BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khauf
Secara bahasa Khauf berasal
dari kataخاف-يخاف-خوفا yang artinya takut. Yang dimaksud dengan rasa takut disini adalah takut kepada Allah SWT.
Sedangkan
seacara istilah, khauf ialah suatu sikap mental yang
merasa takut kepada Allah SWT. karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau
khawatir kalau-kalau Allah SWT. tidak senang padanya. Khauf timbul karena
pengenalan dan cinta kepada Allah SWT. yang mendalam sehingga ia merasa
khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah. Cara untuk dekat kepada Allah SWT. yaitu dengan mengerjakan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Adapun
para ulama tasawuf mengemukakan makna khauf adalah sebagai berikut:
1.
Hasan al Bashri
Khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah SWT. karena kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut
dan khawatir kalau-kalau Allah SWT. tidak senang
kepadanya.
2.
Bishr al-Hafi
Ketakutan
kepada Allah adalah sebenar-benar harta yang hanya dimiliki oleh hati para
hamba yang benar-benar bertakwa. Perasaan takut bukanlah dengan bercucuran air
mata lantas dilap dengan kedua tangan seseorang. Ketakutan yang sebenar-benarnya adalah kamu mampu meninggalkan segala dosa
yang akan mengundang azab-Nya.
3.
Imam Qusyairy
Takut
kepada Allah berarti takut terhadap hukum-Nya. Menurutnya, khauf adalah masalah
yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa
takut apabila apa yang dibenci atau tidak disukai akan tiba dan yang dicintai
akan sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.
4.
Sayyid Ahmad
bin Zain al-Habsyi
Khauf
adalah Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati karena menunggu sesuatu
yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi dikemudian hari.
5.
Ibnu Khabiq
Menurut
beliau, makna khauf ialah berdasarkan waktunya, yaitu takut yang tetap ada pada diri seseorang kepada Allah SWT. saat ia dalam
keadaan aman.
6.
Al-Falluji
Khauf
adlah suatu bentuk kegelisahan ketika seseorang memperkirakan sesuatu yang ia
benci akan menimpanya
7.
Al-Ghazali
Khauf
adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak
disenagi dimasa yang akan datang. Macam-macam perasaan khauf atau takut:
a. Khauf
karena siksa
Manusia
mengetahui bagaimana siksaan yang akan diterimanya karena menentang Allah SWT.
Tempat dimana segala kejahatan akan dihapuskan. Allah SWT. telah menyiapkan
tempat peleburan kejahatan (bukan melebur penjahatnya, dari sini ada seorang
sufi yang mengistilahkan neraka sebagai Surga yang panas, sebagai
indkator bahwa perlakuan Allah SWT. kepada hamba-Nya senantiasa didasari rasa Rahman
dan Rahim). Kesadaran inilah yang mendorong manusia untuk tetap mematuhi
peraturan Allah SWT.
b. Khauf
karena cinta
Manusia
mengetahui bagaimana Allah SWT, sifat-sifat-Nya dan perbuatannya, maka
sampailah manusia pada kecintaan kepada Allah SWT. Kecintaan ini sanggup
membawa manusia pada keadaan:
1) Ia
khawatir jika amalnya tidak sempurna, karena sesungguhnya Allah SWT. selalu
menyediakan kebutuhan secara sempurna. Seseorang yang menjalin hubungan atas
dasar cinta, maka ia berusaha yntuk tampil , bersikap, bertutur kata dan
bertindak secara “sempurna” dihadapan yang dikasihinya.
2) Manusia
takut kepada selain-Nya, sebagaiman kata Ruwain ”Orang takut adalah yang
tidak takut kepada selain Allah”. Pada dirinya telah terpatri keyakinan
bahwa satu-satunya dzat yang melindungi adalah SWT.
Ibarat: Ketka
kita mengendarai sepeda motor , dihadapan kita ada bus yang besar, yang sangat
mungkin akan berjalan mendominaasi jalur kita, sehingga kita harus minggir
untuk menghindarinya. Namun hal ini tidak akan terjadi apabila di belakang kita
ada bus bear juga, sehingga bus di hadapan kita akan berpikir untuk menguasai
jalur kita, karena seusai menguasai jalur kita ia harus berhadapan denganawan
yang sebanding dengannya.
