang serta emosi yang meledak- ledak ini cenderung mengalami peningkatan karena mudah dipengaruhi. Gejala akhlak remaja yang cenderung kurang hormat terhadap orang tua, melawan orang tua, terjerumus dalam perilaku sex bebas, kurang disiplin dalam beribadah, mudah terpengaruh aliran sesat, pendendam, menjadi pemakai obat-obatan, berkata tidak sopan, pendusta, tidak bertanggungjawab dan perilaku lainnya yang menyimpang telah melanda sebagian besar kalangan remaja.
            Kenakalan remaja merupakan masalah yang sering menimbulkan kecemasan sosial karena aksesnya dapat menimbulkan kemungkinan “gap gerneration” , sebab mereka yang di harapkan sebagai kader-kader penerus serta calon-calon pemimpin bangsa banyak yang tergelincir kedalam jurang kehinaan. Bagaikan kuncup bunga yang brguguran sebelum mekar menyerbakkan wangi.
            Akan tetapi kiranya kita sependapat, kenakalan anak sebagai sesuatu sifat kodrati yang tidak dapat dibendung atau ditiadakan, tetapi hanya skedar di tangkal dengan cara-cara atau usaha-usaha secara bijak, sehingga tidak berakibat fatal serta merugikan masyarakat banyak.
            Penyalahgunaan narkotika, pergaulan bebas, minum minuman keras, freesex, tawuran, adanya kelompok-kelompok (gang) yang bersifat negatif, tindak anarkisme, peredaran pornografi dan tindakan-tindakan lainnya, merupakan macam-macam bentuk kenakalan remaja atau kaula muda di era modernisasi ini. Kenakalan-kenakalan tersebut merupakan sebab dan akibat adanya krisis moral dan akhlak di kalangan remaja itu sendiri.
            Remaja merupakan generasi yang akan meneruskan kemana Negara ini akan di bawa. Untuk mewujudkan remaja-remaja yang bisa menjadi generasi penerus bangsa, maka dirasa perlu dan harus ada pendidikan serta pembinaan akhlak bagi kalangan remaja, agar remaja tersebut dapat tumbuh sesuai dengan tanggung jawabnya sebagai generasi penerus yang bermoral, beretika, berakhlak, serta memiliki intelektual yang baik.

D.   Sebab-sebab Krisis Akhlak Umat Muslim Di Indonesia
          Dalam hal ini ada beberapa hal yang mempengaruhi menurunnya moral atau krisis akhlak umat Muslim Indonesia dalam kehidupan modern ini. Hal-hal yang mempengaruhi antara lain adalah:
1.      Longgarnya pegangan terhadap agama
            Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
2.      Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.
            Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana uang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mantal, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yanglebih rusak moralnya perelu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
3.      Dasarnya harus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis
            Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun, gejala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-prtunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
4.      Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah
            Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakuka pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
            Beberapa faktor lain yang menyebabkan menurunnya moral dan etika generasi muda saat ini adalah:
a.       Salah pergaulan, apabila kita salah memilih pergaulan kita juga bisa ikut-ikutan untuk melakukan hal yang tidak baik.
b.      Orang tua yang kurang perhatian, apabila orang tua kuran memperhatikan anaknya, bisa-bisa anaknya merasa tidak nyaman berada di rumah dan selalu keluar rumah. Hal ini bisa menyebabkan remaja terkena pergaulan bebas.
c.       Ingin mengikuti trend, bisa saja awalmya para remaja merokok adalah ingin terlihat keren, padahal hal itu sama sekali tidak benar. Lalu kalu sudah mencoba merokok dia juga akan mencoba hal-hal yang lainnya seperti narkoba dan seks bebas.
d.      Himpitan ekonomi yang membuat para remaja stress dan butuh tempat pelarian.
e.       Pengaruh dari pihak luar, Bangsa barat yang identik dengan agama Kristen berusaha untuk menghancurkan Negara-negara timur yang mayoritas Muslim. Dahulu bangsa-bangsa barat menjajah negara-negara Muslim, termasuk Negara Indonesia menggunakan kekerasan dan militer. Mereka menjajah bukan hanya untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, tetapi juga untuk misi kristenisasi. Namun dengan perjuangan dan pengorbanan harta benda, bahkan nyawa akhirnya bangsa-bangsa yang terjajah tersebut atas ridha Allah SWT. berhasil terlepas dari kekuasaan para penjajah. Akan tetapi, bangsa barat yang mayoritas kristen tersebut terus berupaya dengan berbagai cara untuk menghancurkan umat Islam. Saat ini mereka berusaha untuk terus melaksanakan misi Kristenisasi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dengan perusakan moral atau akhlak terlebih dahulu.

