BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seni Wayang,
merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Raja Balitung pertunjukan wayang telah ada, hal tesebut
ditemukan pada prasasti Balitung tahun 907 Masehi. Sejarah perkembangan seni
wayang di Indonesia, yaitu pada abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke
Indonesia, melalui jalur perdagangan. Pada kesempatan tersebut orang-orang
Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India
yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Kemudian ,Abad ke-9,
bermunculan cerita-cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang
bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi.
Berhubungan
dengan itu, dalam makalah ini, kami akan memaparkan hasil studi pustaka yang
telah kami lakukan, meliputi; sejarah seni wayang/asal-usul wayang di
Indonesia, jenis-jenis wayang, serta cerita salah satu tokoh pewayangan, yaitu
Resi Bhisma atau Dewabrata.
Adapun hal yang
melatarbelakangi studi pustaka dan analisis Seni Wayang ini adalah sebagai
wujud apresiasi kami sebagai penikmat seni terhadap budaya tradisional, yang
kian hari semakin tersisih oleh budaya asing. Semoga dengan penyusunan makalah
ini, kita menyadari keindahan dan keagungan budaya tradisional yang harus kita
lestarikan, kita jaga dan kita banggakan sebagai kekayaan budaya bangsa.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesenian
wayang masuk dan berkembang di Indonesia?
2. Apa sajakah
jenis-jenis wayang yang ada di Indonesia?
3. Bagaimana cerita
pewayangan gugurnya Resi Bhisma?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mendeskripsikan
tentang wayang dan sejarah wayang di Indonesia.
2. Untuk menjelaskan
jenis-jenis wayang yang tersohor di Indonesia.
3. Untuk menceritakan
tentang kisah Gugurnya Resi Bhisma.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wayang dan Sejarah Pewayangan di Indonesia
Wayang, merupakan salah satu bentuk
teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah
ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti
Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah
dikenal adanya pertunjukan wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu
sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar
jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya,
wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah ‘hyang’, itulah
inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk
upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun
agar desa terhindar dari segala malapetaka. Pada tahun 898 – 910 M wayang sudah
menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang
seperti yang tertulis dalam prasasti balitung
sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (menggelar wayang
untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di zaman Mataram Hindu
ini, Ramayana dari India berhasil dituliskan dalam Bahasa Jawa kuna (kawi) pada
masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,
wayang adalah boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb. yang
dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional
(Bali, Jawa, Sunda, dsb). Biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut
dalang. Sedangkan menurut Kamus Umum
Bahasa Sunda, wayang didefinisikan sebagai boneka atau penjelmaan dari
manusia yang terbuat dari kulit ataupun kayu. Namun ada juga yang mengartikan
bahwa perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang
mengandung penerangan.
Prasasti
berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam,
contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt “Art in
Indonesia”: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof. Dr. Soedarsono (MSPI-2000-hal.
431). Tertulis sebagai berikut:
Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini
mengenai desa Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdikan, yang
pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari serambi di Dalinan. Lagi setelah
menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda
perayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselamatan bangunan suci serta
rakyat” pertunjukan (tontonan) disakilan. Sang Tangkil Hyang sang
(mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal)
sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk berakting (mamirus)
serta melawak (mebanol), si Galigi mempertunjukkan Wayang (mawayang) bagi para
Dewa, melagukan Bhimaya Kumara.
Pentingnya
teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal abad ke-10,
episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana dilagukan dalam
peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang
berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai sebuah teater
bayangan (sekarang: wayang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini
masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada yang
meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan mengatakan karena
istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa Jawa.
Dr.
G. A. J. Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche
Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan
wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah
yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa misalnya kelir, blencong,
cempala, kepyak, wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa,
kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah
mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan),
dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam
membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over
de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa,
pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang
di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah
ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Dr.
N. J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan pertunjukan
wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia
menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan
penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan
ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele
in Europa - Prof G. Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno
terdapat pergelaran semacam wayang.
