A.
Latar Belakang
Agama Islam adalah agama Allah SWT.
yang terakhir, diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan Kitab Suci
Al-Qur’an. Nabi Muhmmad SAW. merupakan Nabi penutup para Nabi dan Rasul yang
terdahulu (Khatamul-Anbiya’ Wal-Mursalin). Beliau ditugaskan untuk mendakwahkan
Islam dengan membawa Risalah yang berupa Kitab Suci Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah
Kitab Suci terakhir yang menyempurnakan Kitab-kitab Suci yang sebelumnya.
Sehingga, agama Islam harus dipercayai dan dipeluk oleh seluruh umat manusia.
Sebagai agama yang terakhir,
berkaitan dengan moral atau akhlak sudah pasti yang diajarkan di dalam agama
Islam telah menyempurnakan dari ajaran yang ada sebelum Islam. Allah mengutus
Nabi Muhammad SAW. bukan hanya sebagai seorang Nabi dan Rasul yang merupakan
penutup Nabi dan Rasul yang sebelum beliau. Melainkan, beliau juga diutus
sebagai penyempurna akhlak. Nabi Muhammad SAW. merupakan seorang guru besar,
selain beliau mengajarkan Al-Qur’an dan Hadis, beliau juga mengajarkan manusia
dengan memberikan suri tauladan yang baik dalam berperilaku. Jadi, seyogyanya
bagi umat Muslim untuk meneladani akhlak Nabi Muhamad SAW. dalam menjalani
kehidupan.
Islam mengajarkan umatnya untuk
berakhlaqul-karimah dan menghindari akhlaqul-madzmumah. Akhlaqul-karimah yaitu
perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku baik yang sesuai dengan apa yang
telah diajarkan dalam Islam. Umat Muslim dapat berakhlaqul-karimah dengan
meneladani atau melaksanakan perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku Nabi
Muhammad SAW. Sementara akhlaqul-madzmumah yaitu perbuatan-perbuatan atau
perilaku-perilaku buruk yang melenceng dari ajaran Islam. Akhlaqul-madzmumah
merupakan perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. yang
dilarang bagi umat Muslim untuk melakukannya. Dari Sahl bin Sa'ad r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda yang
artinya: “Sesungguhnya Allah
mencintai akhlak yang mulia dan membenci akhlak yang buruk”. (Al-Mu'jam
Al-Kabiir: Sahih)
Sebagai umat Muslim, kita diwajibkan
untuk meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. semampu kita, kecuali perbuatan yang
khusus bagi Nabi Muhammad SAW. Dengan melaksanakan apa yang beliau ajarkan dan
meninggalkan apa yang beliau larang, maka pastilah umat Muslim akan menjadi
umat ynag makmur dan sejahtera, tidak tertinggal dari umat-umat agama lain,
seperti umat Kristiani yang saat ini sangat maju. Apabila umat Muslim dari
individu-individunya senantiasa meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. niscaya
umat Muslim tidak akan mengalami berbagai masalah atau kesulitan yang besar,
seperti masalah korupsi, kemiskinan dan lain sebagainya.
Umat Muslim pada masa sekarang
menurut para pengamat telah mengalami kemrosotan akhlak dalam berbagai aspek
kehidupan. Hal inilah yang menjadi faktor ketertinggalan umat Muslim di
berbagai Negara di dunia, salah satunya di Indonesia. Sementara bangsa Eropa
terus mengalami kemajuan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, sedangkan Bangsa
Timur yang mayoritas Muslim terus mengalami kemunduran dalam hal moral, yang
mana akan berpengaruh kepada kualitas bangsa. Di era modern ini umat Muslim di
Indonesia sebagaimana kita perhatikan dapat dikatakan mengalami kemunduran atau
kemerosotan moral atau akhlak, meskipun mengalami kemajuan dalam perekonomian
dan IPTEK.
Sebagai pelajar Muslim, hendaknya
kita menelaah lebih dalam mengenai sebab-sebab terjadinya krisis akhlak umat
Muslim di Negara ini. Kita harus mengkaji apa yang salah di dalam masyarakat,
di lingkungan kita terutama dan mencari tahu mengapa hal itu bisa terjadi.
Setelah itu, kita harus berusaha untuk mencari solusinya agar umat Muslim di Negara
Indonesia ini tidak terus menerus hanyut dalam kesalahan yang dilakukan, baik
yang disadari maupun tidak. Kita harus memikirkan dan mengupayakan dengan
berbagai cara untuk menyadarkan bagi orang-orang yang sudah terjerumus dalam
akhlaqul-madzmumah dan mencegah bagi orang-orang yang masih selamat agar tidak
terjerumus ke dalam akhlaqul-madzmumah tersebut.
B.
Orientasi Akhlak
Secara etimologis (bahasa), kata Akhlak
adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab Al-Akhlaaq. Ia
merupakan bentuk jama’ dari kata Al-Khuluq yang berarti budi pekerti,
tabia’t atau watak. Selanjutnya, arti ini sering disepadankan (disinonimkan)
dengan kata: etika , moral, kesusilaan, tata krama atau sopan santun. (Menghias
Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 6)
Dengan demikian, maka kata Akhlak
merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mengistilahkan perbuatan manusia
yang kemudian diukur dengan baik atau buruk. Di dalam agama
Islam, ukuran yang digunakan untuk menilai baik atau buruk itu tidak lain ialah
ajaran Islam itu sendiri (Al-Qur’an dan Al-Hadis).
Sedangkan secara
terminologis (istilah), pengertian akhlak telah banyak dikemukakan oleh para Ulama’ dan
cerdik pandai. Diantaranya dapat kita simak sebuah ta’rif (definisi) yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Al-Akhlaaq:
“Sementara
orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang
dibiasakan. Artinya, apabila kehendak itu membiasakan sesuatu, maka kebiasaan
itu dinamakan akhlak.” (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 9)
Menyimak pengertian ini, maka yang
dimaksud dengan Akhlak adalah ‘aadatul iraadah atau kehendak yang
dibiasakan. Dengan kehendak itulah manusia melakukan suatu perbuatan, baik
perbuatan lahir maupun perbuatan batin. Suatu perbuatan yang dibiasakan itulah
yang dinamakan akhlak. Maka nampaklah bahwa pengertian akhlak menurut ta’rif
diatas adalah mencakup perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi atau
telah menjadi kebiasaan bagi yang bersangkutan.
Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahdzibul-Akhlaaq
Wa Tathirul-A’raq, beliau menyebutkan bahwa akhlak ialah:
“Keadaan jiwa
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan (terlebih dahulu).” (Menghias
Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 10)
Apabila Prof. Dr. Ahmad Amin
menggunakan istilah iraadah (kehendak) dalam ta’rifnya, maka Ibnu Maskawaih
menggunakan istilah haalun nafs (keadaan jiwa). Di sini dapat kita ambil
garis kesamaan bahwa perbuatan batiniahlah yang mendorong seseorang untuk
melakukan perbuatan lahiriah. Meskipun pada hakikatnya kedua perbuatan itu
merupakan satu kesatuan perbuatan. Karena perbuatan lahiriah hanyalah merupakan
refleksi dari perbuatan batiniah belaka. Apabila perbuatan itu telah mempribadi
pada diri seseorang , dilakukan secara berulang-ulang (menjadi kebiasaan) tanpa
memerlukan pertimbangan-pertimbangan akalnya, maka kebiasaan perbuatan yang
demikian itu dinamakan akhlak.
Selanjutnya, apabila ternyata
perbuatan yang biasa dilakukan oleh seseorang itu ternyata bernilai baik
menurut ukuran yang dipergunakan, maka dinamakan akhlak terpuji (akhlaqul
karimah) dan orang yang mempunyai akhlak tersebut disebut “orang yang
berakhlak mulia”. Sebaliknya apabila perbuatan yang biasa dilakukan itu
bernilai buruk menurut ukuran yang dipergunakan, maka dinamakan akhlak tercela
(akhlaqul madzmumah) dan orang yang mempunyai akhlak tersebut disebut “orang
yang berakhlak tercela”.
Untuk lebih memperjelas pemahaman
kita tentang pengertian akhlak ini, marilah kita simak ta’rif yang dikemukakan
oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin:
“Akhlak ialah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.” (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal. 12)
Ta’rif ini ternyata juga memberikan
pengertian yang hampir sama dengan ta’rif-ta’rif yang sebelumnya. Bahwasanya
akhlak itu merupakan perbuatan yang menjadi kebiasaan pada diri seseorang. Ia
merupakan refleksi dari perbuatan batinnya dan biasa dilakukan secara
berulang-ulang, sehingga perbuatannya tersebut dilakukan tanpa pertimbangan
akal pikirannya terlebih dahulu.
Dari ketiga ta’rif di atas, dapat
kita simpulkan bahwa Akhlak ialah perbuatan-perbuatan seseorang yang
telah mempribadi, dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa
memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak
lain.
Secara garis besar, sumber akhlak
dapat kita bedakan menjadi dua, yakni akhlak religius dan akhlak sekuler.
Akhlak religius adalah akhlak yang bersumber dari keagamaan atau kepercayaan
kepada yang ghaib (Tuhan, Ruh, Malaikat, dan seterusnya). Maka tolok ukur yang
digunakan ialah ajaran agama atau kepercayaan itu sendiri. Maka, dalam agama
Islam, sumber akhlak yanitu Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dorongan untuk melaksanakan
akhlak religius ini adalah adanya
keyakinan terhadap pahala bagi yang
berakhlak terpuji dan dosa bagi yang berakhlak tercela. Akhlak yang bersumber
dari agama ini akan membimbing umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan
sekaligus dalam hubungannya dengan sesama manusia atau sesama
makhluk. Ukuran baik atau buruk tidak hanya dipandang dari sudut kemanusiaan,
tetapi juga dipandang dari sudut ketuhanan.
Sedangkan akhlak sekuler adalah
akhlak yang bersumber dari hasil budaya manusia belaka, tanpa mempertimbangkan
adanya kekuatan ghaib. Ukuran baik atau buruk hanya didasarkan pada komunitas
manusia yang menciptakan kebudayaan yang bersangkutan. Maka, dorongan untuk
melaksanakan akhlak sekuler ini hanyalah berupa pujian dari sesama manusia
apabila seseorang melakukan akhlak terpuji dan mendapatkan sanksi apabila
seseorang melaksanakan perbuatan yang dianggap
tercela. Akhlak sekuler ini hanya membimbing manusia dalam hubungannya dengan
sesama
manusia. (Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal.
14)
Tolok ukur akhlak adalah baik
dan buruk. Kembali pada pengertian akhlak yang secara bahasa berarti budi pekerti,
tabi’at atau watak, maka pengertian akhlak secara istilah kita dapat simpulkan
sebagai perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi,
dilakukannya secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa
memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur
pemaksaan dari pihak lain. Dari itu, masih harus dibatasi lagi bahwa
perbuatan-perbuatan itu adalah perbuatan-perbuatan yang dapat diukur. (Menghias
Diri Dengan Akhlak Terpuji, hal 13)
Adapun alat yang dipergunakan untuk
mengukur perbuatan-perbuatan yang kemudian kita namakan akhlak itu ialah baik
atau buruk. Dengan kata lain, tolok ukur akhlak adalah baik atau buruk.
Dengan demikian, maka tidak semua perbuatan manusia dapat dikatakan sebagai
akhlak, karena tidak semua perbuatan itu dapat kita ukur dengan baik
atau buruk. Misalnya berkedip, bernapas, bergerak reflek dan seterusnya.
Ini semua termasuk perbuatan manusia, tetapi tidak dengan baik atau buruk,
sehingga perbuatan-perbuatan tersebut tidak dinamakan akhlak.
Cakupan akhlak hanyalah
perbuatan-perbuatan manusia yang menjadi suatu kebiasaan yang dapat diukur
dengan tolok ukur baik atau buruk, baik perbuatan batiniah (yang tidak
terlihat) maupun perbuatan lahiriyah (yang terlihat). Selanjutnya, semua
perbuatan yang dinilai baik, maka disebut dengan akhlak terpuji (akhlaqul
karimah) dan semua perbuatan yang dinilai buruk, maka disebut dengan akhlak
tercela (akhlaqul madzmumah). Namun demikian, ukuran baik atau buruk itu
sangatlah bervariasi, tergantung pada sumber akhlaknya masing-masing. Apa yang
dinilai baik menurut sumber akhlak yang satu belum tentu dinilai baik pula oleh
sumber akhlak yang lain.
Cakupan akhlak mulia bagi umat
Muslim meliputi: akhlak kepada Allah SWT., akhlak kepada diri sendiri, akhlak
kepada orang lain (Muslim maupun non-Muslim) dan akhlak terhadap
makhluk-makhluk Allah yang lain (hewan dan tumbuhan).
C.
Krisis Akhlak Umat Muslim Indonesia Dalam Kehidupan Modern
Globalisasi adalah fenomena yang tidak bisa
dipungkiri semua orang dan semua kalangan pasti akan merasakannya dampak
darinya, baik dampak
yang positif maupun dampak yang negatif. Namun, jika hal ini tidak dibarengi dengan filter yang
kuat globalisasi dapat berakibat pada krisis akhlak yang terjadi hampir di
semua lapisan masyarakat mulai dari pelajar hingga pejabat negara. Dikalangan
pelajar misalnya bisa dilihat dari meningkatnya angka kriminalitas mulai dari
kasus narkoba, pembunuhan, pelecehan seksual dan sebgainya. Demikian
halnya di kalangan masyarakat dan pejabat negara. Yang paling
menonjol adalah semakin membudayanya tingkat pidana korupsi di negeri ini.
Masalah besar umat hari
ini memasuki era globalisasi terjadinya interaksi dan ekspansi
kebudayaan secara meluas melalui media massa yang di tandai dengan semakin berkembangnya
pengaruh budaya pengagungan materia secara berlebihan (materialistik),
pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan
kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan
pengaruh munculnya berbagi bentuk Kriminalitas, Sadisme, Krisis moral secara
meluas (H.Mas’oed Abidin).
Dunia pendidikan akhir-akhir ini digoncangkan oleh fenomena kurang
menggembirakan terlihat dari banyaknya terjadi tawuran pelajar, pergaulan
a-susila dikalangan pelajar dan mahasiswa, kecabulan pornografi tak terbendung,
sebahagian cendekiawan berminat tinggi terhadap kehidupan non-science asyik
mencari kekuatan gaib belajar sihir, mencari jawaban dari paranormal menguasai
kekuatan jin, bertapa ketempat angker menyelami black-magic dan
mempercayai mistik. Kalangan remaja dijangkiti kebiasaan bolos
sekolah, minuman keras, kecanduan ectasy (XTC), budak kokain dan morfin, judi,
dan sejenisnya. Pada hakekatnya semua prilaku a-moral tersebut lahir karena
lepas kendali dari nilai-nilai agama dan menyimpang jauh terbawa arus deras
keluar dari alur budaya luhur bangsa. Kondisi seperti itu telah memberikan
penilaian buruk terhadap dunia pendidikan pada umumnya.
Remaja
akan menjadi aktor utama dalam pentas kesejagatan (millenium ketiga), karena
itu generasi muda (remaja) harus dibina dengan budaya yang kuat berintikan nilai-nilai
dinamik yang relevan dengan realiti kemajuan di era globalisasi.
Perkembangan kedepan banyak ditentukan oleh peranan remaja sebagai generasi
penerus dan pewaris dengan kepemilikan ruang interaksi yang jelas menjadi
agen sosialisasi guna menggerakkan kelanjutan survival kehidupan. Kecemasan atas penyimpangan perilaku
kemunduran moral dan akhlak, kehilangan kendali para remaja, sepatutnya menjadi
kerisauan semua pihak. Ketahanan bangsa akan lenyap dengan lemahnya remaja.
Kenakalan remaja lebih banyak disebabkan rusaknya sistim, pola dan politik
pendidikan. Kerusakan diperparah oleh hilangnya tokoh panutan, berkembangnya
kejahatan orang tua, luputnya tanggung jawab institusi lingkungan masyarakat,
impotensi dikalangan pemangku adat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi
lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru dilecehkan.
Millenium Baru (diawali abad keduapuluh satu) ditandai serba cepat, modern
dengan persaingan kompetitif dan komunikasi serba efektif, dunia tak ada jarak
seakan global village, akan banyak ditemui limbah westernisasi, harus
diyakini bahwa kehadirannya tak bisa di cegah. Umat mesti mengantisipasi dengan
penyesuaian agar tidak menjadi kalah.
Remaja
itu masanya mencari identitas.Makanya banyak tingkah laku remaja yang dianggap
mengganggu karena tidak sesuai yang orangtua inginkan. padahal niat mereka
hanya ingin mencari yang pas dengan kepribadiannya. Mereka beranggapan “aku
adalah aku”.
Dewasa
ini dengan terjadinya perkembangan global disegala bidang kehidupan selain
mengindikasikan kemajuan umat manusia disatu pihak, juga mengindikasikan
kemunduran akhlak dipihak lain. Di samping itu, era informasi yang berkembang
pesat pada saat ini dengan segala dampak positif dan negatifnya telah mendorong
adanya pergeseran nilai di kalangan remaja.
Kemajuan
kebudayaan melalui pengembangan IPTEK oleh manusia yang tidak seimbang dengan
kemajuan moral akhlak, telah memunculkan gejala baru berupa krisis akhlak
terutama terjadi dikalangan remaja yang memiliki kondisi jiwa yang labil, penuh
gejolak dan gelombang serta emosi yang meledak- ledak ini cenderung mengalami
peningkatan karena mudah dipengaruhi. Gejala akhlak remaja yang cenderung
kurang hormat terhadap orang tua, melawan orang tua, terjerumus dalam perilaku
sex bebas, kurang disiplin dalam beribadah, mudah terpengaruh aliran sesat,
pendendam, menjadi pemakai obat-obatan, berkata tidak sopan, pendusta, tidak
bertanggungjawab dan perilaku lainnya yang menyimpang telah melanda sebagian
besar kalangan remaja.
Kenakalan
remaja merupakan masalah yang sering menimbulkan kecemasan sosial karena
aksesnya dapat menimbulkan kemungkinan “gap gerneration” , sebab mereka
yang di harapkan sebagai kader-kader penerus serta calon-calon pemimpin bangsa
banyak yang tergelincir kedalam jurang kehinaan. Bagaikan kuncup bunga yang
brguguran sebelum mekar menyerbakkan wangi.
Akan
tetapi kiranya kita sependapat, kenakalan anak sebagai sesuatu sifat kodrati
yang tidak dapat dibendung atau ditiadakan, tetapi hanya skedar di tangkal
dengan cara-cara atau usaha-usaha secara bijak, sehingga tidak berakibat fatal
serta merugikan masyarakat banyak.
Penyalahgunaan
narkotika, pergaulan bebas, minum minuman keras, freesex, tawuran,
adanya kelompok-kelompok (gang) yang bersifat negatif, tindak anarkisme,
peredaran pornografi dan tindakan-tindakan lainnya, merupakan macam-macam
bentuk kenakalan remaja atau kaula muda di era modernisasi ini. Kenakalan-kenakalan
tersebut merupakan sebab dan akibat adanya krisis moral dan akhlak di kalangan
remaja itu sendiri.
Remaja
merupakan generasi yang akan meneruskan kemana Negara ini akan di bawa. Untuk
mewujudkan remaja-remaja yang bisa menjadi generasi penerus bangsa, maka dirasa
perlu dan harus ada pendidikan serta pembinaan akhlak bagi kalangan remaja,
agar remaja tersebut dapat tumbuh sesuai dengan tanggung jawabnya sebagai
generasi penerus yang bermoral, beretika, berakhlak, serta memiliki intelektual
yang baik.
D.
Sebab-sebab Krisis Akhlak Umat Muslim Di Indonesia
Dalam hal ini
ada beberapa hal yang mempengaruhi menurunnya moral atau krisis akhlak umat
Muslim Indonesia dalam kehidupan modern ini. Hal-hal yang mempengaruhi antara
lain adalah:
1.
Longgarnya
pegangan terhadap agama
Sudah
menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai
dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan
kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak
diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka
hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian
satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah
masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat
itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan
masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada
orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan
berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila
dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral, dengan
sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya
kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi
adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya
sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan.
Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah
memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana,
karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
2.
Kurang
efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun
masyarakat.
Pembinaan
moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut
semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus
dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya.
Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana uang benar dan mana yang salah,
dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam
lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk
manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu.
Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan
rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajat
mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan
mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu
tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya
rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan
moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik
bagi pertumuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat
pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain,
supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan
mantal, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik.
Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di
sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan
mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam
pembinaan moral. Masyarakat yanglebih rusak moralnya perelu segera diperbaiki
dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita.
Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral
anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda
sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan
masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan
lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi
pembinaan moral.
3.
Dasarnya harus
budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis
Sekarang
ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang
anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi
obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan
benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal
yang dapat merusak moral. Namun, gejala penyimpangan tersebut terjadi karena
pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan
tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa
dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis
yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan,
siaran-siaran, pertunjukan-prtunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya
yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk
keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa
memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang
demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan
moral para remaja dan generasi muda umumnya.
4.
Belum adanya
kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah
Pemerintah
yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia
dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk
melakuka pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah lagi
oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan,
peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk
hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan sebagainya dengan
cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi
kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi
apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah
kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu
semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan,
uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan
untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara
bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Beberapa
faktor lain yang menyebabkan menurunnya moral dan etika generasi muda saat ini
adalah:
a.
Salah
pergaulan, apabila kita salah memilih pergaulan kita juga bisa ikut-ikutan
untuk melakukan hal yang tidak baik.
b.
Orang tua yang
kurang perhatian, apabila orang tua kuran memperhatikan anaknya, bisa-bisa
anaknya merasa tidak nyaman berada di rumah dan selalu keluar rumah. Hal ini
bisa menyebabkan remaja terkena pergaulan bebas.
c.
Ingin mengikuti
trend, bisa saja awalmya para remaja merokok adalah ingin terlihat keren,
padahal hal itu sama sekali tidak benar. Lalu kalu sudah mencoba merokok dia
juga akan mencoba hal-hal yang lainnya seperti narkoba dan seks bebas.
d.
Himpitan ekonomi
yang membuat para remaja stress dan butuh tempat pelarian.
e.
Pengaruh dari
pihak luar, Bangsa barat yang identik dengan agama Kristen berusaha untuk
menghancurkan Negara-negara timur yang mayoritas Muslim. Dahulu bangsa-bangsa
barat menjajah negara-negara Muslim, termasuk Negara Indonesia menggunakan
kekerasan dan militer. Mereka menjajah bukan hanya untuk mencari kekuasaan dan
kekayaan, tetapi juga untuk misi kristenisasi. Namun dengan perjuangan dan
pengorbanan harta benda, bahkan nyawa akhirnya bangsa-bangsa yang terjajah
tersebut atas ridha Allah SWT. berhasil terlepas dari kekuasaan para penjajah.
Akan tetapi, bangsa barat yang mayoritas kristen tersebut terus berupaya dengan
berbagai cara untuk menghancurkan umat Islam. Saat ini mereka berusaha untuk
terus melaksanakan misi Kristenisasi di negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam dengan perusakan moral atau akhlak terlebih dahulu.
E.
Membenahi Krisis Akhlak Umat Muslim di Indonesia
Pertama, pendidikan
akhlak. Dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan pendidikan agama, baik di
rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal yang demikian diyakini, karena inti
ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang bertumpu pada keimanan kepada Tuhan
dan keadilan sosial.Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur
seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak
mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang hendak mengikuti kepercayaan yang
dianutnya.Madrasah-madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya merupakan salah
satu alat dan sumber pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan beragama
yang telah berurat dalam masyarakat umumnya, maka hendaklah mendapat perhatian
dan bantuan baik material ataupun dorongan spiritual dari pemerintah.
Kedua,
dengan mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Hampir semua ahli
pendidikan sepakat, bahwa pengajaran hanya berisikan pengalihan pengetahuan
(transfer of knowladge), keterampilan dan pengalaman yang ditujukan untuk
mencerdaskan akal dan memberikan keterampilan.Sedangkan pendidikan tertuju
kepada upaya membantu kepribadian, sikap dan pola hidup yang berdasarkan
nilai-nilai yang luhur.Pada setiap pengajaran sesungguhnya terdapat pendidikan
dan secara logika keduanya telah terjadi integrasi yang penting.
Pendidikan
yang merupakan satu cara yang mapan untuk memperkenalkan pelajar (learners)
melalui pembelajaran dan telah memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk
menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru untuk membimbing
perkembangan manusia. Dengan integrasi antara pendidikan dan pengajaran
diharapkan memberikan kontribusi bagi perubahan nilai-nilai akhlak yang sesuai
dengan tujuan pendidikan dalam menyongsong hari esok yang lebih cerah.
Ketiga, bahwa
pendidikan akhlak bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama saja, melainkan
tanggung-jawab seluruh guru bidang studi. Guru bidang studi lainnya juga harus
ikut serta dalam membina akhlak para siswa melalui nilai-nilai pendidikan yang
terdapat pada seluruh bidang studi.
Melekatnya
nilai-nilai ajaran agama pada setiap mata pelajaran atau bidang studi umum
lainnya yang bukan pelajaran agama mempunyai nilai yang sangat penting dalam
upaya mengembangkan nilai keagamaan pada anak didik.Melalui mata pelajaran umum
selain siswa dapat memperlajari substansi, prinsip-prinsip dan konsep-konsep
dari ilmu pengetahuan itu, diharapkan juga ada dimensi nilai yang terkandung
dalam pendidikan itu.Dalam pembelajaran siswa mempunyai kewajiban agar mentaati
peraturan tertulis, etika, adab sopan santun dan normanorma umum lainnya.Selain
itu siwa dapat belajar untuk lebih mencintai lingkungan, baik di sekolah,
keluarga atau masyarakat. Melalui pendidikan bidang studi lainnya, siswa juga
dapat lebih memahami betapa agung dan perkasanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya yang berjalan dengan tertib,
sesuai dengan hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang juga disebut hukum alam. Siswa
akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya berasal
dari Yang Maha Mencipta. Inilah pendidikan mata pelajaran bidang studi umum
sebagai contoh yang menjadi wahana untuk pendidikan nilai-nilai agama.
Keempat, pendidikan
akhlak harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk
tekhnologi modern. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan
kegiatan lainnya harus dilihat sebagai peluang untuk membina akhlak. Demikian
juga dengan sarana yang telah canggih pada masa kini, seperti: siaran TV,
Handphone (HP), surat kabar, majalah, internet dan tekhnologi lainnya tidak disalahgunakan,
sehingga sarana tersebut dapat mempermudah proses pendidikan demi terwujudnya
akhlak yang baik.
Tiga
pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat) secara bertahap dan terpadu
mengemban suatu tanggung jawab pendidikan bagi generasi mudanya. Ketiga
penanggung jawab pendidikan ini dituntut melakukan kerjasama di antara mereka
baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan saling menopang kegiatan
yang sama secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Dengan
kata lain, perbuatan mendidik yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak juga
dilakukan oleh sekolah dengan memperkuat serta dikontrol oleh masyarakat
sebagai lingkungan sosial anak. Pendidikan keluarga adalah benteng utama tempat
anak-anak dibesarkan melalui pendidikan dan disinilah peran utama orang tua
sebagai pendidik yang akan mendasari dan mengarahkan anak-anaknya pada
pendidikan selanjutya.
Dalam
Islam, rumah keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan
melalui pendidikan Islam. Adapun yang menjadi tujuan pendidikan dalam Islam
adalah: mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga;
Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis; Mewujudkan sunnah Rasulullah
saw. Dengan melahirkan anak-anak saleh; Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak;
dan Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan
penyimpangan-penyimpangan.Tanggung-jawab pendidikan keluarga ada di pundak para
orang tua, sehingga anak-anak terhindar dari kerugian, keburukan, mengingat
banyaknya sendi kehidupan sosial yang melenceng dari tujuan pendidikan.
Kerusakan
moral atau krisis akjhlak bangsa Indonesia tentu tidak boleh kita biarkan terus
berlangsung, harus ada upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Menurut Penulis
ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk mengatasi hal tersebut, di
antaranya adalah:
a.
Memperkokoh
keimanan atau akidah kepada Tuhan dengan jalan memberikan wejangan-wejangan
agama, baik yang dilakukan di rumah, kampus dan masyarakat, sehingga selalu
terikat dan mau menyesuaikan diri dengan ketentuan Tuhan.
b.
Menanamkan
perasaan dekat kepada Tuhan, sehingga di mana pun kita berada, ke manapun kita
pergi dan bagaimanapun situasi dan kondisinya kita akan selalu merasa diawasi
oleh Tuhan. Dengan hal demikian, maka akan membuat diri kita tidak berani
menyimpang dari jalan-Nya.
c.
Mewujudkan
lingkungan yang religius, baik melalui bahan bacaan, tontonan maupun lingkungan
pergaulan, sehingga pengaruh dari lingkungan tersebut akan membuat manusia
terbentuk menjadi orang yang memiliki kepribadian yang religius.
d.
Menumbuhkan tanggung
jawab pengembangan amanah dakwah dengan terus berusaha untuk menjadi yang
terbaik dalam bersikap dan berperilaku dalam berbagai sisi kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa.
F.
Akhlaqul Karimah Dalam Kehidupan Modern
Saat ini kita
berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi IPTEK tidak hanya mampu
menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern,
melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi
multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi
cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak
untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah
cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik
keluarga yang semula sarat dengan norma susila .
Kita
harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan
tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya
untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara,
sehingga mampu menyaring “ampas negatif” teknologi dan menjaring saripati
informasi positif.
Dengan
otoritas yang ada pada akhlaqul-karimah, seorang muslim akan berpegang kuat
pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar
pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah
akidah yang kokoh, Akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah karena
akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati
Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat memperoleh kesimpulan sementara
bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih
memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya
dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan”
yang ada.
Televisi
yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan
berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan
kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang
mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era
global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak
diperlukan lagi.Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan
kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya
fenomena sosial yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini membutuhkan
terapi yang harus dipikirkan bersama. Banyaknya mall, maraknya hiburan malam,
beredarnya minuman keras dan obat terlarang, munculnya amukan massa merupakan
fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota
besar, satu sisi membuat orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat
dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall
mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat”
dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan
bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat
ditunda lagi.
Belum
lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta
peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkan korban-korban generasi
muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua
terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul
karimah, juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait.
Upaya
menumbuhkan-kembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni
keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut
memiliki tanggung jawab bersama untuk mendarah-dagingkan akhlakul karimah,
terutama di kalangan generasi muda.
Hampir
setiap hari melalui media masa kita disuguhi munculnya fenomena amukan massa di
beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat pertokoan,
penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun berbagai
kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristiwa amukan tersebut,
di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan, fenomena tersebut
hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan
menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
Urgensi
akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan,
penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat
kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup
hanya dilakukan tindakan represif akan tetapi harus melalui penanaman akhlakul
karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tidak akan mampu
menyelesaikan masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang
berganti.
Serangkaian
fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di
tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan
diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena
kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat
komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas
yang semakin sulit dibendung.
Di
dalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral
kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang
berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu
adalah orang yang paling baik akhlaknya”. (H.R.
Bukhari).
Bahkan dalam Hadits lain Rasulullah bersabda:
“Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya”. (H.R.
Muslim).
Akhirnya, jelas urgensi pendarah-dagingan akhlak bagi bangsa yang mayoritas Muslim seperti bangsa Indonesia ini.
Akhirnya, jelas urgensi pendarah-dagingan akhlak bagi bangsa yang mayoritas Muslim seperti bangsa Indonesia ini.
G.
Kesimpulan
Akhlak adalah suatu perbuatan atau perilaku yang sudah menjadi
kebiasaan, dilakukan tanpa memerlukan pemikiran ulang dan tanpa adanya paksaan
dari pihak lain , baik dan buruk. Maka yang dinamakan krisis akhlak ialah
kemunduran atau kemerosotan perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang
baik dan tampaknya perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang tercela.
Fenomena
krisis akhlak telah terjadi pada sebagian umat Muslim di Indonesia. Kemorosotan
akhlak atau moral tersebut terjadi di dalam berbagai bidang kehidupan dan dari
berbagai kalangan. Sehingga umat Muslim saat ini sebagian hanya Islam dalam
identitasnya saja.
Terjadinya fenomena krisis akhlak dikalangan
umat Muslim Indonesia didasari oleh dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam
dan faktor dari luar umat Muslim itu sendiri, seperti melemahnya kualitas
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan faktor dari luar, seperti kemajuan
teknologi dan upaya perusakan moral oleh bangsa barat, serta Kristenisasi.
Bukti-bukti
dari telah terjadinya krisis akhlak umat Muslim di Indonesia saat ini dapat
kita lihat di lingkungan masyarakat kita sendiri. Dari kalangan remaja hingga
dewasa hampir sudah mengalami dekadensi moral dalam berbagai aspek kehidupan.
Berbagai penyimpangan dan kemaksiatan dianggap sebagai suatu hal yang biasa di dalam
masyarakat dan tidak mendapatkan sanksi yang berat dan menimbulkan efek jera.
Berbagai
upaya perbaikan moral (rekonstruksi moral) atau perbaikan akhlak harus
dilakukan dengan semaksimal mungkin oleh para Ulama’, tokoh agama maupun masyarakat
itu sendiri. Dari sejumlah solusi yang bisa diupayakan, solusi yang utama
adalah dengan meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah
SWT. dan melaksanakan dakwah, yaitu dengan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Daftar Pustaka
Halim, M. Nipan
Abdul. Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji. Jakarta. 2000. Mitra
Pustaka.
Imam, Machali
dan Musthofa. Pendidikan Islam dan
Tantangan Globalisasi. Jogjakarta. 2004. Ar-Ruzz Media.
Asmaran. Pengantar
Studi Akhlak. Jakarta. 2002. PT. Raja Grafindo Persada. Cet-3.
Hamka. Akhlaqul
Karimah. Jakarta. 1992. Pustaka Panjimas.
Mahmud, Ali
Abdul Halim. Akhlak Mulia. Jakarta. 2004. Gema Insani.
Multahim, dkk. Agama
Islam: Penuntun Akhlak. Jakarta. 2007. Yudhistira
No comments:
Post a Comment