Thursday 3 September 2015

makalah kauf

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Khauf
            Secara bahasa Khauf berasal dari kataخاف-يخاف-خوفا  yang artinya takut. Yang dimaksud dengan rasa takut disini adalah takut kepada Allah SWT.
            Sedangkan seacara istilah, khauf ialah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah SWT. karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah SWT. tidak senang padanya. Khauf timbul karena pengenalan dan cinta kepada Allah SWT. yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah. Cara untuk dekat kepada Allah SWT. yaitu dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
            Adapun para ulama tasawuf mengemukakan makna khauf adalah sebagai berikut:
1.      Hasan al Bashri
            Khauf  adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah SWT. karena kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah SWT. tidak senang kepadanya.
2.      Bishr al-Hafi
            Ketakutan kepada Allah adalah sebenar-benar harta yang hanya dimiliki oleh hati para hamba yang benar-benar bertakwa. Perasaan takut bukanlah dengan bercucuran air mata lantas dilap dengan kedua tangan seseorang. Ketakutan yang sebenar-benarnya adalah kamu mampu meninggalkan segala dosa yang akan mengundang azab-Nya.
3.      Imam Qusyairy
            Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-Nya. Menurutnya, khauf adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut apabila apa yang dibenci atau tidak disukai akan tiba dan yang dicintai akan sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.
4.      Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi
            Khauf adalah Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati karena menunggu sesuatu yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi dikemudian hari.
5.      Ibnu Khabiq
            Menurut beliau, makna khauf ialah berdasarkan waktunya, yaitu takut yang tetap ada pada diri seseorang kepada Allah SWT. saat ia dalam keadaan aman.
6.      Al-Falluji
            Khauf adlah suatu bentuk kegelisahan ketika seseorang memperkirakan sesuatu yang ia benci akan menimpanya
7.      Al-Ghazali
            Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa yang akan datang. Macam-macam perasaan khauf atau takut:
a.       Khauf karena siksa
            Manusia mengetahui bagaimana siksaan yang akan diterimanya karena menentang Allah SWT. Tempat dimana segala kejahatan akan dihapuskan. Allah SWT. telah menyiapkan tempat peleburan kejahatan (bukan melebur penjahatnya, dari sini ada seorang sufi yang mengistilahkan neraka sebagai Surga yang panas, sebagai indkator bahwa perlakuan Allah SWT. kepada hamba-Nya senantiasa didasari rasa Rahman dan Rahim). Kesadaran inilah yang mendorong manusia untuk tetap mematuhi peraturan Allah SWT.
b.      Khauf karena cinta
            Manusia mengetahui bagaimana Allah SWT, sifat-sifat-Nya dan perbuatannya, maka sampailah manusia pada kecintaan kepada Allah SWT. Kecintaan ini sanggup membawa manusia pada keadaan:
1)      Ia khawatir jika amalnya tidak sempurna, karena sesungguhnya Allah SWT. selalu menyediakan kebutuhan secara sempurna. Seseorang yang menjalin hubungan atas dasar cinta, maka ia berusaha yntuk tampil , bersikap, bertutur kata dan bertindak secara “sempurna” dihadapan yang dikasihinya.
2)      Manusia takut kepada selain-Nya, sebagaiman kata Ruwain ”Orang takut adalah yang tidak takut kepada selain Allah”. Pada dirinya telah terpatri keyakinan bahwa satu-satunya dzat yang melindungi adalah SWT.
            Ibarat: Ketka kita mengendarai sepeda motor , dihadapan kita ada bus yang besar, yang sangat mungkin akan berjalan mendominaasi jalur kita, sehingga kita harus minggir untuk menghindarinya. Namun hal ini tidak akan terjadi apabila di belakang kita ada bus bear juga, sehingga bus di hadapan kita akan berpikir untuk menguasai jalur kita, karena seusai menguasai jalur kita ia harus berhadapan denganawan yang sebanding dengannya.
3)      Manusia malu untuk melanggar karena ma’rifat-Nya kepada Allah SWT. Dia menyadari bahwa kekeliruan yang dilakukan hanya berakibat pada kerugian dirinya.
4)      Ketakutan yang lain adalah kesadaran akan kuasa dan kehendak Allah SWT. Jika pada suatu ketika seorng yang rajin belajar, memepersiapkan segala kegiatan untuk mencapai prestasi gemilang, tetapi pada hari H-nya ia mengalami sakit sampai batas waktu yang tidak diperkirakan,maka keiginan mwncapai prestasi hanya keinginan semata.
            Dari dua jenis khauf ini maka dapat dipahami bahwa takut karena cinta lebih tinggi daripada takut karena siksa. Takut karena siksa menjadikan da tertekan, melakukaan aktivitas atau perintah penuh dengan keterpaksaan, seperti orang terjajah. Takut karena cinta akan mendatangkan rasa senang hati dan keikhlasan. Misalnya jika belajar dilakukan karena takut dihukum orang tua, maka belajar akan diliputi rasa terpaksa, tetapi belajr karena cinta, aktivitas belajar akan diliputi rasa senang.
            Menurut Al-Ghazali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
Ø  Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
Ø  Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangnya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena membuat manusia tidak bisa beramal.
Ø  Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada diantara khauf qashir dan mufrith.
            Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali juga membagi khauf ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
Ø  Khauf al-awam (takutnya orang awam), yaitu takut akan hukuman dan keterlambatan pahala.
Ø  Khauf al-khashshah (takutnya orang khusus), yaitu takut akan keterlambatan teguran.
Ø  Khauf al-khashshah al-khashshah (takutnya orang yang paling khusus), yaitu takut akan ketertutupan dengan nampaknya keburukan budi pekerti.