3) Manusia
malu untuk melanggar karena ma’rifat-Nya kepada Allah SWT. Dia menyadari bahwa
kekeliruan yang dilakukan hanya berakibat pada kerugian dirinya.
4) Ketakutan
yang lain adalah kesadaran akan kuasa dan kehendak Allah SWT. Jika pada suatu
ketika seorng yang rajin belajar, memepersiapkan segala kegiatan untuk mencapai
prestasi gemilang, tetapi pada hari H-nya ia mengalami sakit sampai batas waktu
yang tidak diperkirakan,maka keiginan mwncapai prestasi hanya keinginan semata.
Dari dua
jenis khauf ini maka dapat dipahami bahwa takut karena cinta lebih tinggi
daripada takut karena siksa. Takut karena siksa menjadikan da tertekan,
melakukaan aktivitas atau perintah penuh dengan keterpaksaan, seperti orang
terjajah. Takut karena cinta akan mendatangkan rasa senang hati dan keikhlasan.
Misalnya jika belajar dilakukan karena takut dihukum orang tua, maka belajar
akan diliputi rasa terpaksa, tetapi belajr karena cinta, aktivitas belajar akan
diliputi rasa senang.
Menurut Al-Ghazali
Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
Ø Tingkatan
Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan
ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
Ø Tingkatan
Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati
batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan
hilangnya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena membuat
manusia tidak bisa beramal.
Ø Tingkatan
Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada diantara khauf
qashir dan mufrith.
Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali juga membagi khauf ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
Ø Khauf al-awam (takutnya orang awam), yaitu
takut akan hukuman dan keterlambatan pahala.
Ø Khauf al-khashshah (takutnya orang khusus),
yaitu takut akan keterlambatan teguran.
Ø Khauf al-khashshah al-khashshah (takutnya
orang yang paling khusus), yaitu takut akan ketertutupan dengan nampaknya
keburukan budi pekerti.
B.
Pengertian Raja’
Secara
bahasa raja’ berasal dari kata رجا-يرجو-رجأ, artinya
mengharapkan. Apabila dikatakan rajaahu maka artinya ammalahu “dia
mengharapkannya”. Syaikh Utsaimin berkata: “Raja’ adalah keinginan seorang
insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang
yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.”
Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan raja’ adalah menginginkan
kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan
kebaikan dunia akhirat. Dan raja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh
sebab-sebab untuk mencapai tujuan.
Adapun para ulama tasawuf mengemukakan makna
raja’ adalah sebagai berikut:
a)
Hasan Al Bashri
Raja’
adalah sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan
bagi hamba-hambanya yang shaleh.
b)
Imam Qusyairy
Raja’
adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diingikannya tejadi di masa yang
akan datang.
c) Abu Abdullah bin khafif
Raja’
adalah senangnya hati karena melihat kemurahan yang tercinta yang kepada Nya
harapan dipautkan dan menganggap adanya fadal sebagai tanda harapan yang pasti.
d)
Ibn al-Qayyim
Raja’
adalah cinta kepada apa yang diharapkannya, takut harapannya hilang dan
berusaha untuk mencapai apa yang diharapkannya.
e)
Ahmad bin Ashim
al-Anthaky
Sikap
seorang hamba yang manakala ia menerima nikmat anugerah (ihsan), ia terilhami
untuk bersyukur, penuh harap akan penuhnya rahmat Allah swt di dunia dan
penuhnya pengampunan-Nya di akhirat.
f) Al-Ghazali
Raja’ adalah perasaan hati yang senang menanti sesuatu yang
diinginkan dan disenangi serta rasa lapang hati dalam menantikan hal yang
diharapkan di masa yang akan datang yang mungkin akan terjadi.
Dalam
kitabnya Ihya Ulumuddin Al-Ghazali juga membagi raja’ kedalam tiga tingkatan
yaitu:
Ø Raja’ al-awam (harapan orang awam), yaitu
harapan memdapatkan sebaik-baiknya tempat kembali dan sebanyak-banyaknya
pahala.
Ø Raja’ al-khashshah (harapan orang khusus),
yaitu harapan memperoleh ridha dan selalu dekat dengan Allah SWT.
Ø Raja’ al-khashshah al-hashshah (harapan orang
yang paling khusus), yaitu harapan kemungkinan untuk syuhud (menyaksikan) dan
meningkatkan pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Allah.
Dalam menanggapi ikhtiar manusia,
ada kemungkinan usaha yang sungguh-sungguh dilakukan belum membuahkan hasil.
Hal itu ada banyak kemungkinan:
1) Kita belum memenuhi persyaratan yang
ditetapkan untuk memperoleh harapan itu. Mungkin ikhtiar jasmani telah cukup,
akan tetapi ikhtiar rohani belum memadai, sehingga dalam diri kita masih
tersimpan rasa sombong jika berhasil.
2) Allah ingin menunjukkan Kuasa-Nya, bahwa yang
sudah tetap tidak mengikat Allah SWT. untuk mematuhi. Allah SWT. dapat berbuat
di luar kausalitas alam.
3) Allah SWT. ingin menguji kesetiaan kita,
sampai dimana kesetiaan itu tetap ada karena kesetiaan yang sejati adalh yang
tetap membara saat diterpa banyak halangan dan ujian.
4) Allah SWT. ingin mendengar keluhan hamba dan
kepasrahan manusia kepad-Nya. Ada tiga suara yang dicintai Allah SWT. yatu:
Ø Suara kokok ayam jantan di waktu pagi
Ø Suar orang yang membaca Al-Qur’an
Ø Suara hamba yang meminta ampun di pagi hari.
C.
Hakikat Khauf dan Raja’
Khauf dan rajâ’ dalam tasawuf digolongkan oleh sebagian
sufi sebagai bagian dari ahwâl perjalanan
spiritual, yaitu sesuatu yang menempati atau menghiasi hati yang merupakan
karunia. Sedangkan sebagian sufi yang lain menggolongkan khauf dan raja’ sebagai
tahapan dalam maqamat. Maqam adalah tahapan
adab seorang hamba dalam wushul kepada Allah melaui jalan ibadah, riyadhah dan mujahadah. Al-Qusyairy merupakan salah satu sufi yang menggolongkan khauf
dan raja’ ke dalam maqamat. Sedangkan
menurut al-Sarraj al-Thusi, khauf dan raja’ merupakan
bagian dari ahwal.
Khauf (takut)
dan raja’ (harap) adalah dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu
dalam diri seoarang mukmin, maka akan seimbanglah seluruh aktivitas
kehidupannya. Sebab dengan khauf akan membawa dirinya untuk selalu melaksanakan
ketaaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan, sementara raja’ akan
menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi rabb-nya ‘azza wa jalla.
Dengan khauf
dan raja’ seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke
hadapan sang pencipta (karena adanya rasa takut), disamping ia akan bersemangat
memperbanyak amalan-amalan (karena adanya pengharapan).
1.
Hakikat Khauf
Khauf
adalah ibadah hati. Tidak dibenarkan khauf ini kecuali kepada SWT. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan
seseorang. Apabila khauf kepada Allah SWT. berkurang
dalam diri seseorang, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan
dirinya terhadap Rabb-nya, sebab
orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, diantaranya:
a)
Apabila seorang
hamba mengetahui dan menyakini hal-hal yang tergolong pelanggaran dan
dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya.
b)
Pembenarannya
akan adanya ancaman Allah SWT bahwa Allah SWT akan menyiapkan siksa atas segala
kemaksiatan.
c)
Dia mengetahui
akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.
2.
Hakikat Raja’
Raja’ adalah
bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Raja’ merupakan
ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada
Allah ‘Azza wa Jalla. Memalingkan kepada selain Allah SWT adalah
kesyirikan,bias berupa syirik besar ataupun syirik kecil tergantung apa yang
ada dalam hati orang yang tengah mengharap.
Raja’
tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan. Berkata
Ibnu Qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin: “Bahwa raja’ tidak akan sah kecuali jika di
barengi dengan amalan. Oleh karena itu tidaklah seorang dianggap mengharap jika
tidak beramal.”
Ibnu
Qayyim membagi raja’ menjadi tiga bagian, dua diantaranya raja’ yang
benar dan terpuji pelakunya, sedangkan yang lainnya tercela. Raja’ yang
menjadikan pelakunya terpuji adalah:
Pertama, seseorang
mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah SWT, diatas cahaya Allah
SWT, ia senantiasa mengharap pahala-Nya.
Kedua, seseorang
yang berbuat dosa lalu bertobat darinya dan ia senantiasa mengharap ampunan
Allah SWT dan kebaikan Nya dan kemurahan Nya.