Pada
masa pemerintahan Kaisar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada
pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini menyebar ke
India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini,
dalam majalah Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya
persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton),
Woying (Mandarixzn), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan
wayang dalam bahasa Jawa.
Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke
Indonesia, terutama para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang
Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India
yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan
cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita
Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk
kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu
Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan
Empu Triguna, Gatotkacasraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada
jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang
kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan
dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang,
kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam
wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau
Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal
dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana
karangan Valmiki.
Hal
ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia
Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari
India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan
adaptasi dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita
rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu dikaitkan
dengan suatu upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan, bersih desa,
menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan kebiasaan
dan adat-istiadat setempat.
Dalam menelusuri sejak kapan ada
pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman
raja-raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah
pertunjukan wayang tersebut seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa
pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang. Hal
ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada
jaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang
dianggap kesenian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada
pertunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan
teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik
keagamaan ataupun adat-istiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung
menjadi ajang keperluan upacara tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita
langsung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini
dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apakah untuk keperluan
menyambut panen atau untuk ngruwat dan pertunjukan itu sendiri merupakan
suatu upacara.
Mahabharata yang berbahasa sansekerta
delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu Arjunawiwaha
berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di zaman kerajaan
kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu
diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu Panuluh lalu
menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat
centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke lontar (daun
lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di zaman awal majapahit
wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan
pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu
ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang
membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ditempatkan berada di atas
‘hyang’
Abad dua belas sampai abad lima belas
adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai
mitos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa. Abad
lima belas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya
islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad ke-enam belas
berdirilah kerajaan Demak (1500-1550 M) ternyata banyak kaidah wayang yang
berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah
beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotong royong
wayang beber karya prabangkara (zaman majapahit) segera direka-ulang dibuat
dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi
tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar
tidak terjadi kerusuhan bertema sara).
Gambar dibuat menyamping, tangan
dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disamping sunan bonang
menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan
kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita, raden patah menambahkan
tokoh gajah dan wayang prampogan, sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan
yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang,
dan gunungan.
Sunan kudus mendapat tugas men-dalang
‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan
adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi
mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit
kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau
kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan selain wayang purwa sang
ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam
keraton.
Sementara untuk konsumsi rakyat jelata
sunan bonang menyusun wayang damarwulan zaman kerajaan pajang memberikan ciri
khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada
lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata: raja dan ratu memakai
mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan
celana dan kain.
Sunan kudus juga memperkenalkan wayang
golek dari kayu, sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah
wayang gedhog dengan demikian wayang gedhog pun sudah mulai memasyarakat di
luar keraton di masa mataram islam wayang semakin berkembang.
Panembahan senapati menambahkan berbagai
tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan
agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan
pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’
dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru: cakil, tokoh raksasa bertubuh
ramping yang sangat gesit dan cekatan, sultan agung anyakrakusuma, pengganti
beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh
dibuat beberapa wanda (bentuk).
Setelah semua selesai dilaksanakan,
diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang
akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’. Berbagai inovasi dan
reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari zaman mataram islam sampai zaman
sekarang dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dalang berbagai peralatan
elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan
begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden,
maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nyapun senantiasa ada pergeseran
sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’.
B.
Jenis-jenis
Wayang Di Indonesia
1.
Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak diketahui
secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan.
Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang
golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986)
menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu
yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari.
Sejalan dengan itu, Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan
Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak
yang diiringi gamelan Slendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang
hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang
terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi,
seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah cerita
panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini
baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di
sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau
wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya
(1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari
babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar
pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana
dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Soemantri,
1988).
Kelahiran wayang golek
diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir
jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit
asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari
kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada
wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki
Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang
golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19.
Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya
jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang
bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa.
Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah
bahasa Sunda.
