Wednesday 28 October 2015

Buku Analisis Kritis Terhadap Tasawuf


NAMA BUKU: ANALISA KRITIS TERHADAP TASAWUF

PENULIS: SAMUDI ABDULLAH



BAB I

MEKANISME DALAM ARTI DAN DEFENISI



A.Arti Mistisme

            Mistikisme adalah suatu faham tentang mistik atau mystic (bahasa inggris). Secara harfiyah, mistic sebagai kata sifat (adjective) berarti tersembunyi atau gaib[1]. Sedangkan mistikisme dalam islam, berarti Tasawuf dalam islam, yang di sebut tasauf begitu saja.

            Menurut pengertian istilah (terminologi), mystic (mistik) berarti: “...bentuk religi berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam, dan terdiri atas upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.

            Selanjutnya Rosyidin Anwar mengatakan bahwa mistik sebagai mana dikatakan dalam kamus sebagai:

            “Pandangan-pandangan atau kecenderungan-kecenderungan dalam agama, yang mencita-citakan kearah perhubungan atau komonikasi antara manusia dengan penciptanya dengan melalui pemahaman batin dari pikiran.

            Sebenarnya perkataan “mistik” ini sukar diterangkan. Ibarat tentang rasa manis, tidak dapat diterangkan dengan kaa kata tetapi hanya dapat dirasakan bagaimana rasa manis itu tentunya itu tiap orang mempunyai tanggapan yang berbeda-beda, walaupun sama-sama sudah merasakan.



B.Tasawuf

            Tasawuf adalah membersihkan hati dari pada apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instinct) kita,tidak mengikuti hawa nafsu.

Ada banyak defenisi tentang tasawuf diantaranya:

  • Shafwu (صفو) Artinya Bersih atau sahafa’. Kemungkinan ini dikuatkan karena tujuan hidup kaum shufi adalah kebersihan lahir dan batin menuju maghfirah dan ridha Allah.
  • Shuffah (صفة) yaitu suatu kamar di samping masjid madinah yang di sediakan untuk sahabat yang aktif dalam bidang ilmiyah.
  • Shaff (صف) berarti barisan di kala sembahyang. Sebab orang yang kuat dan suci batinnya, biasanya bersembahyang memilih shaff yang paling depan dalam berjamaah.
  • Shaufanah (صوفنه), sebangsa buah-buahan kecil berbulu-bulu, sedang kaum shufi karena kesederhanaannya juga memakai pakaian berbulu-bulu seperti buah itu.
  • Shuff (صوف)  artinya kain yang terbuat dari bulu atau wol. Sebagaimana kaum shufi yang dulu memakai pakaian wol kasar sebagai lambang kesederhanaan.

Dari teori-teori tersebut yang paling banyak di terima oleh para ahli tasawuf dari kata shuff kain dari bulu atau wol.



C.Pembauran antara mistik dan tasawuf

            Perkataan mistik bukan berasal dari islam, tetapi telah di perkenalkan oleh kaum orientalis untuk menyebutkan tasawuf (dalam islam) sebagai mistiskisme dalam islam. Kaena melihat perkembangan nya juga telah mengandung suatu ajaran manunggaling kawulo gusti lan gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan) yang biasa di sebut Patheisme.



BAB II

PERKEMBANGAN AJARAN TASAWUF

(MISTIKISME DALAM ISLAM)



A.Tahap Pertama

            Tasawuf sebagai gerakan kerohanian pada perkembangan tahap pertama telah mereaksi terhadap kebekuan pelaksanaan hukum islam, masih dalam batas kewajaran. Sebab selama pelaksanaan hukum fiqhiyah hanya mementingkan formalitas belaka dengan terjauh dari sifat kusyu’, tawadu’ dan ikhlas, kehidupan kerohanianpun mengadakan pereaksi.

            Namun prof. Dr. Hamka mengkui bahwa penyelidikan para ahli tentang asal usul dan pengambilan tasawuf islami, yang menganjurkan hidup kerohanian itu, sampai sekarang masih belum juga selesai. Terlepas dari sudah selesai atau belum, serta dari mana asal usul pengambilan tasawuf islami, hal-hal tersebut di bawah ini menunjukan tentang besarnya dorongan islam untuk hidup mementingkan segi kerohanian.

