TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FALSAFI
Tasawuf Sunni
A.
Pengertian
Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf yang berusaha memadukan aspek
hakekat dan syari'at, yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan
mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada Allah SWT, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang
teguh terhadap ajaran al-Qur'an, sunnah dan shirah para sahabat. Konsep-konsep tasawuf sunni (ahlussunnah) diambil dari Islam dan tidak
campur-aduk dengan pemikiran di luar Islam.1Dengan kata lain, sufi
yang menganut mainstream tasawuf sunni senantiasa mengontrol tasawuf mereka
dengan pertimbangan syariat dan tasawuf mereka terliput dalam bentuk akhlak.2
Tasawuf sunni disebut juga tasawuf akhlaki, keduanya identik karena ajaran tasawuf akhlaki menekankan akhlak dalam
kehidupan kaum muslimin.3Namun, titik
tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi
yang memagari tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah secara ketat.4
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan
kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal,
manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksisitensi dirinya dengan
ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan
pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf
dikenali dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli
(meghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya Nur Ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu
menangkap cahaya ketuhanan)5.
B.
Perkembangan Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni muncul pada
abad ketiga dan keempat hijriah (masa pengembangan). Pada abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh
perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan
doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di
tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu sehingga di angan
mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Kajian yang
berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan
yang sangat sederhana dan mudah dipraktekan oleh semua orang terlebih oleh kaum
salaf. Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan
menampilkan akhlak yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah
ajaran islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak
yang terpuji.
Pada abad kelima hijriah tasawuf sunni memenangkan
pertarungan dengan tasawuf semi falsafi. Kemenangan ini dikarenakan menangnya teologi Ahl
Sunnah wa al Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al Hasan al Asy’ari (w. 324
H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al Busthamy dan al
Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syathahiyat-nya yang dianggap bertentangan dengan kaidah dan
akidah Islam.6
Beberapa tokoh sufi sunni pada abad kelima hijriah
adalah al Qusyairi, al Harawi dan Al Ghazali. Pada abad keenam hijriah, sebagai
akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf
sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi
peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk
mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun
570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Di Indonesia, tasawuf sunni adalah tasawuf yang
lebih dulu berkembang baik secara nadzari (teoritis) dan amali (praktis).
Syaikh Nur Al-Din Ar-Raniri dan Syaikh ‘Abd As-Shamad Al-Palimbani dikenal
sebagai pelopor bagi perkembangan tasawuf Sunni di Indonesia, karena metode dan
ajaran-ajaran yang disampaikan sedikit banyak diserap dari hasil karya
pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam
Al-Ghazali, salah satu karyanya “Ihya Ulum Ad-Din” merupakan salah satu
pegangan wajib bagi pengajaran tasawuf Sunni pada masanya dan hingga saat ini.
Raniri berupaya keras dalam menanamkan serta mengembangkan ajaran tasawuf
Sunni, hal ini tidak lain demi menunjukkan sikap antipati terhadap keadaan
sosial masyarakat ketika itu, yang sangat mengagungkan materi sebagai gaya
hidup. Tasawuf Sunni disamping sebagai sikap juga dapat
dikatakan sebagai alternatif dan solusi untuk menghindarkan masyarakat dari
kecintaan terhadap hal-hal duniawi. Sepeninggal Raniri, ‘Abd Shamad
Al-Palimbani berdiri tegak untuk meneruskan semangat perjuangan gurunya
meskipun banyak pertentangan dimana-mana, Raniri yang begitu keras
memperjuangkan tasawuf Sunni dengan mengadakan kampanye anti-tasawuf falsafi
mendapat kecaman yang luas, meskipun pada akhirnya tetap mendapatkan tempat di
masyarakat, perjuangannya tidaklah sia-sia dan berhenti sampai disitu.
Al-Palimbani muncul untuk mengusung visi dan misi yang sama dengan gurunya.
Dengan berbekal ilmu dari berbagai negeri yang telah ia kunjungi, Al-Palimbani
tetap mengajarkan para pengikut tasawuf Sunni dengan ajaran-ajaran yang telah
disampaikan sebelumnya.
C.
Karakteristik Tasawuf Sunni
Berikut adalah karakteristik dari tasawuf sunni :7
a.
Melandaskan
diri pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Tasawuf
jenis ini, dalam pengejawantahan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan
Qur`ani dan Hadist sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan
pahamnya pada konteks yang berada di luar pembahasan al-Qur`an dan hadist.
Al-Qur`an dan Hadist yang mereka pahami, kalaupun ada penafsiran, penafsiran
itu bersifat hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam.
b.
Tidak
menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan
syathahat.
Terminologi-terminologi dikembangkan tasawuf sunni lebih
transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathahat.
Kalaupun ada terma yang mirip syathahat, itu dianggapkan merupakan pengalaman
pribadi, dan mereka tidak menyebarkannya kepada orang lain.
c.
Lebih bersifat
mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
Dualisme yang dimaksudkan di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa
meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam
kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apa pun
manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dappat menyatu dengan
Tuhan.
d.
Kesinambungan
antara hakikat dengan syari’at.
Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek
bathiniyah) dengan fiqh (sebagai aspek lahiriyah). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham di atas. Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap
berada pada posisi atau kedudukannya sebagai objek penerima informasi dari
Tuhan.
e.
Lebih terkonsentrasi
pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara
riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
D.
Tokoh-Tokoh Tasawuf Sunni
Berikut
adalah beberapa tokoh tasawuf sunni dan pemikirannya tentang tasawuf:
1.
Abdul Karim bin Hazin (al Qusyairi)
Abdul
Karim bin Hazin lahir di Istiwa’, salah satu kawasan di Naisamburi tahun 276 H.
Ia lebih dikenal dengan nama Qusyairi. Qusyairi merupakan salah satu tokoh
penting dalam tasawuf Islam pada kurun kelima hijriyah. Urgensinya itu tak lain
disebabkan oleh tulisannya tentang tasawuf dari para sufi kurun ketiga dan
keempat hijriah, yaitu sufi-sufi yang mempunyai mainstream sunni. Qusyairi
menjaga perkataan-perkataan mereka, dan kontribusi mereka dalam tasawuf dan
tinjauan teoritis maupun praktis.8
Al Qusyairi merupakan seorang penulis sufi yang
sangat mumpuni. Dia mampu menggabungkan telaah atas suatu konsep yang sangat
sulit dengan paparan yang jelas dan tegas, serta mampu menggabungkan analisis
yang tepat dengan anekdot-anekdot teatrikal. Karya al Qusyairi dalam bidang tasawuf
Al Risalah al Qusyairiyah al Tashawwuf dianggap sebagai momentum penting dalam
perkembangan gerakan tasawuf. Dan, bisa jadi karya ini merupakan karya
tasawuf klasik yang paling terkenal dan diakui karena kedalaman, ketajaman, dan
kejelasan pembahasannya.9
Qusyairi adalah keturunan Arab, dan tumbuh di
Naisamburi yang merupakan salah satu pusat keilmuan masa itu. Di sanalah
Qusyairi bertemu dengan gurunya, Abi Ali ad Diqaq, yang merupakan tokoh sufi
terkemuka. Qusyairi mengambil jalan kesufian darinya. Gurunya tersebut
memerintahkan kepadanya untuk menguasai keilmuan-keilmuan syari’at terlebih dahulu. Sehingga Qusyairi harus belajar
ilmu fikih kepada seorang ahli fikih bernama Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar
at Thusi, belajar ilmu kalam dan usul fikih kepada Abu Bakar bin Furik dan Abi
Hasan Al Isfirayin, dan juga pernah mempelajari kitab al Baqilani. Oleh karena
itu, tertanam pada diri Qusyairi akidah ahli sunnah wa al jama’ah.10
Qusyairi merupakan salah satu pembela utama aliran
tersebut pada masanya dari hujaman-hujaman akidah Mu’tazilah, Karamiyah,
Muajssimah, dan Syi’ah. Sehingga ia mendapatkan tekanan sangat keras
hingga dipenjara selama lebih dari satu bulan. Orang-orang yang membaca Risalah
Qusyairiyah akan melihat dengan sangat jelas kecenderungan Qusyairi dalam
membenarkan tasawuf sesuai dengan akidah ahli sunnah. Ia berkata: “Ketahuilah!