Ada tiga jenis wayang
golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang
golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan
cerita babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek
purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana
dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti
wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana) tetapi dalam
pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik
tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern.
Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep
Sunandar tahun 1970-1980.
Wayang golek terbuat
dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut
dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan
menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko.
Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian
penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar
yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan
hitam.
Wayang golek sebagai
suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi
keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya.
Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang
mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan
"Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat".
Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati
pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai
berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati
sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya
diwajibkan memberi contoh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga:
Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu
pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada
masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa
gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga
etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri,
maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan.
Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia,
demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
2.
Wayang Kulit
Wayang kulit merupakan
sejenis hiburan pementasan bayang yang terhasil dari patung yang dibuat dari belulang
(kulit lembu/kerbau/kambing). Terdapat berbagai jenis wayang kulit bergantung
kepada tempat asal mereka. Ia merupakan seni tradisional Asia Tenggara
merangkumi Thailand, Malaysia dan Indonesia, yang terutama berkembang di Phattalung wilayah
selatan Thailand, Jawa dan disebelah timur semenanjung Malaysia seperti di
Kelantan dan Terengganu.
Wayang
kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang,
dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang
yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disuluhkan lampu eletrik atau lampu minyak (dian),
sehingga para penonton yang berada disebelah berlawanan layar dapat melihat
bayangan wayang yang berada ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang
(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang
bayangannya tampil di layar. Wayang kulit lebih popular di Jawa bagian tengah
dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
3.
Wayang Orang
Wayang orang atau wayang wong mungkin
kurang populer dibandingkan dengan wayang kulit. Namun sesungguhnya pertunjukan
wayang wong tidak kalah menarik dengan wayang kulit. Wayang wong terasa
istimewa karena kita bisa menikmati cerita sembari melihat keindahan gerakan
para penari. Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang wong
sudah bisa disaksikan di luar keraton atau kerajaan.
Pada dasarnya, cerita atau peran yang
ditampilkan dalam pertunjukan wayang orang tidak berbeda dengan wayang kulit.
Biasanya lakon yang dibawakan adalah lakon dalam cerita epik seperti Mahabrata
dan Ramayana. Bedanya jika dalam wayang kulit peran itu ditampilkan dalam sosok
wayang, maka dalam wayang orang lakon atau peran semacam itu dibawakan oleh
orang atau wong dalam bahasa jawa.
Tugas dalang wayang wong tidak jauh
berbeda dengan dalang wayang kulit. Namun tugas dalang wayang wong lebih ringan
karena para pelakon melakukan percakapan sendiri. Dalang wayang wong hanya
menyampaikan sedikit narasi baik ketika membuka pertunjukan, di tengah
pertunjukan atau di akhir pertunjukan.
Wayang wong memiliki gerakan-gerakan
tertentu yang harus dipatuhi oleh para penarinya. Untuk para penari laki-laki,
beberapa gerakannya adalah alus, gagah, kambeng, bapang,
kalang kinantang, kasar, gecul, kambeng dengklik,
dan kalang kinantang dengklik. Sedangkan gerakan para penari perempuan
sering disebut nggruda atau ngenceng encot. Ada sembilan gerakan
dasar atau joged pokok yang ditampilkan para penari wanita serta dua belas joged
gubahan atau gerakan tambahan serta joged wirogo yang memperindah
tarian yang ditampilkan.
Para penari yang membawakan lakon wayang
biasanya adalah mereka yang sudah terbiasa menari tarian klasik Jawa seperti
bedhaya ketawang atau bedhaya srimpi. Hal ini pulalah yang menjadikan wayang
wong lebih istimewa dibanding dengan wayang jenis lain seperti kulit atau
golek.