ومارميث ادرميث ولكن اللله مرمى (الاءنفل :17)

            “Tidaklah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melinkan Allah lah yang melempar (QS. Al-Anfal : 17).

B.Tahap Kedua

            Dalamp perkembangan tahap kedua ini, tidak dapat tidak harus di bicarakan Hasan Basri yang juga digelari Abu Sa’id. Ia lahir pada tahun 21 H (642), jadi termasuk golongan tabi’in. Ia mempunyai ajaran tentang khauf (takut) kepada tuhan. Dari perguruan Hasan Basri inilah nanti terbit aliran rasionalisme dalam islam yang telah mempunyai jasa besar dalam perkembangan alam fikiran islam.

            Kemudian hidup para ahli sufi seperti Rabi’ah Adawiyah (714 M – 801 M/185 H), Sufyan Tsauri (wafat tahu 135 H) dan Dzun Nun Al-Mishri (180-245 H). Rabiah Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang sangat zuhud. Kalau Sufyan Tsauri adalah murid dari Hasan Bashri yang hidup mengembara dari sebuah kota ke kota lain sambil mengajar murid-murid nya. Dzun Nun Al-Mishri, sebagaimana robiah adawiyah adalah seorang shufi yang menekankan cinta kepada Allah, dengan cinta yang tidak berbagi, dan ia senang hidup menyendiri.



C.Tahap Ketiga

            Di tahap ketiga ini adalah tentang Hulul, yaitu ittihad (persatuan antara hamba dan tuhan). Abu Yazid adalah seorang shufi yang dianggap seorang shufi pertama mempunyai faham ittihat. Persatuan dengan tuhan inilah menurut yazid merupakan tingkatan terakhir dari zuhud.

            Selanjutnya ada lagi seorang shufi yang berfaham ekstrim, yaitu Husain bin Manshur Al-Hallaj yang hidup/ dilahirkan di Baidha (persia) pada tahun 244 H/858 M. Ia mati karena menjalani hukum bunuh dan salib, yang menjadi sebab mengapa ia dihukum adalah pendapat-pendapatnya yang ekstrim, ada tiga hal pendapatnya:

  1. Hulul, yaitu ketuhanan menjelma kedalam diri manusia.
  2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal segala sesuatu . Nur Muhammad sebagai asal kejadian adalah Qadim.
  3. Kesatuan segala agama. Baginya segala agama pada hakekatnya sama, yang berbeda hanya namanya saja serta syariatnya saja. Intinya ama, maka tidak ada faedahnya berselisih  tentang masalah agama, baik kristen, budha, hindu, ataupun Islam.
    Karena pandangan nya yang begitu ekstrim, terutama tentan hulul dan kesatuan semua agama itulah agaknya, maka ia terpaksa menjalani hukuman.


D.Reaksi Kearah Pemurnian

            Pada abad ke empat Hijriyah, terjadi banyak pandangan hidup. Masing masing pandangan hidup sudah saling menjauh dengan ekstrimitas masing-masing. Yang berfikir secara ilmu yang hany dapat menyingkap sedikt rahasia ketuhanan dengan kemampuan akal nya saja. Sedang akal yang serba terbatas itu tidak dapat menjangkau lebih dalam lagi. Ilmu kalam memang telah berjasa mempertahankan kepercayaan kepada tuhan dengan akalnya, namun bukan pencapai kebenaran serta keseluruhan. Sedangkan ilmu filsafat yang mengandalkan akalnya semata-mata, jalas hanya bisa mencapai kebenaran dalam tingkat paling luar saja, jika harus membuktikan tentang adanya tuhan Cuma bisa mengatakan bahwa uhan memang ada. Tidak lebih dari itulah filsafat mampu dalam membicarakan masalah tuhan.



E.Wahdatul Wujud

            Wahdatul Wujud adalah kepercayaan bahwa wujud Mahkluk adalah meupakan zat wujud Allah. Allah adalah makhluk, makhluk adalah merupakan perwujudan Al-Khaliq (Allah). Segala yang maujud ini pada hakikatnya hanya satu, yaitu Allah. Yang nampak bermacam-macam ini pada hakekatnya hanyalah merupakan gambaran dari Allah. Bagi faham ini tiap ada yang mempunyai dua aspek, aspek luar dan mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam mempunyai sifat ketuhanan.