B.   Pengertian Raja’
            Secara bahasa raja’ berasal dari kata رجا-يرجو-رجأ, artinya mengharapkan. Apabila dikatakan rajaahu maka artinya ammalahu “dia mengharapkannya”. Syaikh Utsaimin berkata: “Raja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.”
                Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan raja’ adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan raja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan.
            Adapun para ulama tasawuf mengemukakan makna raja’ adalah sebagai berikut:
a)      Hasan Al Bashri
            Raja’ adalah sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang shaleh.
b)      Imam Qusyairy
            Raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diingikannya tejadi di masa yang akan datang.
c)      Abu Abdullah bin khafif
            Raja’ adalah senangnya hati karena melihat kemurahan yang tercinta yang kepada Nya harapan dipautkan dan menganggap adanya fadal sebagai tanda harapan yang pasti.
d)     Ibn al-Qayyim
            Raja’ adalah cinta kepada apa yang diharapkannya, takut harapannya hilang dan berusaha untuk mencapai apa yang diharapkannya.
e)      Ahmad bin Ashim al-Anthaky
            Sikap seorang hamba yang manakala ia menerima nikmat anugerah (ihsan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan penuhnya rahmat Allah swt di dunia dan penuhnya pengampunan-Nya di akhirat.
f)       Al-Ghazali
      Raja’ adalah perasaan hati yang senang menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi serta rasa lapang hati dalam menantikan hal yang diharapkan di masa yang akan datang yang mungkin akan terjadi.
            Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Al-Ghazali juga membagi raja’ kedalam tiga tingkatan yaitu:
Ø  Raja’ al-awam (harapan orang awam), yaitu harapan memdapatkan sebaik-baiknya tempat kembali dan sebanyak-banyaknya pahala.
Ø  Raja’ al-khashshah (harapan orang khusus), yaitu harapan memperoleh ridha dan selalu dekat dengan Allah SWT.
Ø  Raja’ al-khashshah al-hashshah (harapan orang yang paling khusus), yaitu harapan kemungkinan untuk syuhud (menyaksikan) dan meningkatkan pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Allah.
            Dalam menanggapi ikhtiar manusia, ada kemungkinan usaha yang sungguh-sungguh dilakukan belum membuahkan hasil. Hal itu ada banyak kemungkinan:
1)      Kita belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk memperoleh harapan itu. Mungkin ikhtiar jasmani telah cukup, akan tetapi ikhtiar rohani belum memadai, sehingga dalam diri kita masih tersimpan rasa sombong jika berhasil.
2)      Allah ingin menunjukkan Kuasa-Nya, bahwa yang sudah tetap tidak mengikat Allah SWT. untuk mematuhi. Allah SWT. dapat berbuat di luar kausalitas alam.
3)      Allah SWT. ingin menguji kesetiaan kita, sampai dimana kesetiaan itu tetap ada karena kesetiaan yang sejati adalh yang tetap membara saat diterpa banyak halangan dan ujian.
4)      Allah SWT. ingin mendengar keluhan hamba dan kepasrahan manusia kepad-Nya. Ada tiga suara yang dicintai Allah SWT. yatu:
Ø  Suara kokok ayam jantan di waktu pagi
Ø  Suar orang yang membaca Al-Qur’an
Ø  Suara hamba yang meminta ampun di pagi hari.

C.   Hakikat Khauf dan Raja’
            Khauf dan rajâ’ dalam tasawuf digolongkan oleh sebagian sufi sebagai bagian dari ahwâl perjalanan spiritual, yaitu sesuatu yang menempati atau menghiasi hati yang merupakan karunia. Sedangkan sebagian sufi yang lain menggolongkan khauf dan raja sebagai tahapan dalam maqamat. Maqam adalah tahapan adab seorang hamba dalam wushul kepada Allah melaui jalan ibadah, riyadhah dan mujahadah. Al-Qusyairy merupakan salah satu sufi yang menggolongkan khauf dan raja ke dalam maqamat. Sedangkan menurut al-Sarraj al-Thusi, khauf dan raja merupakan bagian dari ahwal.
            Khauf (takut) dan raja’ (harap) adalah dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri seoarang mukmin, maka akan seimbanglah seluruh aktivitas kehidupannya. Sebab dengan khauf akan membawa dirinya untuk selalu melaksanakan ketaaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan, sementara  raja’ akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi rabb-nya ‘azza wa jalla.
            Dengan khauf dan raja’ seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan sang pencipta (karena adanya rasa takut), disamping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan (karena adanya pengharapan).

