NAMA BUKU: ANALISA KRITIS
TERHADAP TASAWUF
PENULIS: SAMUDI ABDULLAH
BAB I
MEKANISME DALAM ARTI DAN
DEFENISI
A.Arti Mistisme
Mistikisme adalah suatu faham tentang mistik atau mystic
(bahasa inggris). Secara harfiyah, mistic sebagai kata sifat (adjective)
berarti tersembunyi atau gaib[1].
Sedangkan mistikisme dalam islam, berarti Tasawuf dalam islam, yang di sebut
tasauf begitu saja.
Menurut pengertian istilah (terminologi), mystic (mistik)
berarti: “...bentuk religi berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan yang
dianggap meliputi segala hal dalam alam, dan terdiri atas upacara-upacara yang
bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.
Selanjutnya Rosyidin Anwar mengatakan bahwa mistik sebagai
mana dikatakan dalam kamus sebagai:
“Pandangan-pandangan atau kecenderungan-kecenderungan
dalam agama, yang mencita-citakan kearah perhubungan atau komonikasi antara
manusia dengan penciptanya dengan melalui pemahaman batin dari pikiran.
Sebenarnya perkataan “mistik” ini sukar diterangkan.
Ibarat tentang rasa manis, tidak dapat diterangkan dengan kaa kata tetapi hanya
dapat dirasakan bagaimana rasa manis itu tentunya itu tiap orang mempunyai
tanggapan yang berbeda-beda, walaupun sama-sama sudah merasakan.
B.Tasawuf
Tasawuf adalah membersihkan hati dari pada apa yang
mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi
yang asal (instinct) kita,tidak mengikuti hawa nafsu.
Ada banyak defenisi
tentang tasawuf diantaranya:
Shafwu (صفو) Artinya Bersih atau sahafa’. Kemungkinan ini dikuatkan
karena tujuan hidup kaum shufi adalah kebersihan lahir dan batin menuju
maghfirah dan ridha Allah.
Shuffah (صفة) yaitu suatu kamar di
samping masjid madinah yang di sediakan untuk sahabat yang aktif dalam bidang
ilmiyah.
Shaff (صف) berarti barisan di kala sembahyang. Sebab orang yang
kuat dan suci batinnya, biasanya bersembahyang memilih shaff yang paling depan
dalam berjamaah.
Shaufanah (صوفنه), sebangsa buah-buahan kecil berbulu-bulu, sedang kaum
shufi karena kesederhanaannya juga memakai pakaian berbulu-bulu seperti buah
itu.
Shuff (صوف) artinya kain yang terbuat dari bulu atau wol.
Sebagaimana kaum shufi yang dulu memakai pakaian wol kasar sebagai lambang
kesederhanaan.
Dari
teori-teori tersebut yang paling banyak di terima oleh para ahli tasawuf dari
kata shuff kain dari bulu atau wol.
C.Pembauran antara mistik
dan tasawuf
Perkataan mistik bukan berasal dari islam, tetapi telah
di perkenalkan oleh kaum orientalis untuk menyebutkan tasawuf (dalam islam)
sebagai mistiskisme dalam islam. Kaena melihat perkembangan nya juga telah
mengandung suatu ajaran manunggaling kawulo gusti lan gusti (bersatunya hamba
dengan Tuhan) yang biasa di sebut Patheisme.
BAB II
PERKEMBANGAN AJARAN
TASAWUF
(MISTIKISME DALAM ISLAM)
A.Tahap Pertama
Tasawuf sebagai gerakan kerohanian pada perkembangan
tahap pertama telah mereaksi terhadap kebekuan pelaksanaan hukum islam, masih
dalam batas kewajaran. Sebab selama pelaksanaan hukum fiqhiyah hanya
mementingkan formalitas belaka dengan terjauh dari sifat kusyu’, tawadu’ dan
ikhlas, kehidupan kerohanianpun mengadakan pereaksi.