Syekh-syekh kelompok ini (sufi) telah membangun kaidah-kaidah mereka di atas
sebuah prinsip yang benar dalam bertauhid, dan menjaga akidah mereka dari
bid’ah.”
Sehingga, mereka bersandarkan pada apa yang ada pada diri
salaf dan ahli sunnah. Misalnya, akidah yang tak menandakan sebuah penyerupaan
dan peliburan aktifitas Allah, dan mengukuhkan keberadaan wujud dari ketiadaan.
Oleh karena itu, berkatalah pemimpin kelompok ini yang bernama Juanid: “Tauhid
adalah menjauhkan zat yang dahulu dari sesuatu yang baru.” Mereka membangun
prinsip-prinsip dalam akidah dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas
sebagaimana yang dikatakan oleh al Jarin: “Ilmu tauhid mereka tidak dilandaskan
pada sebuah bukti-bukti yang menyesatkan.”11
Perkataannya
tersebut menandakan pengingkarannya terhadap sufi-sufi yang identik dengan
syathahat, yaitu mereka yang mengatakan sebuah ungkapan yang menimbulkan adanya
tumpang tindih antara sifat-sifat ketuhanan, terutama adalah sifat dahulu
dengan sifat-sifat manusia, terutama sifat barunya (hadist). Bahkan dalam
beberapa tempat lainnya, Qusyairi dengan sangat jelas mengkritisi mereka dengan
mengatakan: “Mereka mengklaim dirinya telah terbebas dari segala belenggu, dan
telah mencapai hakikat kesampaian dengan Tuhan. Mereka berdiri bersama al Haq
yang telah memberlakukan hukum-hukumnya kepada mereka, sedangkan mereka dalam
keadaan fana’. Sehingga Allah tak patut dipersalahkan atas apa yang telah
mereka perbuat telah tersingkap oleh mereka rahasi-rahasia keesaan, dan setelah
mengalami kesirnaan diri, mereka berada dalam cahaya keabadian ...”12
Qusyairi
juga mengkritisi sufi-sufi semasa dengannya yang senantiasa mengenakan
pakaian-pakaian orang miskin dan pakaian-pakaian bulu, sedangkan perbuatannya
bertentangan dengan pakaian yang dikenakannya itu. Oleh karena itu, Qusyairi
menekankan adanya perbaikan batin dengan berpegangan pada al Qur’an dan sunnah. Dalam hal ini, ia
berkata: “Wahai saudaraku! Janganlah tertipu dengan apa
yang telah engkau lihat dari sebuah penampilan luar atau penamaan-penamaan.
Segala tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan dari kesucian adalah
sebuah penyelewengan. Segala bentuk batin yang bertentangan dengan dhahir
adalah salah. Segala bentuk tauhid yang tidak dibenarkan oleh al Qur’an dan
sunnah adalah atheis dan bukan istiqomah adalah sebuah penyesatan dan bukan
pengetahuan.”13
Qusyairi
juga memberikan gambaran lain tentang penyelewengan para sufi tentang tasawuf
dari orientasi awalnya. Sehingga menurutnya tasawuf perlu diperbaiki, yaitu
dengan mengembalikannya kembali pada akidah ahl sunnah wal jama'ah dan
mensuritauladani sufi-sufi sunni yang telah disebutkannya dalam risalahnya itu.14
2.
Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al Ansari (al
Harowi)
Salah satu sufi yang menyandarkan tasawufnya dengan sangat jelas pada akidah
Ahli Sunnah, dan termasuk para pembaharu tasawuf pada kurun kelima hijriah
adalah al Harowi. Ia termasuk orang-orang yang menentang keras mereka yang
bersyatahat semisal Bustami dan Halaj.15
Al Harawi adalah Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al Ansari. Ia lahir di Bahrah
salah satu kawasan di Kharasan pada tahun 396 H. Ia sebagaimana yang dikatakan
oleh Massignon adalah salah satu fuqaha’ terkemuka dan Madzhab Hambali.
Karya-karyanya dalam tasawuf sangatlah bernilai. Di saat ia merupakan seorang
bermadzhabkan Hambali, maka ia sangat menyukai aliran Asy’ariyah.16
Salah satu kitab terpenting al Harowi dalam tasawuf adalah Manazilul Sairin
ila Rabbil Alamin. Yaitu sebuah kitab yang sangat ringkas yang di dalamnya
menggambarkan maqam-maqam sufi dan tingkatan-tingkatannya, dari titik permulaan
hingga keberakhiran. Ia berkata : “Mayoritas ulama golongan ini (sufi) sepakat
bahwa titik keberakhiran tak sah tanpa pembenaran terhadap permulaan.
Sebagaimana bangunan tak mungkin berdiri dengan tanpa adanya sebuah pondasi.