Menurut sejarah, wayang wong diciptakan
setelah wayang kulit oleh Raden Panji Asmarabangun, putra Lembu Amiluhur yaitu
raja dari kerajaan Jenggala. Panji Asmarabangun sendiri merupakan salah satu
seniman yang hebat di masanya. Dia pula yang kerap kali menjadi dalang di
setiap pertunjukan wayang wong yang diciptakannya. Cerita yang diangkat pada
masa itu adalah cerita tentang kerajaan Jenggala. Pemilihan cerita itu tidak
lain merupakan permintaan raja Airlangga, ayah dari Lembu Amiluhur.
C.
Cerita
Pewayangan Gugurnya Resi Bhisma (Dewabrata)
Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi
Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama
lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin.
Ia berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan
seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi
menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja. Bisma adalah kakek dari pandawa yang kjmerupakan anak dari Prabu
Pandu Dewanata dan Kurawa yang merupakan anak dari Prabu Destarata.
Bisma memiliki kesaktian tertentu,
yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat
terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala).
Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang
Bharatayuddha. Cerita perang Barata Yudha yang membawa kematian Dewa Bisma
adalah sebagai berikut:
Pasukan dari
negara-negara baik yang mendukung Pandawa maupun yang mendukung Kurawa telah
berdatangan di Tegal Kurusetra. Mereka telah mendirikan perkemahan-perkemahan.
Malam ini mereka mulai berjaga-jaga, karena esok hari Perang Barata Yudha, akan
dimulai. Hati dan perasaaan mulai bergetar, mengapa harus berperang, yang akan
mengorbankan banyak orang tewas, mengapa tidak memilih damai, berdasarkan
pembagian tanah Astina yang telah dibagi secara adil oleh Resi Bisma
waktu itu, Kembalikanlah Indraprasta ke Pandawa. Perdamaian telah diajukan
kepada Kurawa, namun ditolak. Besok pagi Bisma menjadi Panglima Perang Kurawa
melawan Pandawa. Sementara itu Prabu Sri Bathara Kresna meminta Pandawa
bersiap-siap memasuki medan laga Kurusetra.
Seta
ditunjuk menjadi Senapati perang Pandawa. Sedangkan kedua adiknya Utara
memimpin pasukan disayap kanan dan Wratsangka pendamping kiri, memimpin
pasukan disayap kiri. Matahari mulai bersinar, suara sangkakala
menyayat-nyayat. Bergetar jiwa dan raga. Semua prajurit bersiap
berperang. Kedua belah pihak telah mengatur strategi perang. Resi Bisma telah
memasuki medan laga dan melayangkan beberapa senjata pada Perajurit Pandawa.
Arjuna menangkis serangan senjata Bisma. Sementera itu kereta perang Bisma
melaju cepat ketengah prajurit Pandawa. Resi Bisma bertemu dengan Abimanyu,
dimintanya Abimanyu mundur saja, karena masih terlalu muda.
Kereta
Perang Resi Bisma bertemu dengan kereta perang Arjuna, yang di saisi Prabu
Kresna. Resi Bisma memberi pesan agar Prabu Kresna memerintahkan Srikandi maju
ke medan laga, Srikandilah orang yang bisa menghantarkan kematian Resi
Bisma. Sementara kereta perang Prabu Salya mengawal kereta perang Resi Bisma
dari arah kiri. Sedangkan disebelah kanan kereta perang Resi Bisma adalah
Kereta perang Pandita Durna. Sementara itu Arjuna kehilangan daya juang,
melihat senapati Astina adalah kakeknya yang sangat disayangi, Sejak masih
kecil kakek Bisma menyayanginya. Disnilah timbul dialog antara Arjuna dan Prabu
Kresna.Untuk menggugah kembali semangat Arjuna. Dialog ini dikenal dengan
Bagawad Gita.