Namun prof. Dr. Hamka mengkui bahwa penyelidikan para
ahli tentang asal usul dan pengambilan tasawuf islami, yang menganjurkan hidup
kerohanian itu, sampai sekarang masih belum juga selesai. Terlepas dari sudah
selesai atau belum, serta dari mana asal usul pengambilan tasawuf islami,
hal-hal tersebut di bawah ini menunjukan tentang besarnya dorongan islam untuk
hidup mementingkan segi kerohanian.
ومارميث ادرميث ولكن اللله مرمى (الاءنفل :17)
“Tidaklah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melinkan
Allah lah yang melempar (QS. Al-Anfal : 17).
B.Tahap Kedua
Dalamp perkembangan tahap kedua ini, tidak dapat tidak
harus di bicarakan Hasan Basri yang juga digelari Abu Sa’id. Ia lahir pada
tahun 21 H (642), jadi termasuk golongan tabi’in. Ia mempunyai ajaran tentang
khauf (takut) kepada tuhan. Dari perguruan Hasan Basri inilah nanti terbit
aliran rasionalisme dalam islam yang telah mempunyai jasa besar dalam
perkembangan alam fikiran islam.
Kemudian hidup para ahli sufi seperti Rabi’ah Adawiyah
(714 M – 801 M/185 H), Sufyan Tsauri (wafat tahu 135 H) dan Dzun Nun Al-Mishri
(180-245 H). Rabiah Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang sangat zuhud.
Kalau Sufyan Tsauri adalah murid dari Hasan Bashri yang hidup mengembara dari
sebuah kota ke kota lain sambil mengajar murid-murid nya. Dzun Nun Al-Mishri,
sebagaimana robiah adawiyah adalah seorang shufi yang menekankan cinta kepada
Allah, dengan cinta yang tidak berbagi, dan ia senang hidup menyendiri.
C.Tahap Ketiga
Di tahap ketiga ini adalah tentang Hulul, yaitu ittihad
(persatuan antara hamba dan tuhan). Abu Yazid adalah seorang shufi yang
dianggap seorang shufi pertama mempunyai faham ittihat. Persatuan dengan tuhan
inilah menurut yazid merupakan tingkatan terakhir dari zuhud.
Selanjutnya ada lagi seorang shufi yang berfaham ekstrim,
yaitu Husain bin Manshur Al-Hallaj yang hidup/ dilahirkan di Baidha (persia)
pada tahun 244 H/858 M. Ia mati karena menjalani hukum bunuh dan salib, yang
menjadi sebab mengapa ia dihukum adalah pendapat-pendapatnya yang ekstrim, ada
tiga hal pendapatnya:
Hulul, yaitu ketuhanan
menjelma kedalam diri manusia.
Al-Haqiqatul Muhammadiyah,
yaitu Nur Muhammad sebagai asal segala sesuatu . Nur Muhammad sebagai asal
kejadian adalah Qadim.
Kesatuan segala agama.
Baginya segala agama pada hakekatnya sama, yang berbeda hanya namanya saja
serta syariatnya saja. Intinya ama, maka tidak ada faedahnya berselisih tentang masalah agama, baik kristen, budha,
hindu, ataupun Islam.
Karena pandangan nya yang
begitu ekstrim, terutama tentan hulul dan kesatuan semua agama itulah agaknya,
maka ia terpaksa menjalani hukuman.
D.Reaksi Kearah Pemurnian
Pada abad ke empat Hijriyah, terjadi banyak pandangan
hidup. Masing masing pandangan hidup sudah saling menjauh dengan ekstrimitas
masing-masing. Yang berfikir secara ilmu yang hany dapat menyingkap sedikt
rahasia ketuhanan dengan kemampuan akal nya saja. Sedang akal yang serba
terbatas itu tidak dapat menjangkau lebih dalam lagi. Ilmu kalam memang telah
berjasa mempertahankan kepercayaan kepada tuhan dengan akalnya, namun bukan
pencapai kebenaran serta keseluruhan. Sedangkan ilmu filsafat yang mengandalkan
akalnya semata-mata, jalas hanya bisa mencapai kebenaran dalam tingkat paling
luar saja, jika harus membuktikan tentang adanya tuhan Cuma bisa mengatakan
bahwa uhan memang ada. Tidak lebih dari itulah filsafat mampu dalam
membicarakan masalah tuhan.
E.Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud adalah kepercayaan bahwa wujud Mahkluk
adalah meupakan zat wujud Allah. Allah adalah makhluk, makhluk adalah merupakan
perwujudan Al-Khaliq (Allah). Segala yang maujud ini pada hakikatnya hanya
satu, yaitu Allah. Yang nampak bermacam-macam ini pada hakekatnya hanyalah
merupakan gambaran dari Allah. Bagi faham ini tiap ada yang mempunyai dua
aspek, aspek luar dan mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam mempunyai
sifat ketuhanan.
Pada pemikiran Ibnu Arabi inlah tasawuf telah mencapai
puncak keistimewaanya, ia memang merupakan seorang ahli shufi pertama yang
membawakan faham Wahdatul wujud atau phaetisme (pan= segala, Theo= tuhan, isme=
faham). Phateisme berarti suatu faham yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang
ada ini pada hakekatnya adalah Tuhan.
BAB III
SUMBER-SUMBER AJARAN
TASAWUF
A.Sumber Ajaran Islam
Hidup zuhud adalah akibat dorongan dari ajaran islam.
Begitu juga ajaran untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kezuhudan dalam islam
adalah bersifat wajar yang merupakan akibat kecintaan yang mendalam kepada
Allah dengan beribadat (shalat, puasa, dan juga zakat).
Dari ajaran islam tersebut jelas mendorong kepada umat
manusia agar menjalankan zuhud dengan beribadah kepada Allah dalam batasan yang
wajar. Seyogyanya kezuhudan itu dijalankan tidak melebih-lebihkan agar tidak
merusakkan kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:
قل انكنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله ويغفر لكم ذنو
بكم ذنو بكم والله غفوررحيم (ال عمران:3 )
“Katakanlah,
jika kamu benar – benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
kamu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha megetahui lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ali Imran, 31)
B.Luar Islam
Sumber Kristen
Yang merupakan pengaruh kristen (dalam hal ini khatolik)
adalah sikap tidak kawin seperti yang di anut leh Rabi’ah Adawiyah). Sebagai
mana di ketahui oleh umum dikalangan Gereja Khatolik ada ajaran tentang selibat
bagi para pendeta (pastor).
Di kalangan umat nasrani awal memang ada suatu sekte yang
hidup uzlah yang hidup menyendiri dan diwajibkan untuk tidak kawin bagi orang
yang memasuki sekte tersebut. Sebelum memasuki menjadi anggota tersebut harus
mengalami percobaan selama dua tahun, baru dapat di tentukan dapat dan tidaknya
mnjadi anggota sekte (aliran).
Sumber Hindu dan Budha
Dalam hindu ada ajaran yang mendorong manusia untuk
meninggalkan dunia dan mendekati tuhan untuk mencapai persatuan antara jiwa
manusia (Atman) dan tuhan Brahmana.
Dalam budha ada ajaran tentang nirwana, dimana untuk
mencapai nirwana orang harus mencapai hidup kontemplasi, meninggalkan kehidupan
duniawi. Menurut O’leary persatuan ajaran nirwana budha dengan fana dalam
tasawuf hanyalah pada kulit.
Pengaruh Filsafat Neo
Platonis
Plotinus Mengajarkan teori emanasi. Yaitu bahwa segala
yang ada ini memancar dari Zat Yang Maha Esa dan akan kembali kepadanya. Tetapi
untuk kembali kepada-Nya haruslah mensucikan diri dari kotoan duniawi yaitu
dengan meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada-Nya untk bersatu dengan
Dia.
Sekedar untuk diketahui dan bahan perbandingan, teori Neo
Platonis mengenai penciptaan ini ke masyarakat islam menjadi teori Nu Muhammad
dan ke dalam agama Kristen menjelma
teori tentang Triitas (ke-Tritunggalan Tuhan), antara keduanya ada kesamaan
sebab memang sumbernya sama. Yaitu filsafat Neo Platonis. Untuk lebih jelasnya
kita lihat dalam ajaran Trinitas yang didasarkan dari ayat Yahya 1:1-3 dan 14:
“Pada mulanya adalah Firman ; Firman itu bersama-sama
dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan
Allah. Segala sesuatu di jadikan oleh Dia tidak ada satupun yang telah jadi
dari segala yang telah di jadikan....Firman itu telah menjadi manusia, dan diam
diantara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang telah
di berikan kepada –Nya sebagai anak tunggal bapa, penuh kasih karunia dan
kebenaran.”
Sumber Filsafat Mistik
Pythagoras
Pythagoras hidup pada zaman sebelum nabi isa, yaitu tahun
580-500 s.M. Filsafat mistik pythagoras berpendapat bahwa roh manusia bersifat
kekal, yang keberadaan nya sebagai orang sebab kesenangan roh sebenarnya adalah
alam surgawi (alam samawi).
Ajaran pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi
berkontemplasi inilah menurut sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhud
dan tasauf dalam islam.
BAB IV
SEBAB-SEBAB TIMBUL TASAWUF
A.Sebab Pertama
Khauf (peraaan takut
kepada Allah),
orang yang merasa takut kepada Allah tentu akan berusaha
untuk selalu mengerjakan apa yang di perintahkan Allah. Dengan meraa takut
kepda Allah akan menimbulkan perasaan selalu ingat kepada-Nya, selalu mengharap
atas keridhaan Nya, yang akhirnya menimbulkan harapan serta kecemasan kalau
kalau yang di kerjakan belum benar. Orang yang takut (khauf) beribadah nya
adalah semata-mata takut akan siksaan
Allah. Juga ibadatnya karena adanya harapan (raja’). Terhadap pahala
dari Allah berupa kenikmatan surga nanti di akhirat.
Cinta
Cinta lain dengan khauf (takut). Orang yang taku,
beribadah nya adalah semata-mata takut ancaman siksa dari Allah. Tapi lain lagi
dengan orang yang sudah cinta (mahabbah,hubb), ibadahnya semata-mata cinta.
Bercinta harus berani berkurban, maka orang yang sudah mencapai derajat derajat
ketaqwaan yang lebih tinggi, ibadatnya tidak mengharapkan upah ataupun ancaman
sudah tidak dipikirkan lagi.orang yang sudah demikian patutlah disebu sebagai
kekasih Alah, karena sangat cintanya bersangatan, kemungkinan citanya tidak
terkendalikan sehingga berkata-kata dengan perkataan yang melampaui batas.
B.Sebab Kedua
Formatismedalam beragama, manakala telah menghadapi
pelaksanaan keagamaan masyarakat maka akan menimbulkan raksi di lain pihak
untuk mencari kedalaman dalam beragama. Setelah terjadi kekakuan dan kebekuan
dalam pelaksanaan hukum islam, dimana ulama-ulama fiqih hanya sangat menekankan
pada kumpulan peraturan-peraturan lahir, sehingga timbul bahwa yang di utamakan
hanya “kulit” bukan “isi” maka akan timbul kesan bahwa dalam kelompok
masyarakat tersebut menginginkan ketertiban batin dan mempratekkan jiwa
keagamaan yang bertujuan hanya mengabdi kepada Allah.
C.Sebab Ketiga
Tentang perkembangan tasawuf memang tidak dapat terlepas
dari masalah-masalah politik kultural. Dikatakan demikian, karena keadaan antar
bangsa pemeluk islam memang mempunyai bermacam-macam kebudayaan bangsa
masin-masing, termasuk kebudayaan spiritualnya dan sisa-sisa agama lamanya.
Sebab lainya lagi dalam bentuk politik kultural ini
adalah hasrat untuk mempertahankan eksistensi politik kultural yang lama
sebelum memeluk islam yang memang berjiwa mistis. Sebagai contoh adalah bangsa
persia. Dengan timbulnya pergerakan tasawuf dikalangan umat islam mereka
berusaha untuk “andil” dalam mempersubur pertumbuhan tasawuf dengan
menyumbangkan konsep-konsep mistiknya. Dengan “menyumbang” itu, diharapkan
pemimpin masyarakat bisa berpindah dari
bangsa Arab kepada mereka sendiri. Walaupun bangsa persia telah memeluk islam,
dengan tasawuf itu tidak bisa melupakan begitu saja sejarah dan peradabannya
sendiri!, dengan tasawuf itu mereka berhasil mempertahankan eksistensi mereka.
Sebab, persaudaraan kaum shufi ini di dalam banyak hal terkenal sangat
toleransi terhadap kebiasaan kebiasaan dan adat tradisional yang sebenarnya
tidak sesuai dengan islam.
BAB V
BEBERAPA EKTRIMITAS
TASAWUF
A.Phantheitis (wahdatul
wujud)
Phantheistis berarti bersifat pantheisme Sedang
phantheisme adalah sesuatu faham tentang uhan yang mengatakan bahwa yang maujud
(ada) itu hanya satu, tidak dapat di duakan. Tidak ada yang maujud kecuali
Allah. Yang nampak adanya ini , yaitu makhluk, sebenarnya hanya gambaran,
bentuk dan kenyataan Allah.
Hampir serupa dengan wahdatul wujud (phatheisme) adalah
faham hulul yang di bawakn oleh abu Mansyur Al-Hallaj. Hulul ialah faham yang
mengatakan bahwa uhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh kita di
lenyapkan.
B.Non Formalistis
Yang di maksud formalitas di sini adalah penghindaran
atau keseganan menjalankan formalitas peribadatan dalam islam seperti sholat,
hajji, puasa dan sebagainya. Walaupun kemungkinan meninggalkan bentuk-bentuk
formal dalam peribadatan islam itu lalu membentuk “formalitas yang lain”
menurut selera dan kehendak sendiri. Bentuk yang non formalitas itu sebenarnya
adalah reaksi pelaksanaan peribadatan dalam islam yang hanya mementingkan
bentuk formal, tetapi hati kosong dari rasa kusyu’, ikhlas dan nikmat rohaniyah.
C.Asketis
Yang dimaksud askeis ialah
bentuk kehidupan zuhud. Tetapi zuhud dalam dunia tasawuf lain dengan zuhud yang
biasa. Sebagai mana yang bisa di ketahui, zuhud yang biasa. Sebagai biasa
diketahui, zuhud yang biasa ialah memalingkan diri dari syifat ma’siyat dan apa
yang melebihi ketuhanannya, yang merupakan akibat ketekunan beribadat atau
kelezatan mencari ilmu dan berjihadmenyiarkan agama. Erkataan zuhud yang ada
dalam Al qur’an hanya di sebut sekali saja, tetapi tidak menunjukan sebagai
dalil tentang zuhud bahkan berhubungan pun tidak. Ayat tersebut adalah surat
Yusuf 20:
وشروه بثمن بخس دراهم معدودة وركا نوا فيه من الزاهدين.
“Dan mereka menjual yusuf dengan harga yang murah, yaitu
beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada yusuf”
Dari keterangan tersebut, Zuhud biasa ialah tidak tergila-gila
kepada harta keduniaan. Sehingga kalau mendapat pemberian dari Allah tidak
bergembira melebihi batas (lupa daratan) dan yang luput tidak terlalu
menyusahkannya. Tetapi zuhud di kalangan tasawuf merupakan semacam syari’at
khusus yang diharuskan. Sebab tanpa mengamalkan zuhud orang tidak bisa menjadi
shufi. Zuhud di dalam tasawuf mengandug unsur-unsur penderitaan. Sehingga
sering melupakan kesehatan badaniyah.
Di antara bentuk zuhud yang ekstrim dalam tasawuf ini,
seperti yang tercemin dari ucapan ibrahim bin adham.
Aku tak pernah merasa riang gembira dengan keislamanku,
kecuali tiga kali:
Tatkala aku berada di
sebuah kapal layar, dimana terdapat seorang yag amat lucu. Ia bercerita: ketika
aku berada di negri turki, orang itu berbuat begini. Yakni memegang rambut
kepalaku dan di goncang-gancangkannya, karena di kapal layar itu tidak terdapat
orang yang lebih hina dari padaku.
Ketika aku sedang
menderita sakit dan berada di sebuah masjid, masuklah muadzin yang berkata
kepadaku: keluar! Namun aku tak sanggup. Lalu
di peganglah kedua belah kakiku dan ditariknya aku keluar.
Di waktu aku berada di
negri syam. Aku memakai baju dari kulit binatang, yang bulunya di sebelah
dalam, bukan di sebelah luar. Aku mengawasi bajuku itu. Tak dapat aku
membeda-bedakan antara bulunya dan antara kutu busuk, karena banyaknya.
D.Isolasionisis
Dengan kehidupan tasawuf, orang bisa cenderung unntuk
meninggalkan hubungan dengan dunia luar, melalaikan segala ikatan keluarga dan
kewajiban, orang memusatkan pada satu soal dengan menjatuhkan soal yang lain.
Kehidupan seperti itu biasa di sebut dengan uzlah. Dalam uzlah atau
mengasingkan diri (mengisolir diri) itu ada yang selama setahun, dua tahun atau
untuk slama hidup. Tentu saja yang seperti itu tidak sesuai dengan ajaran islam
yang jelas untuk memerintahkan hidup bermasyarakat, menghormati tamu, menolong
terhadap tetangga, keluarga dan sebagainya. Namun dalam hal kehidupan rohani,
tasawuf bisa membuka diri. Ini terbukti dengan adanya idea kesatuan yang di
canangkan oleh seorang shufi, yaitu Al Hallaj (Husain bin Mansyur Al-Hallaj).
Ia berpendapat bahwa adanya berbagai agama, baik islam, nasrani, majusi, hindu,
dan sebagainya hanyalah berbeda dalam hal nama saja. Sedang pada hakekatnya
sama saja.
E.Fatalisi
Fatalisme yaitu menyerah terhadap ketentuan (taqdir)
secara bulat-bulat tanpa kasab (usaha), dengan dalih bertawakal kepada Allah. Sikap
mental seperti itu mengakibatkan kehidupan faqir dengan hidup mengembara ke
berbagai tempat tanpa membawa bekal, nyaris menyiksa diri.
Faham tawakal yang menjerumus kepada fatalisme adalah
faham jabariyah yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan yang
sama sekali atas penetuan pekerjaannya, “Manusia tidak bertanggung jawab
terhadap perbuatanya yang manapun, yang seluruhnya datang dari Allah.
Faham jabariyah ini ada persesuaiannya dengan madzhab
Qurra’ dalam agama yahudi dan madzhab yukubiyah dalam agama nasrani. Tentu
saja, pengertian tawakal yang fatalistis meninggalkan ikhtiyar adalah faham
yang tidak sesuai dengan yang di harapkan oleh islam. Sebagaimana Nabi Muhammad
saw. Mengajarkan berserah diri kepada
Allah setelah habiz berusaha. Tersebutlah riwayat, pada suatu ketika datang
seorang laki-laki kepada Rasulullah. Setelah ia turun dari ontanya, ia biarkan
ontanya tidak di ikat. Rasulullah pun menanyakan hal tersebut. “Aku lepaskan
onta itu dan aku tawakal kepada Allah,” jawab orang tersebut. “I’qilhaa wa
tawakkal” (ikatlah dia, baru berserah diri kepada Allah) Nasehat Nabi.
Riwayat itu menunjukan bahwa kita harus berusaha terlebih
dahulu, yaitu mengikat onta agar tidak terlepas, baru menyerahkan keselamatanya
– bertawakal – kepada Allah. Bertawakal berarti “mewakilkan nasib diri dan
nasib usaha kita kepada Allah, sedang kita sendiri tidak mengurang-ngurangkan
usaha dan tenaga kita dalam usaha itu.”
F.Messianistis
Ajaran Messianistis yaitu suatu kepercayaan dan
pengharapan akan datangnya Messiah (Al-Masih dan Imam Mahdi) sebagai ratu adil.