            Pada pemikiran Ibnu Arabi inlah tasawuf telah mencapai puncak keistimewaanya, ia memang merupakan seorang ahli shufi pertama yang membawakan faham Wahdatul wujud atau phaetisme (pan= segala, Theo= tuhan, isme= faham). Phateisme berarti suatu faham yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada ini pada hakekatnya adalah Tuhan.







BAB III

SUMBER-SUMBER AJARAN TASAWUF

A.Sumber Ajaran Islam

            Hidup zuhud adalah akibat dorongan dari ajaran islam. Begitu juga ajaran untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kezuhudan dalam islam adalah bersifat wajar yang merupakan akibat kecintaan yang mendalam kepada Allah dengan beribadat (shalat, puasa, dan juga zakat).

            Dari ajaran islam tersebut jelas mendorong kepada umat manusia agar menjalankan zuhud dengan beribadah kepada Allah dalam batasan yang wajar. Seyogyanya kezuhudan itu dijalankan tidak melebih-lebihkan agar tidak merusakkan kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

قل انكنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله ويغفر لكم ذنو بكم ذنو بكم والله غفوررحيم (ال عمران:3 )

            “Katakanlah, jika kamu benar – benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha megetahui lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran, 31)

B.Luar Islam

  1. Sumber Kristen
    Yang merupakan pengaruh kristen (dalam hal ini khatolik) adalah sikap tidak kawin seperti yang di anut leh Rabi’ah Adawiyah). Sebagai mana di ketahui oleh umum dikalangan Gereja Khatolik ada ajaran tentang selibat bagi para pendeta (pastor).   
                Di kalangan umat nasrani awal memang ada suatu sekte yang hidup uzlah yang hidup menyendiri dan diwajibkan untuk tidak kawin bagi orang yang memasuki sekte tersebut. Sebelum memasuki menjadi anggota tersebut harus mengalami percobaan selama dua tahun, baru dapat di tentukan dapat dan tidaknya mnjadi anggota sekte (aliran).

  2. Sumber Hindu dan Budha
    Dalam hindu ada ajaran yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati tuhan untuk mencapai persatuan antara jiwa manusia (Atman) dan tuhan Brahmana.
    Dalam budha ada ajaran tentang nirwana, dimana untuk mencapai nirwana orang harus mencapai hidup kontemplasi, meninggalkan kehidupan duniawi. Menurut O’leary persatuan ajaran nirwana budha dengan fana dalam tasawuf hanyalah pada kulit.

  3. Pengaruh Filsafat Neo Platonis
    Plotinus Mengajarkan teori emanasi. Yaitu bahwa segala yang ada ini memancar dari Zat Yang Maha Esa dan akan kembali kepadanya. Tetapi untuk kembali kepada-Nya haruslah mensucikan diri dari kotoan duniawi yaitu dengan meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada-Nya untk bersatu dengan Dia.
    Sekedar untuk diketahui dan bahan perbandingan, teori Neo Platonis mengenai penciptaan ini ke masyarakat islam menjadi teori Nu Muhammad dan ke dalam agama Kristen  menjelma teori tentang Triitas (ke-Tritunggalan Tuhan), antara keduanya ada kesamaan sebab memang sumbernya sama. Yaitu filsafat Neo Platonis. Untuk lebih jelasnya kita lihat dalam ajaran Trinitas yang didasarkan dari ayat Yahya 1:1-3 dan 14:
    “Pada mulanya adalah Firman ; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu di jadikan oleh Dia tidak ada satupun yang telah jadi dari segala yang telah di jadikan....Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang telah di berikan kepada –Nya sebagai anak tunggal bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”

  4. Sumber Filsafat Mistik Pythagoras
    Pythagoras hidup pada zaman sebelum nabi isa, yaitu tahun 580-500 s.M. Filsafat mistik pythagoras berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal, yang keberadaan nya sebagai orang sebab kesenangan roh sebenarnya adalah alam surgawi (alam samawi).
    Ajaran pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah menurut sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan tasauf dalam islam.