1.      Hakikat Khauf
            Khauf adalah ibadah hati. Tidak dibenarkan khauf ini kecuali kepada SWT. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang. Apabila khauf kepada Allah SWT. berkurang dalam diri seseorang, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb-nya, sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya. Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, diantaranya:
a)      Apabila seorang hamba mengetahui dan menyakini hal-hal yang tergolong pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya.
b)      Pembenarannya akan adanya ancaman Allah SWT bahwa Allah SWT akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan.
c)      Dia mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara  dirinya dan taubatnya.

2.      Hakikat Raja’
            Raja’ adalah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Raja’ merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Memalingkan kepada selain Allah SWT adalah kesyirikan,bias berupa syirik besar ataupun syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.
            Raja’ tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan. Berkata Ibnu Qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin: “Bahwa raja’ tidak akan sah kecuali jika di barengi dengan amalan. Oleh karena itu tidaklah seorang dianggap mengharap jika tidak beramal.
            Ibnu Qayyim membagi raja’ menjadi  tiga bagian, dua diantaranya raja’ yang benar dan terpuji pelakunya, sedangkan yang lainnya tercela. Raja’ yang menjadikan pelakunya terpuji adalah:
            Pertama, seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah SWT, diatas cahaya Allah SWT, ia senantiasa mengharap pahala-Nya.
            Kedua, seseorang yang berbuat dosa lalu bertobat darinya dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah SWT dan kebaikan Nya dan kemurahan Nya.
            Adapun yang menjadikan pelakunya tercela (ketiga) adalah seseorang yang terus menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah SWT tanpa di barengi amalan, maka raja’ seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
            Raja’ menuntut adanya khauf dalam diri seorang mukmin, yang dengan itu akan memacunya untuk melakukan amalan-amalan sholeh, tanpa disertai khauf, raja’ hanya akan bernilai sebuah fatamorgana. Sebaliknya khauf juga menuntut adanya raja’, tanpa raja’ khauf hanyalah berupa keputusan tak berarti.
            Jadi khauf dan raja’ harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya. Keduanya ibarat dua sayap burung yang dengannya dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna.



D.   Dasar  Al-Qur’an Tentang Khauf dan Raja’
1.      Dasar Al-Qur’an tentang Khauf
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tentang khauf yaitu:
Ø  Al-Qashas ayat 21

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖقَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Artinya: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo`a: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu".
Ø  Az-Zumar ayat 13

قُلْ إِنِّىٓ أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّى عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jikaaku durhaka kepada Tuhanku".
Ø  An-Nuur ayat 37

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ

Artinya: “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”



2.      Dasar Al-Qur’an tentang Raja’
Diantara ayat-ayat Al-Qur’an tentang raja’ yaitu:
Ø  Al-Isra’ ayat 57

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚإِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Artinya: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”
Ø  Al-Kahfi ayat 110

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."
Ø  Al-Baqarah ayat 218

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

E.   Manfaat dari Khauf dan Raja’
          Keharusan seseorang memiliki rasa takut didasarkan atas dua hal:
Pertama, agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dilecut dan dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
            Kedua, agar tidak membangga-banggakan amal solehnya (ujub). Sebab jika sampai berbuat ujub maka dapat menimbulkan celaka dan nafsu itu tetap harus dipaksa dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang ada padanya, berupa kejahatan, dosa-dosa dan berbagai macam bahaya lainnya.
            Adapun keharusan memiliki rasa raja’ juga dikarenakan dua hal, yaitu;
Pertama, agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini harus dihadapi dengan raja’, yakni rasa mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahalanya agar senantiasa bersemangat dalam beribadah dan berbuat baik.
Kedua, agar terasa ringan menanggung rasa kesulitandan kesusahan. Karena jika seseorang telah mengetahui sesuatu yang telah menjadi tujuantentu seseorang tersebut akan rela berbuat apapun dan mengeluarkan apapun demi tercapainya tujuan tersebut.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs), pangkal introspekasi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah. Pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
                 Khauf  adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Sedangkan raja’ adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat.
                 Khauf dan raja’ harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
                 Keharusan seseorang untuk memiliki khauf didasarkan atas dua hal, yaitu; agar terhindar dari kemaksiatan dan agar tidak membangga-banggakan amal sholeh (ujub). Sedangkan keharusan seseeorang memiliki sifat raja’ juga didasarkan atas dua hal yaitu; agar bersemangat dalam melakukan beribadah dan agar terasa ringan menanggung rasa kesusahan dan kesulitan.

B.       Saran
                 Kami mengharapkan agar apa yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami oleh pembaca sekalian dan pendengar sekalian, sekaligus semoga bermanfaat bagi kita semua. Selanjutnya, kritik dan saran dari pembaca dan pendengar sangatlah kami harapkan guna memperbaiki dalam pembuatan makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Sultoni, Ahmad. Sang Maha Segalanya Mencintai Sang Maha Siswa.

Bottom of Form

No comments:

Post a Comment