E.     Membenahi Krisis Akhlak Umat Muslim di Indonesia
          Pertama, pendidikan akhlak. Dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal yang demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial.Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang hendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya.Madrasah-madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya merupakan salah satu alat dan sumber pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan beragama yang telah berurat dalam masyarakat umumnya, maka hendaklah mendapat perhatian dan bantuan baik material ataupun dorongan spiritual dari pemerintah.
            Kedua, dengan mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Hampir semua ahli pendidikan sepakat, bahwa pengajaran hanya berisikan pengalihan pengetahuan (transfer of knowladge), keterampilan dan pengalaman yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan keterampilan.Sedangkan pendidikan tertuju kepada upaya membantu kepribadian, sikap dan pola hidup yang berdasarkan nilai-nilai yang luhur.Pada setiap pengajaran sesungguhnya terdapat pendidikan dan secara logika keduanya telah terjadi integrasi yang penting.
            Pendidikan yang merupakan satu cara yang mapan untuk memperkenalkan pelajar (learners) melalui pembelajaran dan telah memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru untuk membimbing perkembangan manusia. Dengan integrasi antara pendidikan dan pengajaran diharapkan memberikan kontribusi bagi perubahan nilai-nilai akhlak yang sesuai dengan tujuan pendidikan dalam menyongsong hari esok yang lebih cerah.
            Ketiga, bahwa pendidikan akhlak bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama saja, melainkan tanggung-jawab seluruh guru bidang studi. Guru bidang studi lainnya juga harus ikut serta dalam membina akhlak para siswa melalui nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada seluruh bidang studi.
            Melekatnya nilai-nilai ajaran agama pada setiap mata pelajaran atau bidang studi umum lainnya yang bukan pelajaran agama mempunyai nilai yang sangat penting dalam upaya mengembangkan nilai keagamaan pada anak didik.Melalui mata pelajaran umum selain siswa dapat memperlajari substansi, prinsip-prinsip dan konsep-konsep dari ilmu pengetahuan itu, diharapkan juga ada dimensi nilai yang terkandung dalam pendidikan itu.Dalam pembelajaran siswa mempunyai kewajiban agar mentaati peraturan tertulis, etika, adab sopan santun dan normanorma umum lainnya.Selain itu siwa dapat belajar untuk lebih mencintai lingkungan, baik di sekolah, keluarga atau masyarakat. Melalui pendidikan bidang studi lainnya, siswa juga dapat lebih memahami betapa agung dan perkasanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya yang berjalan dengan tertib, sesuai dengan hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang juga disebut hukum alam. Siswa akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya berasal dari Yang Maha Mencipta. Inilah pendidikan mata pelajaran bidang studi umum sebagai contoh yang menjadi wahana untuk pendidikan nilai-nilai agama.
            Keempat, pendidikan akhlak harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk tekhnologi modern. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan kegiatan lainnya harus dilihat sebagai peluang untuk membina akhlak. Demikian juga dengan sarana yang telah canggih pada masa kini, seperti: siaran TV, Handphone (HP), surat kabar, majalah, internet dan tekhnologi lainnya tidak disalahgunakan, sehingga sarana tersebut dapat mempermudah proses pendidikan demi terwujudnya akhlak yang baik.
            Tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat) secara bertahap dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab pendidikan bagi generasi mudanya. Ketiga penanggung jawab pendidikan ini dituntut melakukan kerjasama di antara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan saling menopang kegiatan yang sama secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
            Dengan kata lain, perbuatan mendidik yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak juga dilakukan oleh sekolah dengan memperkuat serta dikontrol oleh masyarakat sebagai lingkungan sosial anak. Pendidikan keluarga adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan dan disinilah peran utama orang tua sebagai pendidik yang akan mendasari dan mengarahkan anak-anaknya pada pendidikan selanjutya.
            Dalam Islam, rumah keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan Islam. Adapun yang menjadi tujuan pendidikan dalam Islam adalah: mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga; Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis; Mewujudkan sunnah Rasulullah saw. Dengan melahirkan anak-anak saleh; Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak; dan Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan.Tanggung-jawab pendidikan keluarga ada di pundak para orang tua, sehingga anak-anak terhindar dari kerugian, keburukan, mengingat banyaknya sendi kehidupan sosial yang melenceng dari tujuan pendidikan.
            Kerusakan moral atau krisis akjhlak bangsa Indonesia tentu tidak boleh kita biarkan terus berlangsung, harus ada upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Menurut Penulis ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk mengatasi hal tersebut, di antaranya adalah:
a.       Memperkokoh keimanan atau akidah kepada Tuhan dengan jalan memberikan wejangan-wejangan agama, baik yang dilakukan di rumah, kampus dan masyarakat, sehingga selalu terikat dan mau menyesuaikan diri dengan ketentuan Tuhan.
b.      Menanamkan perasaan dekat kepada Tuhan, sehingga di mana pun kita berada, ke manapun kita pergi dan bagaimanapun situasi dan kondisinya kita akan selalu merasa diawasi oleh Tuhan. Dengan hal demikian, maka akan membuat diri kita tidak berani menyimpang dari jalan-Nya.
c.       Mewujudkan lingkungan yang religius, baik melalui bahan bacaan, tontonan maupun lingkungan pergaulan, sehingga pengaruh dari lingkungan tersebut akan membuat manusia terbentuk menjadi orang yang memiliki kepribadian yang religius.
d.      Menumbuhkan tanggung jawab pengembangan amanah dakwah dengan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam bersikap dan berperilaku dalam berbagai sisi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa.

F.    Akhlaqul Karimah Dalam Kehidupan Modern
          Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi IPTEK tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat dengan norma susila .
            Kita harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring “ampas negatif” teknologi dan menjaring saripati informasi positif.
            Dengan otoritas yang ada pada akhlaqul-karimah, seorang muslim akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh, Akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah karena akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
            Mencermati Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat memperoleh kesimpulan sementara bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan” yang ada.
            Televisi yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi.Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
            Adanya fenomena sosial yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini membutuhkan terapi yang harus dipikirkan bersama. Banyaknya mall, maraknya hiburan malam, beredarnya minuman keras dan obat terlarang, munculnya amukan massa merupakan fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.
            Belum lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkan korban-korban generasi muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah, juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait.
            Upaya menumbuhkan-kembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut memiliki tanggung jawab bersama untuk mendarah-dagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi muda.
            Hampir setiap hari melalui media masa kita disuguhi munculnya fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristiwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
            Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif akan tetapi harus melalui penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
            Serangkaian fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin sulit dibendung.
            Di dalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya”. (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam Hadits lain Rasulullah bersabda:
“Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya”. (H.R. Muslim).
            Akhirnya, jelas urgensi pendarah-dagingan akhlak bagi bangsa yang mayoritas Muslim seperti bangsa Indonesia ini.

G.  Kesimpulan
          Akhlak adalah suatu perbuatan atau perilaku yang sudah menjadi kebiasaan, dilakukan tanpa memerlukan pemikiran ulang dan tanpa adanya paksaan dari pihak lain , baik dan buruk. Maka yang dinamakan krisis akhlak ialah kemunduran atau kemerosotan perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang baik dan tampaknya perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang tercela.
            Fenomena krisis akhlak telah terjadi pada sebagian umat Muslim di Indonesia. Kemorosotan akhlak atau moral tersebut terjadi di dalam berbagai bidang kehidupan dan dari berbagai kalangan. Sehingga umat Muslim saat ini sebagian hanya Islam dalam identitasnya saja.
             Terjadinya fenomena krisis akhlak dikalangan umat Muslim Indonesia didasari oleh dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar umat Muslim itu sendiri, seperti melemahnya kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan faktor dari luar, seperti kemajuan teknologi dan upaya perusakan moral oleh bangsa barat, serta Kristenisasi.
            Bukti-bukti dari telah terjadinya krisis akhlak umat Muslim di Indonesia saat ini dapat kita lihat di lingkungan masyarakat kita sendiri. Dari kalangan remaja hingga dewasa hampir sudah mengalami dekadensi moral dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai penyimpangan dan kemaksiatan dianggap sebagai suatu hal yang biasa di dalam masyarakat dan tidak mendapatkan sanksi yang berat dan menimbulkan efek jera.
            Berbagai upaya perbaikan moral (rekonstruksi moral) atau perbaikan akhlak harus dilakukan dengan semaksimal mungkin oleh para Ulama’, tokoh agama maupun masyarakat itu sendiri. Dari sejumlah solusi yang bisa diupayakan, solusi yang utama adalah dengan meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. dan melaksanakan dakwah, yaitu dengan amar ma’ruf dan nahi munkar.



Daftar Pustaka

Halim, M. Nipan Abdul. Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji. Jakarta. 2000. Mitra Pustaka.
Imam, Machali dan Musthofa. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi. Jogjakarta. 2004. Ar-Ruzz Media.
Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta. 2002. PT. Raja Grafindo Persada. Cet-3.
Hamka. Akhlaqul Karimah. Jakarta. 1992. Pustaka Panjimas.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Akhlak Mulia. Jakarta. 2004. Gema Insani.
Multahim, dkk. Agama Islam: Penuntun Akhlak. Jakarta. 2007. Yudhistira

No comments:

Post a Comment