    BAB IV
    SEBAB-SEBAB TIMBUL TASAWUF


A.Sebab Pertama

  1. Khauf (peraaan takut kepada Allah),
    orang yang merasa takut kepada Allah tentu akan berusaha untuk selalu mengerjakan apa yang di perintahkan Allah. Dengan meraa takut kepda Allah akan menimbulkan perasaan selalu ingat kepada-Nya, selalu mengharap atas keridhaan Nya, yang akhirnya menimbulkan harapan serta kecemasan kalau kalau yang di kerjakan belum benar. Orang yang takut (khauf) beribadah nya adalah semata-mata takut akan siksaan  Allah. Juga ibadatnya karena adanya harapan (raja’). Terhadap pahala dari Allah berupa kenikmatan surga nanti di akhirat.

  2. Cinta
    Cinta lain dengan khauf (takut). Orang yang taku, beribadah nya adalah semata-mata takut ancaman siksa dari Allah. Tapi lain lagi dengan orang yang sudah cinta (mahabbah,hubb), ibadahnya semata-mata cinta. Bercinta harus berani berkurban, maka orang yang sudah mencapai derajat derajat ketaqwaan yang lebih tinggi, ibadatnya tidak mengharapkan upah ataupun ancaman sudah tidak dipikirkan lagi.orang yang sudah demikian patutlah disebu sebagai kekasih Alah, karena sangat cintanya bersangatan, kemungkinan citanya tidak terkendalikan sehingga berkata-kata dengan perkataan yang melampaui batas.

B.Sebab Kedua

            Formatismedalam beragama, manakala telah menghadapi pelaksanaan keagamaan masyarakat maka akan menimbulkan raksi di lain pihak untuk mencari kedalaman dalam beragama. Setelah terjadi kekakuan dan kebekuan dalam pelaksanaan hukum islam, dimana ulama-ulama fiqih hanya sangat menekankan pada kumpulan peraturan-peraturan lahir, sehingga timbul bahwa yang di utamakan hanya “kulit” bukan “isi” maka akan timbul kesan bahwa dalam kelompok masyarakat tersebut menginginkan ketertiban batin dan mempratekkan jiwa keagamaan yang bertujuan hanya mengabdi kepada Allah.

C.Sebab Ketiga

            Tentang perkembangan tasawuf memang tidak dapat terlepas dari masalah-masalah politik kultural. Dikatakan demikian, karena keadaan antar bangsa pemeluk islam memang mempunyai bermacam-macam kebudayaan bangsa masin-masing, termasuk kebudayaan spiritualnya dan sisa-sisa agama lamanya.

            Sebab lainya lagi dalam bentuk politik kultural ini adalah hasrat untuk mempertahankan eksistensi politik kultural yang lama sebelum memeluk islam yang memang berjiwa mistis. Sebagai contoh adalah bangsa persia. Dengan timbulnya pergerakan tasawuf dikalangan umat islam mereka berusaha untuk “andil” dalam mempersubur pertumbuhan tasawuf dengan menyumbangkan konsep-konsep mistiknya. Dengan “menyumbang” itu, diharapkan pemimpin masyarakat  bisa berpindah dari bangsa Arab kepada mereka sendiri. Walaupun bangsa persia telah memeluk islam, dengan tasawuf itu tidak bisa melupakan begitu saja sejarah dan peradabannya sendiri!, dengan tasawuf itu mereka berhasil mempertahankan eksistensi mereka. Sebab, persaudaraan kaum shufi ini di dalam banyak hal terkenal sangat toleransi terhadap kebiasaan kebiasaan dan adat tradisional yang sebenarnya tidak sesuai dengan  islam.





BAB V

BEBERAPA EKTRIMITAS TASAWUF



A.Phantheitis (wahdatul wujud)

            Phantheistis berarti bersifat pantheisme Sedang phantheisme adalah sesuatu faham tentang uhan yang mengatakan bahwa yang maujud (ada) itu hanya satu, tidak dapat di duakan. Tidak ada yang maujud kecuali Allah. Yang nampak adanya ini , yaitu makhluk, sebenarnya hanya gambaran, bentuk dan kenyataan Allah.