Pembenaran terhadap permulaan adalah melaksanakan perintah dengan penuh
keikhlasan, dan mengikuti sunnah.”17
Al Harowi merupakan pemilik teori fana’ dalam tauhid sebagaimana Junaid,
yang dijelaskan dan dibela oleh Ibn Qayyim dalam Madarij Salikin, dan
memberikan sebuah himbauan adanya perbedaan antara teori tersebut dengan
penyatuan (ittihad) dan wahdatul wujud (penyatuan wujud). Al Harowi
mengatakan bahwa fana’ mempunyai tiga tingkatan, dengan mengatakan : “Fana’
adalah lenyapnya segala sesuatu selain Allah secara pengetahuan. Kemudian
adalah pengingkaran, dan setelah itu adalah kebenaran”. Fana’ yang pertama
menyatakan lenyapnya sebuah pengetahuan dan peleburannya dalam diri zat yang
diketahui (Allah). Karena zat yang diketahuinya membuat seorang sufi tak
mengetahui dirinya sedniri. Sedangkan fana’ yang kedua adalah pengingkaran
terhadap segala bentuk selain Allah saat berada dalam kondisi absen. Ini
merupakan pengingkaran tak hakiki. Sehingga terkadang seorang sufi absen dari
alam tanpa mengingkari wujudnya. Inilah perbedaan antara teori penyatuan dengan
teori al Harowi sebagaimana yang dikatakan oleh ibn Qayyim : “Orang-orang
penganut paham penyatuan mengingkari segala sesuatu selain Allah secara
keseluruhan, sehingga berrkata : “Tak ada sesuatu dari berbagai macam
tinjauan”.18
15Ibid, hlm. 179-180
16Ibid,
hlm. 180
17Ibid, hlm. 180
18Ibid,
hlm. 180-181
Fana’ yang ketitiga adalah pelenyapan secara hakiki. Setelah kesirnaan
seorang sufi dari kesaksian terhadap sesuatu selain Allah, maka ia akan
mengalami kesirnaan diri. Ibn Qayyim berkata : “Fana’ dalam tauhid
adalah fana’ yang khusus bagi al Muqorrobin (orang-orang yang dekat
dengan Allah).”19
Ibn Qayyim membandingkan fana’ dalam pemikiran al Harowi dengan fana’
dalam konsep penyatuan, dengan mengatakan : “Fana’ terhadap wujud segala
sesuatu selain Allah, adalah fana’ orang-orang atheis yang mengatakan
akan kesatuan wujud, yang menyatakan tak ada sesuatu selain Allah, dan tujuan
seorang salik adalah sna’ dalam wahdatul wujud, meniadakan
‘perspektif banyak’ dan keberagaman dan berbagai macam pandangan. Mereka tak
menyaksikan selain Allah, bahkan menyaksikan wujud seorang hamba satu wujud
dengan Tuhan. Tak ada sesuatu yang hakiki menurut mereka selain Tuhan.”20
“Sedangkan fana’ terhadap kesaksian segala sesuatu selain Allah adalah fana’
yyang telah dinyatakan oleh mayoritas sufi masa terakhir, dan mereka anggap
sebagai sebuah tujuan. Inilah arti fana’ yang dipahami oleh Abu Ismail
al Ansari (al Harowi) dalam kitabnya dan dianggap sebagai tingkatan ketiga di
tiap-tiap bab dalam kitabnya. Yang mereka kehendaki bukanlah fana’
terhadap segala wujud selain Allah dalam alam nyata, namun adalah fana’
mereka terhadap kesaksian-kesaksian dan penginderaan terhadapnya. Hakikatnya
adalah keabsenan mereka dari kesaksian-kesaksian selain dari apa yang sedang
disaksikannya. Bahkan keabsenannya dari kesaksian atas keberadaannya sendiri.
Sebab ia mengalami keabsenan karena apa yang disembahnya, dan kesaksian
terhadap hamba-hamba-Nya. Kondisi semacam ini terkadang dinamakan sebagai
mabuk, ketercerabutan, dan lain sebagainya.”21
Al Harowi dari tinjauan dirinya sebagai penganut paham sunni juga mengkritisi
sufi-sufi yang mengungkapkan sebuah syathahat. Ia berkata : “Salah satu dari
mereka (sufi-sufi yang menyeleng) ada orang yang membedakan tingkatan-tingkatan
khusus, dan orang-orang umum. Sebagian dari mereka adalah seseorang yang
menganggap syathahat sebagai sebuah tingkatan (maqam), dan menyamakan antara
pemilik eforia dengan sufi-sufi yang kokoh. mayoritas dari mereka tidak
mengatakan tentang tingkata-tingkatan.”22
Al Harowi sangat respek terhadap tingkatan ketentraman hati yang muncul dari
sebubuah kerelaan terhadap Allah. ah kerelaan terhadap Allah. Yaitu sebuha
tingkatan yang tercegah dari syatahat. Dalam hal ini, ia berkata : “Derajat
yang keempat (dari ketiga tingkatan ketentraman) adalah ketentraman yang muncul
dari sebuah kerelaan (ridha) dan
19Ibid, hlm. 181
20Ibid,
hlm. 181
21Ibid, hlm. 181-182
22Ibid,
hlm. 182
tercegah dari syathahat yang menjijikkan, dan
pemiliknya berhenti pada batasan sebuah derajat.”23
Yang dimaksudnya dengan
syathahat yang menjijikkan adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Yazid dan
semisalnya, berbeda dengan Junaid, Sahal al Tustari, dan orang-orang yang
seperti keduanya. sebab ketentraman yang telah mereka peroleh, telah mencegah
diri mereka mengeluarkan perkataan-perkataan syathahat. Itu semua karena syathahat
disebabkan oleh tidak adanya sebuah ketentraman. Sehingga di saat ketentraman
tersebut bersemayam dalam hati, maka akan mencegahnya untuk mengeluarkan sebuah
syathahat, atau penyebab-penyebabnya.24
Sedangkan yang dimaksud dengan batasan sebuah derajat adalah berhentinya sufi
pada tingkatan penyembahan dan tidak melampaui tingkatan penyembahan tersebut.
di saat ketentraman tersebut tidak bersemayam selain dalam hati seorang wali
atau nabi, maka ia mengingkari dengan sangat jelas akan kewalian al Bustami dan
al Halaj karena syathahat yang keluar dari dirinya tersebut.25
3. Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad al Ghazali (al Ghazali)
Imam al Ghazali dianggap sebagai pembela tasawuf sunni terdepan dalam Islam.