Adapun yang
menjadikan pelakunya tercela (ketiga) adalah seseorang yang terus
menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah SWT tanpa di
barengi amalan, maka raja’ seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah
harapan yang dusta.
Raja’
menuntut adanya khauf dalam diri seorang mukmin, yang dengan itu akan memacunya
untuk melakukan amalan-amalan sholeh, tanpa disertai khauf, raja’ hanya akan
bernilai sebuah fatamorgana. Sebaliknya khauf juga menuntut adanya raja’, tanpa
raja’ khauf hanyalah berupa keputusan tak berarti.
Jadi
khauf dan raja’ harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka
menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya. Keduanya ibarat
dua sayap burung yang dengannya dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna.
D.
Dasar Al-Qur’an Tentang
Khauf dan Raja’
1.
Dasar Al-Qur’an tentang Khauf
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tentang khauf yaitu:
Ø Al-Qashas ayat
21
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖقَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut
menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo`a: "Ya Tuhanku, selamatkanlah
aku dari orang-orang yang zalim itu".
Ø Az-Zumar ayat
13
قُلْ إِنِّىٓ
أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّى عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Artinya:
Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jikaaku
durhaka kepada Tuhanku".
Ø An-Nuur ayat 37
رِجَالٌ لَّا
تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ
وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ
وَٱلْأَبْصَٰرُ
Artinya: “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu
hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
2.
Dasar Al-Qur’an tentang Raja’
Diantara ayat-ayat Al-Qur’an tentang raja’ yaitu:
Ø Al-Isra’ ayat
57
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ
الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
ۚإِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Artinya: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”
Ø Al-Kahfi ayat
110
قُلْ إِنَّمَآ
أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Artinya:
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya."
Ø Al-Baqarah ayat 218
إِنَّ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ
يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
E.
Manfaat dari Khauf dan Raja’
Keharusan
seseorang memiliki rasa takut didasarkan atas dua hal:
Pertama, agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dilecut dan dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
Pertama, agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dilecut dan dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
Kedua, agar tidak membangga-banggakan amal
solehnya (ujub). Sebab jika sampai berbuat ujub maka dapat menimbulkan celaka
dan nafsu itu tetap harus dipaksa dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang
ada padanya, berupa kejahatan, dosa-dosa dan berbagai macam bahaya lainnya.
Adapun keharusan memiliki rasa raja’ juga dikarenakan dua
hal, yaitu;
Pertama, agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini harus dihadapi dengan raja’, yakni rasa mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahalanya agar senantiasa bersemangat dalam beribadah dan berbuat baik.
Pertama, agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini harus dihadapi dengan raja’, yakni rasa mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahalanya agar senantiasa bersemangat dalam beribadah dan berbuat baik.
Kedua,
agar terasa ringan menanggung rasa kesulitandan kesusahan. Karena jika
seseorang telah mengetahui sesuatu yang telah menjadi tujuantentu seseorang
tersebut akan rela berbuat apapun dan mengeluarkan apapun demi tercapainya
tujuan tersebut.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut)
dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang
membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan
lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan
disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adalah
ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs), pangkal
introspekasi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah
pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah. Pangkal pengetahuan tentang
keduanya adalah perenungan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang
padanya. Sedangkan raja’ adalah menginginkan
kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia
akhirat.
Khauf dan raja’
harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka menyeimbangkan
hidupnya untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Keharusan
seseorang untuk memiliki khauf didasarkan atas dua hal, yaitu; agar terhindar
dari kemaksiatan dan agar tidak membangga-banggakan amal sholeh (ujub).
Sedangkan keharusan seseeorang memiliki sifat raja’ juga didasarkan atas dua
hal yaitu; agar bersemangat dalam melakukan beribadah dan agar terasa ringan
menanggung rasa kesusahan dan kesulitan.
B. Saran
Kami
mengharapkan agar apa yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami oleh pembaca
sekalian dan pendengar sekalian, sekaligus semoga bermanfaat bagi kita semua. Selanjutnya,
kritik dan saran dari pembaca dan pendengar sangatlah kami harapkan guna
memperbaiki dalam pembuatan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sultoni, Ahmad. Sang
Maha Segalanya Mencintai Sang Maha Siswa.
No comments:
Post a Comment