            Hampir serupa dengan wahdatul wujud (phatheisme) adalah faham hulul yang di bawakn oleh abu Mansyur Al-Hallaj. Hulul ialah faham yang mengatakan bahwa uhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh kita di lenyapkan.



B.Non Formalistis

            Yang di maksud formalitas di sini adalah penghindaran atau keseganan menjalankan formalitas peribadatan dalam islam seperti sholat, hajji, puasa dan sebagainya. Walaupun kemungkinan meninggalkan bentuk-bentuk formal dalam peribadatan islam itu lalu membentuk “formalitas yang lain” menurut selera dan kehendak sendiri. Bentuk yang non formalitas itu sebenarnya adalah reaksi pelaksanaan peribadatan dalam islam yang hanya mementingkan bentuk formal, tetapi hati kosong dari rasa kusyu’, ikhlas dan nikmat rohaniyah.



C.Asketis
            Yang dimaksud askeis ialah bentuk kehidupan zuhud. Tetapi zuhud dalam dunia tasawuf lain dengan zuhud yang biasa. Sebagai mana yang bisa di ketahui, zuhud yang biasa. Sebagai biasa diketahui, zuhud yang biasa ialah memalingkan diri dari syifat ma’siyat dan apa yang melebihi ketuhanannya, yang merupakan akibat ketekunan beribadat atau kelezatan mencari ilmu dan berjihadmenyiarkan agama. Erkataan zuhud yang ada dalam Al qur’an hanya di sebut sekali saja, tetapi tidak menunjukan sebagai dalil tentang zuhud bahkan berhubungan pun tidak. Ayat tersebut adalah surat Yusuf 20:

وشروه بثمن بخس دراهم معدودة وركا نوا فيه من الزاهدين.

            “Dan mereka menjual yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada yusuf”

            Dari keterangan tersebut, Zuhud biasa ialah tidak tergila-gila kepada harta keduniaan. Sehingga kalau mendapat pemberian dari Allah tidak bergembira melebihi batas (lupa daratan) dan yang luput tidak terlalu menyusahkannya. Tetapi zuhud di kalangan tasawuf merupakan semacam syari’at khusus yang diharuskan. Sebab tanpa mengamalkan zuhud orang tidak bisa menjadi shufi. Zuhud di dalam tasawuf mengandug unsur-unsur penderitaan. Sehingga sering melupakan kesehatan badaniyah.

            Di antara bentuk zuhud yang ekstrim dalam tasawuf ini, seperti yang tercemin dari ucapan ibrahim bin adham.

            Aku tak pernah merasa riang gembira dengan keislamanku, kecuali tiga kali:

  1. Tatkala aku berada di sebuah kapal layar, dimana terdapat seorang yag amat lucu. Ia bercerita: ketika aku berada di negri turki, orang itu berbuat begini. Yakni memegang rambut kepalaku dan di goncang-gancangkannya, karena di kapal layar itu tidak terdapat orang yang lebih hina dari padaku.
  2. Ketika aku sedang menderita sakit dan berada di sebuah masjid, masuklah muadzin yang berkata kepadaku: keluar! Namun aku tak sanggup. Lalu  di peganglah kedua belah kakiku dan ditariknya aku keluar.
  3. Di waktu aku berada di negri syam. Aku memakai baju dari kulit binatang, yang bulunya di sebelah dalam, bukan di sebelah luar. Aku mengawasi bajuku itu. Tak dapat aku membeda-bedakan antara bulunya dan antara kutu busuk, karena banyaknya.

D.Isolasionisis

            Dengan kehidupan tasawuf, orang bisa cenderung unntuk meninggalkan hubungan dengan dunia luar, melalaikan segala ikatan keluarga dan kewajiban, orang memusatkan pada satu soal dengan menjatuhkan soal yang lain. Kehidupan seperti itu biasa di sebut dengan uzlah. Dalam uzlah atau mengasingkan diri (mengisolir diri) itu ada yang selama setahun, dua tahun atau untuk slama hidup. Tentu saja yang seperti itu tidak sesuai dengan ajaran islam yang jelas untuk memerintahkan hidup bermasyarakat, menghormati tamu, menolong terhadap tetangga, keluarga dan sebagainya. Namun dalam hal kehidupan rohani, tasawuf bisa membuka diri. Ini terbukti dengan adanya idea kesatuan yang di canangkan oleh seorang shufi, yaitu Al Hallaj (Husain bin Mansyur Al-Hallaj). Ia berpendapat bahwa adanya berbagai agama, baik islam, nasrani, majusi, hindu, dan sebagainya hanyalah berbeda dalam hal nama saja. Sedang pada hakekatnya sama saja.