Yaitu sebuah tasawuf yang didirikan di atas akidah ahli sunnah wa al jama;ah,
zuhud, kesederhanaan pendidikan jiwa dan perbaikannya. Dalam hal ini, Imam al
Ghazali sepakat dengan mainstream tasawuf al Qusyairi, al Harowi dan
orang-orang sebelumnya yang mempunyai mainstream yang sama. Namun demikian, al
Ghazali lebih besar ketimbang mereka secara keseluruhan dari tinjauan
kepribadian, intelektualitas, tasawuf, dan keilmuannya. Maka tepat sekali jika
al Ghazali dianggap sebagai sufi terbesar dalam Islam. Kontribusinya dalam tasawuf
terhadap orang-orang setelahnya sangatlah besar.26
Dalam bidang tasawuf al Ghazali membawa paham al Ma’rifah. Namun paham al
Ma’rifahnya ini berbeda dengan al Ma’rifah yang dibawa oleh Zunnun al Misri,
dan karena jasa al Ghazalilah tasawuf dapat diterima di kalangan ahli
syariat.Bagi al Ghazali ma’rifah ialah mengetahui rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan-Nya mengenai segala yang ada.27
Selanjutnya al Ghazali menjelaskan bahwa oorang yang mempunyai ma’rifah tentang
Tuhan, atau ‘arif, tidak akan mengatakan kata-kata ya Allah atau ya Rabb karena
memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih
berasa berada di
23Ibid, hlm. 183
24Ibid,
hlm. 182
25Ibid, hlm. 182-183
26Ibid,
hlm. 183
27Abuddin
Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1995, hlm. 181
belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan
temannya akan memanggil temannya dengan kata-kata seperti itu.28
Ma’rifah bagi al Ghazali
juga mengandung arti memandang kepada wajah Tuhan. Namun bagi al Ghazali
ma’rifah itu lebih dahulu urutannya daripada mahabbah, karena mahabbah timbul
dari ma’rifah, dan mahabbah baginya bukan mahabbah dalam bentuk cinta yang
diucapkan Rabi’ah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang
berbuat baik kepadanya yaitu cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan
kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain.29
Menurut al Ghazali bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya yafng
dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah
menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh
dengan akal.30
Al Ghazali mempunyai intelektualitas yang sangat luas dan medalam. Ia memiliki
intelektualitas yang berbeda-beda pada masanya, dan mampu menguasainya dengan
sangat mengherankan. Itu semua tampak dari karya-karya yang telah ditulisnya.31
Al Ghazali sebagai seorang ahli fikih adalah bermadzhabkan Syahiyah, dan
sebagai seorang ulama kalam adalah bermadzhabkan Asy’anyah. Di samping
penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syariat, ia juga menguasai ilmu filsafat dan
mantiq (ilmu logika), sehingga orang-orang yang mengkritisinya menganggap
keilmuan al Ghazali dalam filsafat menyamai keilmuan para filsuf sendiri
terhadapnya. Namun demikian, al Ghazali bukanlah seorang filsuf walaupun
keilmuannya tentang filsafat sangatlah luas. Ia membantah filsafat sebagai jalan
mencapai pengetahuan yakin, dan menganggap tasawuf dan metode intuisinya
sebagai jalan mencapai pengetahuan yakin.32
Al Ghazali membangun sebuah tasawuf suni yang didirikan atas dasar akidah ahli
sunnah wa al jama’ah, dan berusaha menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh Gnostis
dan berbagai macam segi yang telah mempengaruhi para filsuf muslim, Ismailiyah
(salah satu sekte dalam Syiah), ihwan ash Shafa’, dan selainnya. Ia juga
menjauhkan area tasawuf dan konsep ketuhanan Aristoteles, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan teori emanasi dan penyatuan. Sehingga bisa dikatakan
bahwa tasawuf al Ghazali bermainstreamkan Islam murni.33
Al Ghazali kagum terhadap sufi-sufi kurun ketiga dan keempat hijriah yang
bermainstreamkan suni. Ia mengambil keilmuan dari Haris al Muhasbi, dan sangat
28Ibid, hlm. 181
29Ibid,
hlm. 182
30Ibid, hlm. 182
31Abu
Wafa’ al Ghanami al Taftazani, op.cit.hlm. 192
32Ibid,
hlm. 192
33Ibid,
hlm. 193
mengaguminya seperti yang telah dikemukakan oleh
Ibn Ibad Randi dalam Syarakh Himak : “Imam Abu Abdullah al Haris al Muhasibi,
menulis sebuah kitab yang berjudul Nashaih, yang di dalamnya mengandung
pemikiran-pemikiran tentang hawa nafsu dan kesunahan secara menyeluruh
sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita, serta melakukan
penelitian dan melihat segala sesuatu yang bisa memperbaiki perbuatan, kondisi, dan jiwa mereka, serta mejaga kesucian hati, dan menekankan
kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam dosa.”34
“Imam al Ghazali telah mengutipnya dalam salah satu bab di kitabnya dan bahkan
mengemukakannya secara leterlek, setelah ia memuji penulisnya, menjelaskan
kepada orang-orang yang tak mengetahuinya tentang keilmuan dan keutamaannya,
dengan mengatakan : “Al Muhasibi merupakan orang yang sangat mumpuni dalam
bidang ilmu muamalah. Pembahasannya tentang cela-cela yang ada dalam jiwa,
penyakit-penyakit dalam amal perbuatan, dan segala sesuatu yang merusak ibadah,
telah mendahului orang-orang yang membahas permasalahan tersebut.”35
Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan dominasinya nuansa akhlak tasawuf al
Ghazali. Perhatiannya dalam tasawuf sebagaimana al Muhasibi dan sufi-sufi kurun
ketiga dan keempat, adalah tentang nafs (jiwa/hawa nafsu) manusia, dan
bahaya-bahayanya, mekanisme melakukan pembinaan akhlak terhadapnya. Secara
keseluruhan, tasawufnya adalah berkenaan dengan sebuah pembinaan.36
Al Ghazali beranggapan bahwa pencapaian jalan sufi dalam tasawuf adalah
memutuskan diri dari belenggu-belenggu nafs, membersihkannya dari akhlak-akhlak
yang tercela dari sifat-sifatnya yang menjijikkan sehingga mampu mengosongkan
hati dari segala sesuatu selain Allah, dan menghiasinya dengan ingatan-ingatan
(zikir) kepada-Nya. Ia beranggapan pula bahwa para sufi adalah orang-orang yang
sedang menempuh perjalanan yang paling baik, jalan mereka adalah jalan yang
paling benar, dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Itu semua
karena gerakan dan dirinya mereka, di dhahir dan batin mereka, adalah diperoleh
dari cahaya lentera kenabian yang di belakangnya tak ada lagi cahaya yang
mendapat penerangan darinya.” Namun itu tidak terjadi pada diri sufi-sufi
pemilik syathahat, dan segala sesuatu yang dikhayalkannya semisal penyatuan
(ittihad), penitisan (hulul), atau kesampaian. Al Ghazali beranggapan bahwa
syathahat-syathahat yang mereka ucapkan adalah sebuah kesalahan yang tak patut
diucapkan oleh seorang arifin (sufi) yang sempurna.37
34Ibid, hlm. 193
35Ibid,
hlm. 193
36Ibid, hlm. 193-194
37Ibid,
hlm. 194
Al Ghazali beranggapan bahwa bahaya syathahat sangatlah besar bagi masyarakat
umum. Dalam hal ini, al Ghazali menjelaskan kepada kita tentang dua model
syathahat. Pertama adalah klaim yang sangat panjang yang muncul dalam sebuah
kerinduan terhadap Allah dan kesampaian dengan-Nya, yang karenanya membuat
orang-orang yang rancu pikirannya melalaikan perbuatan-perbuatan dhahir, dan
akhirnya berujung pada klaim penyatuan, terangkatnya tirai penghalang, dan musyahadah
(kesaksian). Orang-orang semacam itu menyerupai Husain bin Mansur al Halaj yang
telah disalib karena publikasinya terhadap kalimat-kalimat semacam itu, dan
sekaligus mereka bersandarkan pada perkataan-perkataan al Halaj yang mengatakan
: “Aku adalah al Haq”, dan juga yang telah diceritakan tentang perkataan Abu
Yazid al Bustami : “Maha suci aku, maha suci aku.” Al Ghazali beranggapan bahwa
perkataan-perkataan tersebut sangat berhaya bagi orang awam, sehingga
menjadikan sekelompok petani meninggalkan pertaniannya, dan memunculkan
klaim-klaim semacam itu. Perkataan tersebut memang membuat nikmat dirasakan
oleh watak manusia karena di dalamnya mengandung penguguran terhadap perbuatan,
saat melakukan pensucian jiwa dan pencapaian pada tingkatan-tingkatan dan
kondisi-kondisi.38
Namun demikian, al Ghazali bisa memaklumi al Bustami dan mentakwil syathahatnya
seperti : “Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka
sembahlah diriku,” dengan mengatakan bahwa perkataan Abu Yazid tersebut tak
lain hanyalah sebuah pencitraan terhadap Allah.39
Sedangkan model kedua dari syathahat adalah sebuah kalimat yang tak dapat
dipahami, mempunyai penampakan-penampakan yang meruni, di dalamnya terdapat
sebuah ungkapan yang muluk-muluk, dan di baliknya tidak terdapat sesuatu yang
besar. terkadang tidak terpahaminya perkataan tersebut disebabkan oleh orang
yang mengatakannya sendiri. Sebab terkadang itu muncul saat pikirannya sedang
kacau dan imajinasinya memudar, yang disebabkan oleh tidak adanya penguasaan
terhadap arti-arti kalimat, dan karena tidak adanya penguasa pula terhadap ilmu
syariat, sekaligus tidak menguasai dalam pengungkapan, sehingga perkataan
semacam itu tidak membawa manfaat sedikit pun, kecuali hanya merancukan hati
dan membingungkan pikiran.40
Tasawuf Falsafi
A.
Pengertian
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
intuitif dan visi rasional. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari
macam-macam ajaran
38Ibid, hlm. 195
39Ibid, hlm. 195-196
40Ibid, hlm. 196
filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak
hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai
filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak
pula bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan
dengan bahasa filsafat.41
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para sufi falsafi sering
menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar, yang dikenal dengan syatahat,
yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami, yang seringkali mengakibatkan
kesalahpahaman pihak luar.42
Para sufi falsafi mengenal filsafat Yunani dan aliran-alirannya seperti aliran
Socrates, Plato, Aristoteles, Rowaqiyah, sebagaimana juga mengenal filsafat
Neoplatonisme, dan teori emanasinya, serta filsafat yang dikenal dengan sebutan
Hermeticisme dan buku-bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka juga mempelajari filsafat-filsafat
timur klasik seperti Persia dan India, dan juga filsafat-filsafat muslim
sendiri seperti al Farabi, Ibn Sina dan lain sebaginya, dan juga terpengaruh
dengan pemikiran-pemikiran Syiah ekstrim seperti Syiah Ismailiyah, Batiniyah,
dan juga dengan risalah-risalah Ihwan Shifa’. Di samping itu, pengetahuan
mereka sangat luas tentang ilmu-ilmu syari’at seperti fikih, kalam, hadist, dan
tafsir, sehingga mereka terbentuk dari berbagai macam pemikiran yang
berbeda-beda.43
Berdasarkan tasawuf falsafi, konsepsi tentang Tuhan merupakan perkembangan
lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam (teolog) dan filosof. Secara garis
besar, tasawuf falsafi mempunyai tiga konsepsi tentang Tuhan yang berakar dari
al Qur’an dan hadis, yaitu44 :
1.
Konsepsi etika yang
dipelopori dan berkembang di kalangan zuhud sebagai bibit permulaan timbulnya
tasawuf. Dzat Tuhan dianggap sebagai kekuasaan, daya dan iradat yang mutlak.
Tuhan adalah pencipta yang tertinggi dari segala sesuatu, termasuk tingkah laku
manusia.
2.
Konsepsi estetika, yaitu
tentang Tuhan dalam estetika. Tasawuf bersumber dari anggapan bahwa Tuhan dan
manusia berkomunikasi timbal-balik. Rasa cinta yang luar biasa kepada Tuhan
adalah karakteristik konsepsi estetika ini yang pertama kali dimunculkan oleh
Rabi’ah al Adawiyah. Jika seorang sufi menyembah Tuhan, maka sebenarnya dia
ingin mendapat sambutan cinta dari-Nya.
3.
Konsepsi kesatuan wujud,
yaitu bahwa dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan, karena dia
merupakan pancaran Nur Ilahi. Oleh karena itu, jiwa manusia selalu berusaha
kembali bersatu dengan sumber asalnya. Jadi alam semesta dan berbagai fenomena di dunia ini hanyalah bayangan dari realita sesungguhnya, yaitu
Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang menjadi dasar
bagi adanya segala sesuatu.
2.2.2 Obyek
Pembahasan Tasawuf Falsafi dan Karakteristiknya
Perhatian utama sufi-sufi falsafi adalah mengarah pada peletakan teori tentang
wujud melalui pondasi intuisi. Dari sinilah mereka mewarnai permasalahan-permasalahan
lainnya dalam tasawuf.
Ibnu Khaldun telah meringkas dalam Muqaddimah-nya adanya empat pembahasan utama
para sufi falsafi pada masa terakhir,45 yaitu :
1.
Mujahadah (memerangi hawa nafsu) dan segala sesuatu yang dihasilkannya
yang berupa intuisi, naluri perasaan, kontrol jiwa dalam berbuat
2.
Kasf dan hakikat yang ditemukan dari alam ghaib semisal sifat-sifat
ketuhanan, Arasy, Kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat-hakikat segala
sesuatu yang wujud baik yang tak tampak maupun tampak, tatanan alam dalam
kemunculannya dari zat yang mewujudkan dan membentuknya.
3.
Otoritas terhadap alam melalui berbagi bentuk karomah atau khawariqul Adah
4.
Munculnya kata-kata yang membingungkan dan tinjauan luar yang dikenal dengan
sebutan Syathahat, yaitu sebuah ungkapan yang bermasalah dari tinjauan luarnya,
sedangkan presepsi manusia terhadapnya adalah di antara mengingkari,
beranggapan baik, dan mentakwil.