Kereta perang
Resi Bisma bertemu Senapati Pandawa, Seta. Terjadilah adu panah antara Seta
melawan Resi Bisma. Namun walaupun Bisma sudah berusia lanjut, ia masih lincah
memainkan panah dan pedangnya. Keduanya masih berimbang. Sementara itu Werkudara
dengan gadanya menyambar-nyambar kepala Para Kurawa, Arjuna dengan panahnya
melesat ke semua arah penjuru musuh dan Nakula serta Sadewa membabat Kurawa
dengan pedang kembarnya. Gatut kaca menyambar Nyambar-nyambar lawannya dari
angkasa. Para Kurawa banyak yang ketakutan dengan kegesitan para Pandawa.
Sementara
Putera Wirata, Utara sebagai pendamping Senapati sayap Kanan dan Wratsangka
disayap kiri terus melaju ketengah medan pertempuran. Resi Bisma merasa mulai
terdesak. Resi Bisma meninggalkan medan laga. Resi Seta mengejarnya. Sewaktu
mengejar Resi Bisma, sebuah panah menyerempet bahu kanan Resi Seta. Konon Resi
Seta berdarah putih, maka meneteslah darah putih dri lukanya. Resi Seta
menengok kebelakang, nampak Rukmarata anak Prabu Salya, menyerang dari
belakang, dengan cepat Resi Seta melepaskan panahnya kearah Rukmarata, sekali
tebas leher Rumaratapun putus, dan gugurlah Rukmarata putera kesayangan Prabu
Salya.
Resi
Bisma berlari ke Sungai Gangga dan menyelam kedalam Sungai Gangga menemui
ibunya. Resi Bisma pamit mati pada ibunya, Dewi Gangga merasa sedih, karena
seingatnya Resi Bisma, yang sewaktu muda bernama Dewabrata, sampai sekarang
hidupnya tidak pernah bahagia, Bisma mestinya yang bertahta di Astina
menggantikan ayahnya. Dewi Gangga memberikan cundrik. Resi Bisma berpamitan dan
keluar dari sungai Gangga, ternyata di luar sudah ditunggu Seta. Resi Bisma
meloncat dan menusukan cundrik di dada Seta, yang membuat Seta Gugur.Sementara
perang semakin sengit, kini Prabu Salya telah dapat lawan yang seimbang, Prabu
Salya bertemu dengaan putera Wirata, Utara. Kedua-duanya sama sama gesit dalam
memainkan segala senjata, dari panah, pedang dan adu kesaktian. Namun ketika
terdengar sorak sorai Seta Gugur, Utara terlena, terperanjat, dan Utara
tidak teringat lagi kalau masih di medan perang, Kesempatan baik itu tidak
disia-siakan oleh Prabu Salya, sehingga dengan mudah membidikkan senjatanya
kepada Raden Utara. Senjata Prabu Salya mengenai dada Utara, maka gugurlah
Raden Utara ditangan Prabu Salya.
Demikian
juga Raden Wratsangka mendapat lawan tangguh yaitu dengan Pendita Durna. Yang
gesit dan pandai olah senjata dan kanuragan,maka dengan mudah Pendita Durna
membunuh Wratsangka. Pihak Kurawa bersorak sorai dengan gugurnya tiga Satria
Wirata. Kubu Pandawa sangat berduka dengan kematian tiga satria
Wirata.Sementara itu pada hari kesepuluh Perang Barata Yudha, Prabu Kresna
meminta Srikandi segera bersiap untuk melawan Resi Bisma. Resi Bisma juga telah
siap kembali bertempur, setelah berhasil mengalahkan Seta ditepi Sungai Gangga.
Dewi
Srikandi sudah berhadapan dengan Eyang Bisma. Dewi Srikandi berkali-kali
dipukul, oleh Resi Bisma, namun tidak membalas. Tiba-tiba Resi Bisma terkesima,
waktu memandang Dewi Srikandi, seperti berhadapan dengan Dewi Amba. Resi Bisma
tidak bisa berbuat apa-apa, ia teringat sekali waktu Dewi Amba dengan manja
mempesona Resi Bisma. Rupanya Dewi Amba telah memasuki tubuh Dewi Srikandi.