E.Fatalisi

            Fatalisme yaitu menyerah terhadap ketentuan (taqdir) secara bulat-bulat tanpa kasab (usaha), dengan dalih bertawakal kepada Allah. Sikap mental seperti itu mengakibatkan kehidupan faqir dengan hidup mengembara ke berbagai tempat tanpa membawa bekal, nyaris menyiksa diri.

            Faham tawakal yang menjerumus kepada fatalisme adalah faham jabariyah yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan yang sama sekali atas penetuan pekerjaannya, “Manusia tidak bertanggung jawab terhadap perbuatanya yang manapun, yang seluruhnya datang dari Allah.

            Faham jabariyah ini ada persesuaiannya dengan madzhab Qurra’ dalam agama yahudi dan madzhab yukubiyah dalam agama nasrani. Tentu saja, pengertian tawakal yang fatalistis meninggalkan ikhtiyar adalah faham yang tidak sesuai dengan yang di harapkan oleh islam. Sebagaimana Nabi Muhammad saw.  Mengajarkan berserah diri kepada Allah setelah habiz berusaha. Tersebutlah riwayat, pada suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Rasulullah. Setelah ia turun dari ontanya, ia biarkan ontanya tidak di ikat. Rasulullah pun menanyakan hal tersebut. “Aku lepaskan onta itu dan aku tawakal kepada Allah,” jawab orang tersebut. “I’qilhaa wa tawakkal” (ikatlah dia, baru berserah diri kepada Allah) Nasehat Nabi.

            Riwayat itu menunjukan bahwa kita harus berusaha terlebih dahulu, yaitu mengikat onta agar tidak terlepas, baru menyerahkan keselamatanya – bertawakal – kepada Allah. Bertawakal berarti “mewakilkan nasib diri dan nasib usaha kita kepada Allah, sedang kita sendiri tidak mengurang-ngurangkan usaha dan tenaga kita dalam usaha itu.”

F.Messianistis

            Ajaran Messianistis yaitu suatu kepercayaan dan pengharapan akan datangnya Messiah (Al-Masih dan Imam Mahdi) sebagai ratu adil. Kepercayaan yang messianistis ini tampak lebih subur bila kehidupan masyarakat goncang karena peperangan, bencana yang hebat dan lain-lainnya. Kepercayaan yang demikian ini menimbulkan pemujaan terhadap orang orang yang di sebut Ratu Adil.

            Setelah agak panjang kita uraikan tentang ke-Mahdiah dan ke-mahasiaan yang messianistis itu kita simpulkan bahwa: faham ke-Mahdian dalam kalangan shufi mengambil bentuk dari Syi’ah. Mahdi dalam tasawuf ada yang menjelma menjadi penguasa bathiniyah seperti aqthab, autad dan sebagainya disamping ada juga kepercayaan tentang Al-Masih dan Al-Mahdi yang diharapkan akan kembali ke dunia.

            Jadi, pengharapan terhadap datangnya imam mahdi itu merupakan personifikasi terhadap haapan akan datangnya keadilan saja akibat selalu terjepit. Lagi pula, pengharapan akan datangnya Al-Mahdi ini mirip dengan kepercayaan Nasrani dan Yahudi yang mengharap kedatangan Messiah, juga mirip kaum Zoroaster yang mengharap kedatangan juru selamat yang bernama Sosiosy yang akan lahir di Khurasan yang akan membebaskan mereka dari perbudakan.

            Lagi pua, Hadis-hadis  tentang Al-Mahdi tidak ada yang sah dan bersimpang siur (menurut Rasyid Ridha dalam tafsir Al manar juz 9 halaman 499 s.d. 507), sedang dalam Al Qur an tidak di sebut sebut tentang Al-mahdi , sedang hamka mengatakan bahwa,”Dipandang dari segi Aqidah Islamiyahm, kepercayaan kepada kedatangan Imam Mahdi itu sangatlah merusak jihad kita.”