Dari tinjauan mujahadah dan intuisi yang dihasilkan darinya seperti
maqom (tingkatan) dan ahwal (kondisi), merupakan titik temu antara mereka
dengan sufi-sufi lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Khaldun : “Sesuatu
yang tidak dipersoalkan oleh seorang pun. Intuisi
mereka dalam tasawuf adalah benar, dan menghasilkan sebuah kebahagiaan.”46
Sedangkan tentang keterkuakan (kasf) hakikat-hakikat wujud yang
ditemukannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa : “Sufi-sufi falsafi melakukan olah
diri dengan cara mematikan kekuatan indra dan meyirami ruh yang berakal dengan
dzikir, sehingga jiwa mampu menemukan hakikat-hakikat tersebut dari zat jiwanya
itu. Jika mampu menemuka itu, mereka beranggapan bahwa segala wujud tercakup
dalam temuannya tersebut. mereka telah menguak keseluruhan hakikat-hakikat
wujud.” Kemudian Ibn Khaldun berkata: “Kasf semacam itu
45Abu Wafa’ al Ghanami al Taftazani, op.cit., hlm. 235
46Ibid, hlm. 235
muncul dari sebuah kelurusan, yang bagi jiwa bagaikan keterbukaan cermin
yang senantiasa selaras dengan berbagai macam kondisi-kondisi.”47
Ibn Khaldun juga mengatakan bahwa sufi-sufi falsafi sangat menseriusi model
keterkuakan (kasf) semacam itu, dan membicarakan hakikat-hakikat wujud
di langit dan di bumi. Namun mereka tak jelas dalam tujuan. Sebab
perkataan-perkataan mereka berkaitan dengan intuisi dan naluri. Di samping itu,
mereka sengaja berteka-teki dengan menggunakan terma-terma filsafat yang tidak
dipahami oleh luar kalangan mereka sendiri. Perkataan mereka secara umum “Tak
bisa ditangkap oleh ahli fikir karena kesamaran dan ketertutupannya”.48
Sedangkan apa yang disebutkan oleh sufi-sufi falsafi tentang karomah, Ibn
Khaldun tidak mengingkarinya. Karomah seperti berita tentang hari esok dan
kemampuannya merubah sesuatu, adalah benar dan tidak diingkari. Namun para ahli
falsafi beranggapan bahwa kemampuan merubah-rubah alam adalah dibangun atas
dasar sebuah ilmu tersendiri, yaitu ilmu tentang nama-nama dan huruf-huruf.49
Dari perkataan Ibn Khaldun, tampak bahwa tasawuf falsafi mempunyai beberapa
karakteristik tertentu. salah satunya adalah mereka senantiasa memerangi hawa
nafsu sebagaimana sufi-sufi lainnya, untuk melakukan peningkatan-peningkatan
akhlak sehingga menimbulkan sebuah kebahagiaan. Ia merupakan tasawuf yang
menjadikan kasf sebagai metode untuk mengetahui hakikat. Orang-orangnya juga
merasakan kondisi fana’, sebagaimana mereka samar dalam mengungkapkan
hakikat-hakikat tasawuf tersebut. terkadang mereka menggunakan bahasa-bahasa
simbolis untuk mengungkapkannya.50
Karakterisitik-karakteristik tersebut merupakan karakteristik umum yang berlaku
pada diri mereka dan sufi-sufi selainnya. Namun para sufi falsafi mempunyai
karakteristik lainnya yang tak dimiliki oleh sufi sunni. Pertama, mereka adalah
pemilik teori wujud dan menjelaskannya dalam kitab-kitab dan syair-syairnya.
Ungkapan-ungkapan mereka ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah syathahat
sehingga pengucapannya tidak bisa dipertanyakan. Kedua, mereka sangat
berlebih-lebihan dalam penggunaan bahasa-bahasa simbolis, sehingga
perkataan-perkataannya tidak bisa dipahami oleh orang di luar kalangannya.
Ketiga, perhitungannya yang amat sangat terhadap diri dan ilmu-ilmu mereka.
walaupun itu tidak dilakukan oleh keseluruhan mereka, namun dilaksanakan oleh
mayoritasnya.51
2.2.3
Perkembangan Tasawuf Falsafi
Berbarengan dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi juga muncul pada abad ketiga
dan
47Ibid, hlm. 235-236
48Ibid, hlm. 236
49Ibid, hlm. 237
50Ibid, hlm. 239
51Ibid, hlm. 239
keempat
hijriah. Pada abad kelima hijriah (masa konsolidasi), tasawuf falsafi “kalah
dalam pertarungan” dengan tasawuf sunni karena menangnya teologi Ahl Sunnah wal
Jama’ah. Satu abad kemudian, yaitu pada abad keenam tasawuf falsafi kembali
muncul dan masa tersebut disebut sebagai masa falsafi.52
Dalam sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia,
peran tasawuf Falsafi tidak dapat dipisahkan begitu saja, apalagi banyak
kontribusi yang telah diberikan dalam pemikiran-pemikiran tasawuf di Indonesia.
Beberapa tokoh pelopor tasawuf Falsafi, diantaranya: Syaikh Hamzah Fansuri dan
Syaikh Muhyi Al-Din Al-Jawi. Hamzah Fansuri dikenal sebagai seorang Sufi
nusantara dengan pengaruh paham wujudiyyah Ibn ‘Arabi, yang telah dianggap
sebagai ajaran tasawuf yang sesat oleh Nur Al-Din Ar-Raniri, oleh karena itu
Hamzah Fansuri dijatuhi hukuman mati semasa Raniri menjabat sebagai mufti,
karya-karyanya telah habis dibinasakan, hingga dipastikan tidak ada lagi yang
dapat mempelajari apa yang disampaikan oleh Fansuri, nasib serupa juga dialami
para pengikutnya. Para murid dan pengikut ajaran tasawuf Falsafi yang digagas
oleh Fansuri mendapat tekanan dari Syaikh Raniri dan juga pengikutnya.
2.2.4 Tokoh-Tokoh
Tasawuf Falsafi
1.
Suhrawadi al Maktul
Suhrawadi al Maktul dianggap sebagai salah satu sufi falsafi pertama dalam
Islam. Namanya adalah Abu Futuh Yahya bin Habsy bin Amirak, yang dijuluki
sebagai Syihabuddin, dan diklaim sebagai seorang filsuf. Ia hidup pada kurun 6
Hijriah, dan kelahirannya di Sahrawardr sekitar tahun 550 H.53
Suhrawardi seringkali melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu. Ia berguru di
kota Miraghah yang merupakan salah satu kawasan di Azerbaijan kepada seorang
ahli fikih dan kalam yang dikenal dengan sebutan Majdin al Jili, guru dari
Fakhruddin ar Razi. Ia juga berguru di Asfihan kepada Ibn Sahlan as Sawi
pemilik kitab Basair Nasiriyah dalam ilmu mantik. Ia juga berteman dengan para
sufi dan berzuhud bersama mereka, dan kemudian pergi sehingga menimbulkan iri
para fuqaha Halb. Mereka menjelek-jelekkan Suhrawardi, sehingga raja Dhahir
anak dari Salahuddin pemilik Halb masa itu, memanggilnya. Waktu itu, Suhrawardi
dikelilingi oleh para fuqaha dan ulama kalam, namun argumentasi-argumentasinya
mampu mengalahkan mereka. akhirnya raja bisa menerimanya, dan menjadikannya
sebagai orang dekatnya. Namun orang-orang yang iri dengan Suhrawardi menulis
surat kepada Salahuddin, yang isinya memperingatkan kepadanya akan kerusakan
akidah manusia jika Suharwadi masih hidup. Maka Salahuddin menulis surat kepada
anaknya
52Amin Syukur-Masyharuddin,
op.cit, hlm. 29
53Abu Wafa’ al Ghanami al Taftazani, op.cit., hlm. 240
untuk Suhrawardi. Maka
anaknya pun meminta fatwa para fuqaha Halb waktu itu. Mereka menfatwakan untuk
membunuh Suhrawardi. Ia pun dibunuh dengan cara dicekik di Halb pada tahun 587
H, yaitu saat ia berumur 38 tahun.54
Ia meningggalkan sejumlah karangan dan risalah-risalah. Diantaranya adalah
Hikmatul Isyraq dan Talwihat yang di dalamnya tampak pengaruh Aristoteles, dan
Haikal Nur, Muqamvamat, Mutharahat, Al Wah al Amadiyah, dan sebagian doa-doa.
Kitabnya yang paling penting yang menggambarkan pemikirannya adalah Himatul
Isyraq, yang di dalamnya mencakup pemikiran-pemikiran tentang tasawuf
iluminasi. Gaya bahasa Suhrawardi dalam karyanya itu, secara umum menggunakan
bahasa-bahasa simbolis yang sangat tertutup.55
Suhrawardi al Maktul mengenal filsafat Platonisme, Peripatetik, Neoplatonisme,
filsafat-filsafat Persia, aliran pemikiran Shabiah, dan filsafat Hermeticisme.
Ia sering kali menyebut Harmes dalam karya-karyanya, dan menganggapnya sebagai
pemimpin iluminasi, atau bapak para filsuf. Ia menyebutkannya beriringan dengan
Aghodemon, Asqilibius dan Pytagoras dengan menganggap mereka sebagai pakar ilmu
yang tersembunyi, beriringan dengan Jamasab dan Barzamaher yang merupakan
filsuf Persia. Corbin beranggapan bahwa Harmes merupakan salah satu dari tiga
orang yang paling mempengaruhi pemikiran iluminasi Suhrawardi. Sedangkan dua
orang lainnya adalah Plato dan Zoroaster.56
Di samping itu, ia juga mengenal pemikiran-pemikiran filsafat dalam Islam.
Terutama pemikiran al Farabi dan Ibn Sina. Walaupun ia mengkritisi para filsuf
Islam yang disebutnya sebagai peripatetik, namun ia tetap terpengaruh oleh
pemikiran-pemikiran mereka.57 (TI 241).
Suhrawardi juga mengenal para sufi kurun ketiga dan keempat hijriah. Ia memuji
Abi Yazid al Bustami disebutnya sebagai “Sayyar Bustam” dan al Halaj sebagai
“Seorang pemuda dari Baidho” dan Abu Hasan al Kharqam yang merupakan seorang
sufi berpahamkan penyatuan dan Persial.58
Hikmah (filsafat) Suhrawardi dinamakan Hikmah Isyraqiyah. Filsafat ini adalah
filsafat intuitif yang bersandarkan pada penerangan (Isyraq), yaitu munculnya
cahaya-cahaya akal, pemikiran-pemikiran dan penerangan-penerangannya, kepada
jiwa di saat telah mengalami pemurnian. Orang Persia sebagaimana yang dikatakan
oleh Quttbuddin Syairazi, dalam berfilsafat (hikmah) bersandarkan pada intuisi
dan keterkuakan (kasf).59
Suhrawardi mempunyai teori pemikiran tentang wujud yang diungkapkan dengan
bahasa simbolis. Teorinya itu terbentuk atas dasar teori emanasi sehingga tidak
mungkin
54Ibid, hlm. 240
55Ibid, hlm. 241
56Ibid, hlm. 241
57Ibid, hlm. 241
58Ibid, hlm. 241
59Ibid, hlm. 242
dianggap sebuah teori
tasawuf tentang wahdatul wujud dengan arti yang terperinci. Sebab menganggap
alam-alam sebagai hasil surplus dari Tuhan, atau Nur Anwar (Cahaya di atas
cahaya) yang serupa dengan matahari, yang sesuatu bisa kehilangan cahayanya
walaupun sebenarnya matahari senantiasa menyala secara terus menerus.60
Pemikiran Suharwardi sepaham dengan sufi-suufi murni dalam hal keharusan
melakukan mujahadah, dan melakukan pendakian tangga-tangga akhlak hingga sampai
pada kondisi fana’ pengetahuan terhadap Allah, kenikmatan dan kebahagiaan,
namun demikian berbeda dari tinjauan yang mengharuskan adanya ‘hikmah
pengkajian’ untuk sampai pada tingkatan manusia tertinggi, dan yang ia
maksudkan adalah filsafat peripatetik. Hal tersebut tampak dari klasifikasinya
terhadap para filsuf (hukama’), yaitu pertama adalah hakim muta’allah (filsuf
menuhankan), masuk dalam masalah penuhanan namun tak masuk dalam permasalahan
kajian. Ini sebagaimana mayoritas para nabi dan wali seperti Yazid al Bustami,
Sahal Tustari dan al Halaj. Berikutnya adalah hakim yang masuk dalam masalah
pengkajian, namun tak masuk dalam masalah penuhanan, yaitu seperti perpatetik
orang-orang pengikut Aristoteles seperti al Farabi dan Ibn Sina. Dan seorang
hakim yang masuk dalam penuhanan dan pengkajian sekaligus. Orang yang sampai
pada tingkatan itu hanyalah Suhrawardi sendiri. Ia adalah seorang hakim yang
masuk dalam penuhanan dan pengkaji, serta menjadi pemimpin pada masanya. Ia
adalah seorang Quttub. Namun kepemimpinan seorang Quttub bukan berarti tanpa
adanya kekalahan. Terkadang kepemimpinannya samar dan hampir sirna. Ia juga
termasuk Khalifatullah Alam tak pernah disepikan darinya.61
2.
Abu Yazid al Bustami
Abu Yazid al Bustami nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa al
Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M, dan meninggal dalam usia
73 tahun. Ibunya adalah seorang zahid, dan Abu Yazid amat patuh kepadanya.