Melihat situasi yang sedemikian rupa, Prabu Kresna langsung memerintahkan Dewi
Srikandi untuk memanah Resi Bisma, Dewi Srikandi segera memanah Resi Bisma,
panahpun dengan cepat melesat kearah Resi Bisma, tetapi apa karena ia seorang
wanita atau ia ragu-ragu terhadap Resi Bisma, panah Dewi Srikandi hampir tidak
sampai kepada Resi Bisma. Dengan cepat Arjuna melayangkan sebuah panah, dengan
kekuatan tinggi mendorong panah Srikandi melaju dengan cepat dan mengenai
dada Resi Bisma. Resi Bisma jatuh ke bumi. Sasangkala berbunyi seiring dengan
tumbangnya Resi Bisma di Tegal Kurusetra. Untuk menghormati Resi Bisma,
seseorang yang telah banyak berbuat baik kepada Pandawa maupun Kurawa,
yang merelakan melepas tahta Astina demi adik-adiknya, tetapi malah menjadikan
Negeri Astinapura hancur lebur, Demikianlah nasib Negeri
Astinapura, peninggalan ayahanda Bisma yaitu Prabu
Sentanu.
Resi
Bisma ingin tidur diatas bantal. Prabu Suyudana memerintahkan Dursasana
mengambil tilam bersulam emas dari istana Astina. Tetap Resi Bisma tidak mau,
Resi Bisma minta pada Arjuna untuk mengambilkan bantal pahlawan. Secepat kilat
Arjuna mengambil busurnya dan menancapkan beberapa anak panah di dekat Resi
Bisma tidur. Kepala Resi Bisma disangga diatas panah Arjuna yang menancap di
tanah dibawah kepalanya. Sedangkan Werkudara memberikan perisai-perisai
perajurit yang telah gugur untuk menyelimuti Resi Bisma. Resi Bisma meminta
pada Dewa untuk memberikan umur sampai akhir Perang Barata Yudha. Karena
ia ingin melihat akhir perang Barata Yudha. Kemudian oleh Pandawa, Resi Bisma
dibuatkan penutup kelambu untuk menghormati Resi Bisma.
Pandawa
dalam perang Barata Yudha ini kehilangan banyak tokoh-tokoh berguguran. Diantaranya
adalah kakaeknya, Resi Bisma, karena Resi Bisma adalah ahli strategi Perang
yang handal. Resi Bisma bertahan selama 10 hari menjadi senapati pihak Kurawa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Karya seni sebagai bahasa memiliki dua potensi, yaitu potensi
sebagai bahasa simbolik dan potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan suara secara
denotatif. Setiap karya seni tidak tumbuh dari sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara
dan dari perjalanan sejarah serta dalam suatu konteks sosial budaya,
maka sebenarnya sebuah karya seni merupakan rekaman peristiwa yang
dikomunikasikan oleh seniman kepada pembaca (penonton,
pendengar).
Salah satu
karya seni yang berkembang di Indonesia adalah seni wayang, yang merupakan
salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan
Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang
terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa
pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan
yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa
tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang. Seni
wayang yang terkenal di Indonesia ada tiga, yaitu wayang golek, wayang kulit
dan wayang orang.
Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi
Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin.
Dia adalah kakek dari Pandawa dan Kurawa. Kematiannya adalah karena terkena
panah dari Srikandi dan Arjuna dalam perang Barata Yudha. Dia tidak langsung
mati seketika, tetapi dia mati setelah melihat kekalahan kurawa atas
keinginannya sendir.
B.
Saran
Indonesia adalah sebuah Negara yang memiliki banyak sekali karya
seni dan kesenian, diantaranya adalah kesenian Wayang yang ada di tanah Jawa.
Kita sebagai masyarakat Indonesia hendaknya mengetahui dan menjaga akan
kelestarian kesenian wayang agar tidak tersisihkan oleh kebudayaan-kebudayaan
Barat yang mulai masuk ke Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment