Sunday, 25 December 2016

Status Iddah Bagi Wanita Yang Keguguran

STATUS 'IDDAH BAGI WANITA YANG KEGUGURANGAN

PERTANYAAN :

Assalamu'alaikum, mohon dibantu. Iddahnya wanita hamil ketika dicerai suaminya sampai melahirkan. Kalau dua minggu setelah dicerai terjadi keguguran pada kandungannya. Bagaimana dengan masa iddahnya?

JAWABAN :

Wa alaikum salam warahmatullah wabarakatuh

Para ulama fiqih telah sepakat bahwa jika seorang wanita keguguran, dan janin yang keluar dari rahimnya itu telah terbentuk jari-jarinya atau bagian tubuh yang lainnya, maka kelahiran sebelum waktunya dianggap seperti kelahiran seorang anak.

Sehingga wanita yang mengalami keguguran inipun disebut sebagai nufasa (wanita yang nifas) karena penciptaan manusia telah dimulai.

Sama halnya dengan seorang hamba sahaya yang mengandung anak dari tuannya, ia pun tetap disebut ibu dari anak seorang tuan dengan keguguran janinnya yang telah terbentuk bagian tubuhnya.

Begitu juga dengan wanita yang dalam masa iddah, iddahnya pun selesai dengan keguguran janinnya yang telah terbentuk bagian tubuhnya meski hanya berbentuk segumpal daging dan meskipun juga gugurnya karena aborsi. Wallahu a’lam.

REFERENSI :

1. Mughni al Muhtaj, juz 5 hal. 85
2. Hasyiyah Qulyubiy 'ala Syarah Al-Mahalli, juz 4 hal. 43
3. Hasyiyah Al Bajuriy 'ala Fathul Qorib,  juz 2 hal. 172

Hukum menyusui anak di Tempat Umum

HUKUM MENYUSUI DITEMPAT UMUM
===================================

Assalamu'alaikum.

Maaf ustadz, sebenarnya saya malu mau menanyakan ini, tapi bagaimana lagi, saya butuh kejelasan hukum. Waktu saya berangkat kuliah naik angkot ada seorang ibu muda dan cantik di samping saya sedang menggendong anaknya, tiba-tiba anaknya menangis. Tanpa bimbang dan ragu ibu itu langsung membuka dan mengeluarkan buah dadanya untuk menyusui anaknya. Jujur saja saya sebagai seorang gadis ikut malu melihat hal itu. Yang ingin saya tanyakan:

Bagaimana hukumnya menyusui anak di tempat umum?

Terima kasih.

(Dari Ayu Dewi Lestari).

Jawaban:

Wa 'alaikum salam warahmatullahi wababarakatuh.

Sebelum masuk ke jawaban inti, sebenarnya dalam masalah ini bahasan hukumnya murni bahasan aurat, dan bukan hanya hukum menyusuinya. Perkara menyusui anak di tempat umum ini hukum yang timbul tentunya tergantung prakteknya, bisa haram bisa boleh. Untuk masalah yang berkaitan erat dalam hal ini marilah kita bahas hukum membuka aurat bagi wanita. Mengenai hukum aurat ini telah ada gambaran yang jelas dari Allah dalam firmanNya:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nur : 31).

 Kata "ziinah" pada ayat diatas menunjukkan makna perhiasan, menurut penafsiran Syeikh Wahbah az Zuhaili lebih menekankan pada tempat dimana perhiasan itu dipakai, karena pada dasarnya Allah tidak melarang perhiasannya, yang Allah larang adalah menampakkan anggota badan dimana perhiasan itu dipasang. Jadi hampir semua tempat perhiasaan itu dilarang untuk diperlihatkan, semisal telinga, leher, dada, pergelangan tangan, dan betis dan pergelangan kaki. Namun al Qur’an memberikan pengecualian bagian tubuh perempuan yang boleh tampak yaitu muka dan kedua telapak tangan.

Nah, untuk lebih menjaga fitrah seorang wanita dan agar lebih terjaga dari fitnah ada baiknya kita lihat juga pandangan dari para ulama tentang permasalahan ini:

- Diharamkan melihat dada wanita mahram, meskipun lelaki itu adalah bapaknya atau saudaranya. Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Batas aurat bagi mahram adalah selain yang umumnya terlihat ketika seorang wanita di rumah meliputi: Hasta, rambut, ujung kaki, tidak boleh melihat payudara dan betisnya.

- Sementara madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bolehnya mahram melihat dada dan payudara. Hanya saja, mereka mensyaratkan bolehnya hal itu jika aman dari fitnah dan timbul syahwat.

Ini adalah berkaitan dengan mahram. Dan bila berhadapan dengan ajnabi (selain mahram) berdasarkan dalil nash dan semua ulama sepakat akan keharamannya. Dan untuk lebih aman lagi sebaiknya jangan menyusui anak secara terbuka di hadapan mahram dewasa. Dan bila berada didalam kendaraan umum atau tempat terbuka lainnya sebai

Hukum Tentang Qadla` Sholat

•┈┈┈┈•✿❁✿•┈┈┈┈•
     QADLA’ SHALAT
•┈┈┈┈•✿❁✿•┈┈┈┈•

Sholat yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam :

" من نسي صلاة فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك " رواه مسلم

Maknanya : "Barang siapa lupa tidak melakukan sholat tertentu maka laksanakanlah jika ia ingat, tidak ada tanggungan atasnya kecuali qadla' tersebut" (H.R. Muslim)

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda :

" من نسي صلاة أو نام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها " رواه مسلم

Maknanya: "Barang siapa lupa tidak melakukan sholat tertentu atau tertidur maka kaffarahnya adalah melaksanakannya jika ia ingat" (H.R. Muslim)

Jika sholat yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' apalagi sholat yang ditinggalkan dengan sengaja lebih wajib diqadla'. Ini juga masuk ke dalam keumuman hadits Nabi yang sahih:

" فدين الله أحق أن يقضى "

Maknanya : "Hutang kepada Allah lebih layak untuk dibayar (qadla')"

Hal ini disepakati (Ijma') oleh para ulama. Orang yang mengatakan sholat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib diqadla' seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, berarti telah menyalahi ijma' para ulama Islam seperti dikatakan oleh al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i, al Hafizh Ibnu Thulun dan lain-lain.

Sedangkan perkataan 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- yang biasa dijadikan oleh sebagian orang sebagai dalil tidak wajibnya mengqadla' sholat bunyinya adalah sebagai berikut secara lengkap :

" كنّا نـحيض عند رسول الله ، ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ، ولا نؤمر بقضاء الصلاة ".

"Kami haidl di masa Rasulullah kemudian suci maka kami diperintahkan untuk mengqadla' puasa dan tidak diperintah untuk mengqadla' sholat "

Orang yang membaca perkataan 'Aisyah ini dengan lengkap bukan sepotong-sepotong akan memahami bahwa perkataannya ini berkaitan dengan wanita yang haidl bahwa tidak diperintahkan baginya untuk mengqadla sholat yang dia tinggalkan selama dia haidl. Jadi orang yang menjadikan perkataan 'Aisyah sebagai dalil untuk menolak kewajiban mengqadla' sholat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja, orang ini tidak memahami perkataannya sendiri.

SUMBER : EBOOK MASA-IL DINIYYAH

Monday, 30 May 2016

Makalah tentang imalah

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, bimbingan, petunjuk dan penyertaan-Nya sehingga, dapat menyelesaikan makalah dengan baik. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak – pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini baik itu teman-teman, dosen dan semua yang telah membantu yang penulis tidak bisa sebut satu persatu.
Besar harapan penulis bahwa makalah ini dapat bernilai baik, dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini belum sempurna untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan untuk pembuatan makalah selanjutnya.Sesudah dan sebelumnya penulis ucapkan terimakasih.
Salatiga, Mei 2016

Penyusun






DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………….1
Daftar Isi…………………………………………………………….. 2
BAB I. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang………………………………………………….. 3
  2. Rumusan Masalah……………………………………………………………… 3
  3. Tujuan Penulisan…………………………………………………………….. 3
BAB II. PEMBAHASAN
  1. Pengertian Imalah…………………………………………………………… 4
  2. Macam-macam imlah…………………………………………………………. 4
  3. Sebab-sebab Imalah………………………………………4
  4. Yang bisa mencegah Imalah…………………………………………….. 5
BAB III. PENUTUP
  1. Kesimpulan……………………………………………………………………6

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Imalah adalah mencondongkan fathah kearah ya’ pada keadaan apapun, ketika huruf setelah fathah adalah alif, seperti (الفَتَى), dan dicondongkan ke arah kasrah jika huruf setelah fathah tidak berupa alif, seperti (سَجَا).
Imlah ada dua macam, yaitu:
1.      Imalah alif, yaitu kita condongkan alif ke arahnya ya’ dan fathah yang ada sebelum alif dicondongkan kearah kasrah, seperti (رَمَى).
2.      Imalah fathah, yaitu kita condongkan fathah saja ke arah kasrah ketika huruf setelah fathah tidak berupa alif, seperti (يَسْحَرُ).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Imalah ?
2.      Apa saja macam-macam Imalah ?
3.      Apa saja sebab-sebab Imalah ?
4.      Apa saja yang bisa mencegah Imalah?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Imalah
2.      Untuk mengetahui macam-macam Imalah
3.      Untuk mengetahui sebab-sebab Imalah
4.      Untuk mengetahui apa saja yang bisa mencegah Imalah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Imalah
Imalah adalah mencondongkan fathah kearah ya’ pada keadaan apapun, ketika huruf setelah fathah adalah alif, seperti (الفَتَى), dan dicondongkan ke arah kasrah jika huruf setelah fathah tidak berupa alif, seperti (سَجَا).
B.     Macam Imalah
Imlah ada dua macam, yaitu:
3.      Imalah alif, yaitu kita condongkan alif ke arahnya ya’ dan fathah yang ada sebelum alif dicondongkan kearah kasrah, seperti (رَمَى).
4.      Imalah fathah, yaitu kita condongkan fathah saja ke arah kasrah ketika huruf setelah fathah tidak berupa alif, seperti (يَسْحَرُ).
C.    Sebab-Sebab Imalah
Sebab-sebab imalah ada delapan, yaitu:
1.      Adanya alif sebagai ganti dari ya’ yang berada diakhir, baik diakhirnya adalah hakiki atau taqdiri, seperti (اِشْتَرَى ) dan (فَتَاةٌ).
2.      Pada sebagian tashrif ya’ terkadang mengganti  alif, seperti alifnya (مَلْهَى) (: alif itu bukan gantian dari ya’ tetapi dia bisa menjadi ya’ ketika dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim dan ditatsniyyahkan, seperti مَلْهَيَاتٌ  dan مَلْهَيَانِ).
3.      Adanya alif adalah sebagai ganti dari ‘ain kalimah, yang ketika fi’il tersebut diisnadkan kepada fa’il ta’ (dlamir rafa’ mutaharrik), maka wazannya akan menjadi (فِلْتُ) dengan dikasrahnya fa’ kalimah, seperti (بَاعَ) (ketika bertemu dlamir rafa’ mutaharrik menjadi بِعْتُ).
4.      Alif jatuh sebelum ya’, seperti (بَايَعْتُهُ). 
5.      Alif jatuh setelah ya’ dengan muttashil (bersambung), seperti (بَيَانٌ), atau dipisah dengan satu huruf, seperti (شَيْبَانٌ), atau dipisah dengan dua huruf yang salah satunya berupa ha’ (هـ), seperti (دَخَلَتْ بَيْتَهَا).
6.       Alif jatuh sebelum kasrah, seperti (عَالِمٌ).
7.      Alif jatuh setelah kasrah yang kasrah itu dipisah dari alif, adakalanya dengan satu huruf, seperti (كِتَابٌ), atau dua huruf (yang hidup semua) dan salah satunya (dari keduanya) berupa ha’ (هـ), seperti (يُرِيْدُ انْ يُؤَدِّيَهَا), atau dua huruf yang huruf pertama berupa huruf mati, seperti (شِمْلَالٌ), atau dipisah dengan huruf mati dan dua huruf (yang keduanya hidup) yang salah satunya berupa ha’ (هـ), seperti (دِرْهَمَاكَ).
8.      Keinginan untuk mencocokkan, yaitu ketika alif jatuh setelah alif yang lainnya dalam satu kalimah atau dalam kalimah yang menyertai kalimah yang pertama, contoh yang awal adalah (رَاَيْتُ عِمَادَا) (: alif setelah dal atau alif yang gantian dari tanwin ketika diwaqafkan diimalahkan karena mengikuti imalahnya alif setelah mim), dan yang kedua seperti (الضُحَى) dengan diimalahkan untuk mencocoki (سَجَا).
D.    Yang Bisa Mencegah Imalah
Perkara yang bisa mencegah imalah ada dua, yaitu:
1.      Ra’ (ر), dengan syarat ra’ tersebut tidak dikasrah dan bersambung dengan alif yang ra’ jatuh sebelum alif, seperti (رَاشِدٌ), atau ra’ berada sesudah alif, seperti (هذَا الجِدَار), dan alif tidak bersandingan dengan ra’ yang lainnya.
2.      Huruf isti’la’ yang tujuh, yaitu: (خ), (غ), (ص), (ض), (ط), (ظ), dan (ق) yang berada didepan, dengan syarat huruf tersebut tidak dikasrah dan huruf tersebut berhubungan langsung dengan alif (tidak dipisah), atau dipisah dari alif dengan satu huruf yang huruf tersebut tidak mati yang jatuh setelah kasrah dan pada lafal tersebut tidak terdapat ra’ yang dikasrah yang bersandingan atau diakhirkan dengan syarat berhubungan langsung atau dipisah dengan satu huruf atau dua huruf.
Secara mudahnya huruf isti’la’ yang bisa mencegah dari imalah adalah:
a.       Huruf isti’la’ yang jatuh sebelum alif dengan syarat huruf tersebut tidak dikasrah dan huruf tersebut tidak disukun yang jatuh setelah kasrah, seperti (صَالِح).
b.      Huruf isti’la’ jatuh setelah alif dan muttashil, seperti (حَاصِل).
c.       Huruf isti’la’ jatuh setelah alif dan dipisah dengan satu huruf, seperti (نَافِخ).
d.      Huruf isti’la’ jatuh setelah alif dan dipisah dengan dua huruf, seperti (مَنَاشِيْط).


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imalah adalah mencondongkan fathah kearah ya’ pada keadaan apapun, ketika huruf setelah fathah adalah alif, seperti (الفَتَى), dan dicondongkan ke arah kasrah jika huruf setelah fathah tidak berupa alif, seperti (سَجَا).
Imlah ada dua macam, yaitu:
Imalah alif, yaitu kita condongkan alif ke arahnya ya’ dan fathah yang ada sebelum alif dicondongkan kearah kasrah, seperti (رَمَى).
Imalah fathah, yaitu kita condongkan fathah saja ke arah kasrah ketika huruf setelah fathah tidak berupa alif, seperti (يَسْحَرُ).
Sebab-sebab imalah ada delapan, yaitu:
Adanya alif sebagai ganti dari ya’ yang berada diakhir, baik diakhirnya adalah hakiki atau taqdiri, seperti (اِشْتَرَى ) dan (فَتَاةٌ).Pada sebagian tashrif ya’ terkadang mengganti  alif, seperti alifnya (مَلْهَى) (: alif itu bukan gantian dari ya’ tetapi dia bisa menjadi ya’ ketika dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim dan ditatsniyyahkan, seperti مَلْهَيَاتٌ  dan مَلْهَيَانِ).
Adanya alif adalah sebagai ganti dari ‘ain kalimah, yang ketika fi’il tersebut diisnadkan kepada fa’il ta’ (dlamir rafa’ mutaharrik), maka wazannya akan menjadi (فِلْتُ) dengan dikasrahnya fa’ kalimah, seperti (بَاعَ) (ketika bertemu dlamir rafa’ mutaharrik menjadi بِعْتُ).
Alif jatuh sebelum ya’, seperti (بَايَعْتُهُ). 
Alif jatuh setelah ya’ dengan muttashil (bersambung), seperti (بَيَانٌ), atau dipisah dengan satu huruf, seperti (شَيْبَانٌ), atau dipisah dengan dua huruf yang salah satunya berupa ha’ (هـ), seperti (دَخَلَتْ بَيْتَهَا).
 Alif jatuh sebelum kasrah, seperti (عَالِمٌ).
Perkara yang bisa mencegah imalah ada dua, yaitu:
1.      Ra’ (ر), dengan syarat ra’ tersebut tidak dikasrah dan bersambung dengan alif yang ra’ jatuh sebelum alif, seperti (رَاشِدٌ), atau ra’ berada sesudah alif, seperti (هذَا الجِدَار), dan alif tidak bersandingan dengan ra’ yang lainnya.
2.      Huruf isti’la’ yang tujuh, yaitu: (خ), (غ), (ص), (ض), (ط), (ظ), dan (ق) yang berada didepan, dengan syarat huruf tersebut tidak dikasrah dan huruf tersebut berhubungan langsung dengan alif (tidak dipisah), atau dipisah dari alif dengan satu huruf yang huruf tersebut tidak mati yang jatuh setelah kasrah dan pada lafal tersebut tidak terdapat ra’ yang dikasrah yang bersandingan atau diakhirkan dengan syarat berhubungan langsung atau dipisah dengan satu huruf atau dua huruf.




DAFTAR PUSTAKA
Muhammad harun, Abdul salam, Qowaidul imla, pustakawan Iain Salatiga
http// Qowaidul imla// imalah.co.id

http// imalah//berbagi ilmu// Hakam abbas

Makalah tentang waqhof

WAQAF

Disusun Guna Memenuhi Tugas  Qowa’idul Imla’
Dosen Pengampu : Imam Anas Hadi, M.Pd.I




Disusun Oleh :
Suci Hikmah Wati                : 23010-15-0195
Nur Afifatul Hasanah           : 23010-15-0269

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
PRODI S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2016


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan atas kehadiran Allah SWT, yang telahmemberikan rahmat dan hidayat nya kepada penulis, sehingga dengan rahmat dan hidayah nya itu penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah Bimbingan Qira’ah yang berjudul,''Waqaf'' Selanjutnya salawat beriring salam, penulis kirimkan buat nabi Muhammad SAW, sebagai pimpinan umat manusia, yang telah meninggalkan dua pedoman hidup bagi manusia yaitu Alquran dan Sunah.
            Dalam pembuatan makalah ini penulis tidak terlepas dari berbagai kesulitan karena keterbatasan ilmu dan pengalaman yang penulis miliki, namun berkat petunjuk Allah SWT, motivasi, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak lansung, dengan izin Allah SWT, tugas makalah ini dapat di selesaikan.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritikan kepada pembaca demi kesempurnaan makalah ini untuk masa yang akan datang, semoga makalah ini ada manfaat nya.

Salatiga, 17 Mei 2016
                                                                                                  
                                                                                                            Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................3
A.    Latar Belakang................................................................................................3
B.    Rumusan Masalah............................................................................................3
C.    Tujuan Masalah................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN WAQAF.......................................................................4
A.    Pengertian Waqaf............................................................................................4
B.    Pembagian Waqaf............................................................................................4
C.    Tanda-tanda Waqaf.........................................................................................5
D.    Cara Berwaqaf.................................................................................................6
BAB III    PENUTUP.............................................................................................7
A.    Kesimpulan......................................................................................................7
B.     Saran...............................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................8










BAB I
                                                     PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia fitrahnya untuk beribadah kepada Tuhan, Salah satu beribadah kepada Tuhan adalah dengan membaca ayat suci Al qur’an, dengan menbaca al quran dengan tajwid dan makhraj yang benar akan bernilai pahala di sisi Tuhan. Di sini penulis akan mencoba memberikan uraian dari salah satu cara membaca Al qur’an yaitu waqaf.
Waqof dari sudut bahasa ialah berhenti atau menahan, manakala dari sudut istilah tajwid ialah menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di akhir perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan.
Mengetahui waqof  merupakan hal yang penting, waqof telah menjadi agenda pembicaraan para ulama dari dahulu hingga saat ini, sebab akan berimplikasi terhadap penafsiran al Qur’an. Dengan memperhatikan waqof di dalam membaca al Qur’an akan kelihatan ketepatan makna ayat-ayat al Qur’an. Oleh karenanya, tanda waqof adalah laksana ‘kompas’ penentu arah kemana harus dituju.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan jenis waqaf ?
2.      Apa saja tanda-tanda dari waqaf ?
3.      Apa saja cara-cara berwaqaf ?

C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui arti dan jenis – jenis waqaf.
2.      Mengetahui tanda – tanda waqaf.
3.      Mengetahui cara – cara berwaqaf.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Jenis Waqof

1.      Pengertian Waqof
Waqof secara bahasa berarti mencegah (الكف). Sedang menurut isltilah hukum tajwid, waqof adalah memutus suara ketika berada di akhir kalimat sekiranya berhenti untuk bernafas. Jika berhentinya tanpa disertai nafas, maka dinamakan ‘saktah’.[1]
2.      Jenis Waqof
Terdapat empat jenis waqaf yaitu:
a.       ﺗﺂﻡّ (taamm) waqaf sempurna, yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan yang dibaca secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, dan tidak memengaruhi arti dan makna dari bacaan karena tidak memiliki kaitan dengan bacaan atau ayat yang sebelumnya maupun yang sesudahnya.
b.      ﻛﺎﻒ (kaaf) waqaf memadai yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, namun ayat tersebut masih berkaitan makna dan arti dari ayat sesudahnya.
c.      ﺣﺴﻦ (hasan) waqaf baik yaitu mewaqafkan bacaan atau ayat tanpa memengaruhi makna atau arti, namun bacaan tersebut masih berkaitan dengan bacaan sesudahnya.
d.      ﻗﺒﻴﺢ (qabiih) waqaf buruk yaitu mewaqafkan atau memberhentikan bacaan secara tidak sempurna atau memberhentikan bacaan di tengah-tengah ayat, wakaf ini harus dihindari karena bacaan yang diwaqafkan masih berkaitan lafaz dan maknanya dengan bacaan yang lain.[2]





B.     Tanda – Tanda Waqof

Tanda – tanda waqof sebagai berikut[3] :

NO
TANDA
MAKNA
MAKSUD
HUKUM
1
م
Lazim
Lazim
Lebih utama waqof
2
ط
Mutlak
Tanpa ada qoyyid
Lebih utama waqof
3
ط
Jaiz
Boleh
Lebih baik waqof
4
قف
Mustahab
Waqoflah
Lebih utama waqof
5
قلى
Waqf awlaa
Waqof lebih utama
Lebih utama waqof
6
ز
Mujawwas
Dibolehkan
Lebih utama washol
7
ص
Murakhkhas
Dimurahkan
Lebih utama washol
8
صلى
Al-wasl Awlaa
Washol lebih utama
Lebih utama washol
9
ق
Qeela alayhil waqf
Pendapat diwaqofkan
Lebih baik washol
10
لا
Laa waqf
Jangan waqof
Lebih utama washol
11
 ... ...
Mu’anaqah
Rangkulan
Boleh waqof pada salah satunya dan tidak boleh waqof pada keduanya
12
ﺼﻞ
Qad yoosalu
kadang kala boleh diwasalkan
Lebih utama waqof
13
ﻗﻴﻒ
Qif
Waqoflah
Lebih utama waqof
14
 ﺳﮑﺘﻪ
Saktah
Waqoflah
Berhenti seketika tanpa mengambil napas


C.    Cara Berwaqaf

1.      Apabila huruf terakhir berharakat sukun, maka cara melafazhkannya tetap tanpa ada perubahan.
2.      Jika huruf terakhir merupakan huruf hidup, atau tidak berharakat sukun, maka membacanya dengan menyukunkan huruf tersebut.
3.      Apabila katanya berakhiran ta marbutan ( ة ), maka ketika disukunkan berubah lafazhnya menjadi Hha ().
4.      Jika katanya berakhiran dengan huruf hidup dan huruf sebelumnya berharkat sukun maka huruf terakhirnya ( huruf hidup tersebut ) disukunkan dengan melafazhkan sebagian hurufnya saja.
5.      Jika katanya berakhiran dengan huruf hidup dan huruf sebelumnya adalah huruf mad atau liin maka huruf terakhirnnya disukunkan dengan memanjangkan lafazh huruf maad nya
6.      Apabila huruf terakhir berharkat tanwin fathah, maka tanwin berubah menjadi fathah dan dibaca dua harkat.
7.      Jika huruf terakhir bertasydid, maka huruf tersebut disukunkan dengan tidak menghilangkan lafazh tastdidnya ( ّ ).
8.      Apabila huruf terakhir berupa alif ta’nis maqshuran atau fi’il madlhi bina’ naqish yang diakhiri huruf ya’ maka di baca fathah ( َ ) dengan panjang dua harkat.[4]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa  Waqaf adalah salah satu hukum yang penting dipelajari dalam ilmu tajwid, dengan mempelajari waqaf kita dapat mengetahui kapan dan dimana kita harus berhenti sejenak dalam membaca ayat-ayat Al qur’an, pemahaman yang minim dapat menyebabkan seseorang jatuh pada kesalahan ketika membaca Al qur’an.
Tidak ditemukan dalam al Qur’an waqof yang hukumnya wajib, dengan maksud akan berdosa jika tidak mengamalkannya. Tidak ditemukan pula waqof yang hukumnya haram, dengan maksud akan berdosa jika ada pembaca yang melakukannya. Kecuali dengan sebab-sebab tertentu yang bisa menarik menjadi haram. Namun, walau tidak ada maksud atau kesengajaan dalam waqof sebaiknya jangan dilakukan, karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.

B.     Saran 

Demikianlah makalah ini kami persembahkan. Harapan kami dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita untuk lebih menyadari bahwa agama islam memiliki khazanah keilmuan yang sangat dalam untuk mengembangkan potensi yang ada di alam ini dan merupakan langkah awal untuk membuka cakrawala keilmuan kita, agar kita menjadi seorang muslim yang bijak sekaligus intelek. Serta dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari dosen yang telah membimbing kami. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini, kami mohon maaf.







DAFTAR PUSTAKA


Fathoni,Ahmad. Petunjuk Praktis Tahsin Tartil al Qur’an Metode Maisura. Institut PTIQ: Jakarta.

Hamid,Sholahuddin. Study Ulumul Qur’an. Intimedia Cipta Nusantara: Jakarta.

Ahmad Muthohir bin Abdur Rohman al Muroqy. Tuhfatul Athfal. Thoha Putra: Semarang.



Tanya :

1.       Dewi - 0384
Berikan contoh waqaf saktah !

Jawab :

1.         Waqaf Saktah

Surah Yasiin ayat 52

مَا هَٰذَا سكتة مَّرۡقَدِنَا مِن بَعَثَنَا مَنۢ




[1] Sholahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta, hal 272
[2] Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil al Qur’an, Metode Maisura, Institut PTIQ, Jakarta, hal 32
[3] Ahmad Muthohir bin Abdur Rohman al Muroqy, Tuhfatul Athfal, Thoha Putra, Semarang hal 30
[4] Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil al Qur’an, Metode Maisura, Institut PTIQ, Jakarta