A.
Pendahuluan
B.
Pengertian Akhlak
Pengertian
akhlak akan menjadi lebih jelas bagi kita, apabila kita lihat secara etimologis
dan sekaligus secara terminologis serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
1.
Pengertian Secara Etimologis
Secara
etimologis, kata Akhlak adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab
Al-Akhlaaq. Ia merupakan bentuk jama’ dari kata Al-Khuluq yang
berarti budi pekerti, tabiat atau watak. Selanjutnya, arti ini sering
disepadankan dengan kata: etika, moral, kesusilaan, tata krama atau sopan
santun.
Dengan
demikian, maka kata Akhlak merupakan sebuah kata yang digunakan untuk
mengistilahkan perbuatan manusia yang kemudian diukur dengan baik atau
buruk. Dan dalam Islam, ukuran yang digunakan untuk menilai baik atau buruk itu tidak lain adalah ajaran
Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis.
2.
Pengertian Secara Terminologis
Secara
terminologis, pengertian akhlak telah banyak dikemukakan oleh banyak Ulama’ dan
cerdik pandai. Diantaranya dapat kita simak sebuah ta’rif (definisi) yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Al-Akhlaaq:
“Sementara orang membuat definisi Akhlak, bahwa yang disebut Akhlak
ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, apabila kehendak itu membiasakan
sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak”. (Menghias Diri Dengan Akhlak
Terpuji, hal. 9)
Menyimak
pengertian ini, maka yang dimaksud dengan akhlak adalah ‘Aadatul Iradah atau
kehendak yang dibiasakan. Dengan kehendak itulah manusia melakukan satu
perbuatan, baik perbuatan batin, maupun perbuatan lahir. Dan suatu perbuatan
yang dibiasakan itulah yang dinamakan akhlak. Maka nampaklah bahwa pengrtian
akhlak menurut ta’rif diatas adalah mencakup perbuatan-perbuatan seseoran yang
telah mempribadi atau telah menjadi kebiasaan bagi yang bersangkutan.
Sebagai
bahan pembanding ta’rif di atas, kita dapat menyimak ta’rif lain yang
dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahdzibul-Akhlaaq wa
Tathhirul A’raq. Beliau menyebutkan bahwa akhlak ialah:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu)”. (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 10)
Apabila Prof. Dr. Ahmad Amin menggunakan istilah iradah (kehendak)
dalam ta’rifnya, maka Ibnu Maskawaih menggunakan istilah haalun nafs
(keadaan jiwa). Disini dapat kita ambil garis kesamaan bahwa perbuatan
batiniahlah yang mendororng seseorang untuk melakukan perbuatan lahiriah.
Meskipun pada hakikatnya kedua perbuatan itu merupakan satu kesatuan perbuatan.
Karena perbuatan lahiriah hanyalah merupakan refleksi dari perbuatan batiniah
belaka. Dan apabila perbuatan itu telah mempribadi pada diri seseorang dan
dilakukan secara berulang-ulang (menjadi kebiasaan) tanpa memerlukan
pertimbangan-pertimbangan akalnya, maka kebiasaan perbuatan yang demikian itu
dinamakan akhlak.
Selanjutnya, apabila perbuatan yang biasa dilakukan seseorang itu
ternyata bernilai baik menurut ukuran yang dipergunakan, maka dinamakan akhlak
mulia, dan orang yang melakukan dinamakan orang yang berakhlak mulia.
Sebaliknya, apabila perbuatan itu bernilai buruk, maka dinamakan akhlak
tercela, dan pelakunya dinamakan orang yang berakhlak tercela.
Dari pengertian-pengertian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa
akhlak ialah perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan
secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai
pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain.
Adapun
alat yang digunakan untuk mengukur perbuata-perbuatan yang kemudian kita
namakan akhlak itu ialah baik atau buruk. Dengan kata lain, tolok
ukur akhlak adalah baik atau buruk. Dengan demikian, maka tidak
semua perbuatan manusia dapat kita namakan sebagai akhlak, karena tidak semua
perbuatan manusia itu dapat kita ukur dengan baik atau buruk. Misalnya
bernapas, berkedip, gerakan reflek, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk
perbuatan manusia, tetapi tidak dapat diukur dengan baik atau buruk menurut
akhlak. Sehingga perbuatan-perbuatan yang demikian tidak dapat kita masukkan ke
dalam perbuatan akhlak.
Namun
demikian, ukuran baik atau buruk itu sangatlah bervariasi,
tergantung pada sumber akhlaknya masing-masing. Apa yang dinilai baikmenurut
sumber akhlak yang satu, belum tentu dinilai menurut akhlak yang lain, bahkan
bisa berlawanan satu sama lain.
Secara
garis besar, sumber akhlak dapat kita bedakan menjadi dua, yakni akhlak
religius dan akhlak sekuler. Aklak religius adalah akhlak yang
bersumber dari keagamaan atau kepercayaan kepada yang ghaib, seperti Tuhan,
ruh, malaikat, dan seterusnya. Maka tolok ukur yang dipergunakan adalah ajaran
agama atau kepercayaan itu sendiri. Dan dorongan untuk melakukan akhlak
religius ini adalah adanya keyakinan terhadap pahala bagi yang berakhlak baik
dan siksaan bagi yang berakhlak buruk. Akhlak yang bersumber dari agama ini
akan membingbing umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya dan sekaligus
hubungannya dengan sesama manusia atau sesama makhluk. Ukuran baik atau buruk
tidak hanya dipandang dari sudut kemanusiaan, tetapi juga dipandang dari sudut
ketuhanan.
Sedangkan
akhlak sekuler adalah akhlak yang bersumber dari hasil budaya manusia belaka
tanpa mempertimbangakan adanya kekuatan ghaig (Tuhan). Ukuran baik atau buruk
hanya didasarkan pada komunitas manusia yang menciptakan kebudayaan yang
bersangkutan. Maka dorongan untuk melaksanakan akhlak sekuler ini hanyalah
berupa pujian dari sesama manusia apabila seseorang melakukan akhlak terpuji
dan mendapat sanksi dari sesamnya pula apabila seseorang melakukan akhlak yang
dianggapnya tercela. Akhlak sekuler ini hanya membimbing manusia dalam
hubungannya dengan sesama manusia atau sesama makhluk dan ukuran baik atu
buruk yang dipergunakanpun hanya dipandang dari sudut kemanusiaan
belaka.
No comments:
Post a Comment