G.Egoistis

            Faham egoisme (mementingkan diri sendiri) di kalangan tasawuf ini tercermin dari kehidupan yang isolasionistis, tidak mau hidup bermasyarakat. Bahkan sampai melupakan keluarga, anak dan isteri tidak di beri nafkah. Karena menyibukkan diri dalam fana (ketiadaan diri), lupa makan, minum dan sebagainya. Sebagai contoh dapat di bawakan  riwayat Ibrohim bin Adham. Mula-mula ia sebagai seorang raja, karena terpengaruh olh kehidupan tasawuf, ia meninggalkan kehidupan mewah di istana. Ia tinggalkan istrinya yang baru saja melahirkan seorang anaknya, ia mengembara, berkelana dengan hanya membawa sebuah periuk dan sekedar pakaian yang melekat padanya saja.

            Dalam ajaran islam, betapa pun nikmatnya beribadat kepada Allah, haruslah tetap menanggung keluarga, masyarakat, dengan mempejuangkan ke arah kehidupan yang lebih baik. Dalam hadist telah di kutip terdahulu Nabi mengajarkan tentang keharusan mencari nafkah, bekerja, beribt, kawin makan dan sebagainya.

            Al Qur’an juga menyuruh untuk tidak melupakan dunia walaupunsangat mengharapkan kebaikan di akhirat (Q.S Al-Qashash 77). Tetapi di kalangan tasawuf ada kehendak untuk tidak ingin kembali lagi dari suasana tentramnya pengalaman tunggal (dalam beribadat) itu dan kalaupun ia kembali, karena mesti demikian, maka kemalinya itupun tidaklah memberi arti besar bagi umat manusia. Nabi lain, kembalinya seorang nabi memberi arti kreatif, kembali menyisipkan diri kedalam kancah zaman, dengan maksud hendak mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan itu pula ia mau menciptakan suatu dunia idea baru. Ini berarti bergaul, berhubungan dengan masyarakat.



BAB VI

KOMPROMI AL-GHAZALI

            Imam al Ghazali telah berjasa menghidupkan kembali agama islam. Namun, masih ada bentuk ekstrim tasawuf yang tidak hilang dengan konsepsi Al-Ghazali, sebab ia lebih banyak tertuju kepada pembangunan akhlak untuk kebersihan jiwa sendiri saja, yaitu dengan memperbanyak dzikir, puasa, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Biar miskin tidak usah memperdulikan hiruk piluk dunia. Terima saja taqdir menimpa tanpa berusaha, biar saja raja-raja bertindak alim, sebab itu adalah cobaan. Dengan masih menekankan hal tersebut, orang sufi bersifat hanya menerima apa adanya dan mengalah saja yang pada hakikatnya masih belum sesuai dengan inti jiwa ajaran Nabi Muhammad saw.

            Dengan kompromi Al-Ghazali itu, tasawuf maih mempunyai kecenderungan membelakangi dunia.



BAB VII

MENGHINDARI EKSTRIM-EKSTRIM TASAWUF

            Dengan menyadari lalu berusaha untuk menghindari berbagai ektrimitas yang menyelubungi tasawuf itu, diharapkan agar penganut tasawuf yang benar, dengan menjalankan ibadat kepada Allah sesuai denan tatana syariat yang benar, bersikap ihsan yaitu menyadari perasaan kyusyu’ dan tawadhu’. Betapa bahagia manusia yang telah mencapai martabat seperti itu. Hal ini sesuai dengan yang di lukiskan Al Qur’an, bahwa yang memperoleh kebahagiaan adalah orang yang beriman, orang yang sholat nya khusu’, menjauhkan diri dari hal yang tidak berguna. Dengan hal itu semua , insya Allah bisa menganut tasawuf yang benar yang bertujuan “keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk pada budi perangai yang terpuji” seperti dikatakan oleh Al-Junaid.





[1] Prof.Drs S. Wojowasito, W.J.S. Poerwadaminta. S.A.M. Gaastra, kamus indonesia edisi populer, penerbit Hasta,jakarta, 1971, hal. 109.

No comments:

Post a Comment