Meskipun orang tuanya adalah pemuka masyarakat yang mampu (dalam ekonomi) di
Bistam, namun Abu Yazid memilih hidup sederhana dan sangat menaruh kasih sayang
kepada fakir miskin. Ia jarang keluar dari Bistam, dan ketika kepadanya
dikatakan bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat lain, ia menjawab : “Temanku tidak pernah bepergian dan oleh karena itu
akupun tidak bergerak dari sini”. Sebagian besar dari waktunya ia pergunakan
untuk beribadat dan memuja Tuhan.62
Baginya, zahid adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup
zuhud demi mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini ia kerjakan melalui tigas
fase; zuhud terhadap
60Ibid, hlm. 242
61Ibid, hlm. 245
62Abuddin Nata, op.cit, hlm. 176
dunia, zuhud terhadap
akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir ini timbul suatu
kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi, kecuali
Allah, atau fana al nafs, yaitu hilangnya kesadaran akan eksistensi diri
pribadi sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasad kasarnya sebagai
manusia karena kesadarannya telah menyatu dengan iradah Tuhan, bukan menyatu
dengan wujud Tuhan.63
Dengan demikian Abu Yazid lah yang membawa faham al Ittihad dalam tasawuf yang
dicapai melalui pintu al fana’ dan diikuti oleh al baqa. Dengan tercapainya al
fana dan al baqa itu, sampailah Abu Yazid kepada al Ittihad, dan dalam tingkat
ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan, dan antara yang
mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan karena
fananya tidak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan. Dalam
al Ittihad yang disadari yang ada hanya satu wujud, sekalipun sebenarnya ada
dua wujud, dan yang disadari itu hanyalah wujud Tuhan. Ketika sampai ke ambang
pintu al Ittihad keluarlah ucapan-ucapan yang ganjil dari mulut sufi. Banyak
ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah sampai pada tingkat al
ittihad. Misalnya : “Aku ingin untuk tidak mengingini”, “Aku tidak ingin dari
Tuhan kecuali Tuhan”, “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.64
Dalam keadaan tersebut yang berbicara bukan lagi Abu Yazid, karena Abu Yazid
telah fana’ dan hancur kesadaran dirinya dan masuk manunggal ke dalam diri
Tuhan. Abu Yazid tidak ada lagi, dan yang ada hanyalah Tuhan.65
Abu Yazid dengan demikian termasuk orang pertama yang menampilkan ajaran al
ittihad melalui al fana-baqa dengan pengertian yang khas dan ia sekaligus
melahirkan aliran tasawuf kesatuan wujud atau al ittihad. Aliran ini kemudian
menjadi induk dari berbagai aliran tarikat.66
Selain kata-katanya yang menggambarkan al ittihad, banyak pula mutiara hikmah
dari Abu Yazid yang menjadi perhatian bagi pengagumnya. Di antara ucapannya
yang mengandung hikmah itu adalah :67
“Pertikaian para ulama adalah rahmat kecuali dalam ketauhidan”. Aku mengenal
Allah dengan Allah”, dan ketika ia ditanya oleh seseorang tentang sunnah,
fardlu dan sifat-sifat orang-orang arif, Abu Yazid menjawab : “Sunnat ialah
meninggalkan dunia dengan isinya, fardlu ialah bersahabat dengan Allah SWT, dan
sifat-sifat orang-orang arif ialah bersifat dengan sifat ahli neraka yaitu
tidak mati dan tidak pula hidup.”68
63Ibid, hlm. 177
64Ibid, hlm. 178
65Ibid, hlm. 178
66Ibid, hlm. 178
67Ibid, hlm. 178
68Ibid, hlm. 179
3.
Husein bin Mansur (al Hallaj)
Nama lengkapnya ialah Abu Mughisy al Husein bin Mansur al Hallaj, lahir di
negeri Baida bagian selatan Persi pada tahun 244 H, bertepatan dengan 875 M. Ia
kemudian menetap di Baghdad, dan meninggal pada tahun 922 M, karena dihukum
bunuh. Dan setelah badannya tak bernyawa lagi ia dibakar dan debunya dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini terjadi karena ia dituduh mempunyai hubungan dengan
golongan Syiah ekstrim, yaitu kaum Qaramitah yang banyak menentang pemerintahan
Bani Abbas. Oleh karena itu terbunuhnya al Hallaj bukan semata-mata karena
ucapannya : “Ana al Haqq”, melainkan juga karena soal politik.69
Di samping dikenal sebagai seorangs ufi, ia juga dikenal sebagai seorang
teologi yang terkenal pada zamannya. Nama al Hallaj adalah julukan yang
diberikan kepadanya karena ayahnya seorang penenun kain wol, dan ccu dari Gebr
yang punya hubungan darah dengan Ibn Ayyub salah seorang sahabat Rasulullah
SAW.70
Al Hallaj mulai belajar tasawuf dari Amr al Makki dan kemudian memperdalamnya
melalui al Junaid. Akan tetapi setelah ia kembali dari menunaikan ibadah haji,
paham tasawufnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya itu.71
(Ilmu kalam 179).
Paham tasawufnya dikenal dengan nama al hulul yang merupakan perkembangan dan
bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Menurut pendapatnya, bahwa Tuhan dan manusia sama-sama memiliki sifat ketuhanan
dan sifat kemanusiaan. Pemikiran ini muncul dari pemahaman terhadapa hadis yang
berbunyi : “Tuhan menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”.72
Dari hadis ini, al Hallaj mempunyai kesimpulan bahwa dalam diri Adam terdapat
bentuk Tuhan dan sebaliknya dalam diri Tuhan terdapat pula bentuk Adam. Atas
dasar ini persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi. Paham persatuan yang
dibawa al Hallaj ini disebut al hulul, yang dalam tasawuf mengandung paham
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya. Tetapi untuk sampai ke tingkat itu seorang sufi terlebih daulu harus
menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya sehingga yang terdapat di dalam
dirinya hanya sifat-sifat ketuhanan, dan ketika itu barulah Tuhan mengambil
tempat dalam diri sufi yang bersangkutan.73
Sewaktu al Hulul itu tercapai keluarlah dari mulut al Hallaj ucapan “Ana al
Haqq”. Dan yang dimaksud dengan ucapan ini bukanlah dirinya, tetapi diri Tuhan,
karena selanjutnya ia mengatakan “Aku adalah rahasia dari Yang Maha Benar,
bukanlah yang Maha Benar itu aku, aku hanya salah satu yang benar, oleh karena
itu bedakanlah antara kami.”74
69Ibid, hlm. 179
70Ibid, hlm. 179
71Ibid, hlm. 179
72Ibid, hlm. 180
73Ibid, hlm. 180
74Ibid, hlm. 180
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan didalam makalah ini dapat
ditarik suatu kesimpulan yang dapat menambah pemahaman kita terkait ilmu tasawuf,
sebagaimana berikut ini:
1.
Tasawuf
falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni. Bila tasawuf
sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي )
yakni berusaha memadukan aspek hakekat dan syari'at dalam pendekatan diri
kepada Allah SWT,.Sedangkan
tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري )
yaitu ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional atau asas
rasio.
2.
Karakteristik Tasawuf Sunni dengan Melandaskan diri pada Al-Qur`an dan As-Sunnah,
tidak menggunakan terminologi filsafat sebagaimana terdapat
padaungkapan-ungkapan syathahat, lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam
hubungan antara Tuhan danmanusia. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat.
Dan lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan
cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dantajalli.
Sedangkan, karakteristik Tasawuf falsafimereka senantiasa memerangi hawa nafsu, tasawuf yang menjadikan kasf sebagai metode untuk mengetahui hakikat, mereka menggunakan bahasa simbolis untuk
mengungkapkannya.mereka adalah pemilik teori wujud dan menjelaskannya dalam
kitab-kitab dan syair-syairnya.
3. Pada abad ke-3H Tasawuf sunni berkembang menjadi ilmu moral keagamaan yang dipraktekan oleh semua orang (kaum salaf). Pada abad ke-5H memenangkan pertarungan dengan tasawuf semi
falsafi.
Sedangkan abad
ke-5H
(masa konsolidasi), tasawuf falsafi “kalah dalam pertarungan” dengan tasawuf
sunni karena menangnya teologi Ahl Sunnah wal Jama’ah. Abad ke-6 kembali muncul dan masa
tersebut disebut sebagai masa falsafi.
4. Tokoh-Tokoh Tasawuf Sunni diantaranya Abdul Karim
bin Hazin, Al Harawi adalah Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al Ansari, dan
Imam al Ghazali. Sedangkan Tokoh-Tokoh Tasawuf
Falsafi. Sedangkan tokoh tasawuf falsafi adalah Suhrawadi al Maktul, Abu
Yazid al Bustami, dan Husein bin Mansur.
No comments:
Post a Comment