Kepercayaan yang messianistis ini tampak lebih subur bila kehidupan masyarakat
goncang karena peperangan, bencana yang hebat dan lain-lainnya. Kepercayaan
yang demikian ini menimbulkan pemujaan terhadap orang orang yang di sebut Ratu
Adil.
Setelah agak panjang kita uraikan tentang ke-Mahdiah dan
ke-mahasiaan yang messianistis itu kita simpulkan bahwa: faham ke-Mahdian dalam
kalangan shufi mengambil bentuk dari Syi’ah. Mahdi dalam tasawuf ada yang menjelma
menjadi penguasa bathiniyah seperti aqthab, autad dan sebagainya disamping ada
juga kepercayaan tentang Al-Masih dan Al-Mahdi yang diharapkan akan kembali ke
dunia.
Jadi, pengharapan terhadap datangnya imam mahdi itu
merupakan personifikasi terhadap haapan akan datangnya keadilan saja akibat
selalu terjepit. Lagi pula, pengharapan akan datangnya Al-Mahdi ini mirip
dengan kepercayaan Nasrani dan Yahudi yang mengharap kedatangan Messiah, juga
mirip kaum Zoroaster yang mengharap kedatangan juru selamat yang bernama
Sosiosy yang akan lahir di Khurasan yang akan membebaskan mereka dari
perbudakan.
Lagi pua, Hadis-hadis
tentang Al-Mahdi tidak ada yang sah dan bersimpang siur (menurut Rasyid
Ridha dalam tafsir Al manar juz 9 halaman 499 s.d. 507), sedang dalam Al Qur an
tidak di sebut sebut tentang Al-mahdi , sedang hamka mengatakan
bahwa,”Dipandang dari segi Aqidah Islamiyahm, kepercayaan kepada kedatangan
Imam Mahdi itu sangatlah merusak jihad kita.”
G.Egoistis
Faham egoisme (mementingkan diri sendiri) di kalangan
tasawuf ini tercermin dari kehidupan yang isolasionistis, tidak mau hidup
bermasyarakat. Bahkan sampai melupakan keluarga, anak dan isteri tidak di beri
nafkah. Karena menyibukkan diri dalam fana (ketiadaan diri), lupa makan, minum
dan sebagainya. Sebagai contoh dapat di bawakan
riwayat Ibrohim bin Adham. Mula-mula ia sebagai seorang raja, karena
terpengaruh olh kehidupan tasawuf, ia meninggalkan kehidupan mewah di istana.
Ia tinggalkan istrinya yang baru saja melahirkan seorang anaknya, ia mengembara,
berkelana dengan hanya membawa sebuah periuk dan sekedar pakaian yang melekat
padanya saja.
Dalam ajaran islam, betapa pun nikmatnya beribadat kepada
Allah, haruslah tetap menanggung keluarga, masyarakat, dengan mempejuangkan ke
arah kehidupan yang lebih baik. Dalam hadist telah di kutip terdahulu Nabi
mengajarkan tentang keharusan mencari nafkah, bekerja, beribt, kawin makan dan
sebagainya.
Al Qur’an juga menyuruh untuk tidak melupakan dunia
walaupunsangat mengharapkan kebaikan di akhirat (Q.S Al-Qashash 77). Tetapi di
kalangan tasawuf ada kehendak untuk tidak ingin kembali lagi dari suasana
tentramnya pengalaman tunggal (dalam beribadat) itu dan kalaupun ia kembali,
karena mesti demikian, maka kemalinya itupun tidaklah memberi arti besar bagi umat
manusia. Nabi lain, kembalinya seorang nabi memberi arti kreatif, kembali
menyisipkan diri kedalam kancah zaman, dengan maksud hendak mengawasi
kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan itu pula ia mau menciptakan suatu dunia
idea baru. Ini berarti bergaul, berhubungan dengan masyarakat.
BAB VI
KOMPROMI AL-GHAZALI
Imam al Ghazali telah berjasa menghidupkan kembali agama
islam. Namun, masih ada bentuk ekstrim tasawuf yang tidak hilang dengan
konsepsi Al-Ghazali, sebab ia lebih banyak tertuju kepada pembangunan akhlak
untuk kebersihan jiwa sendiri saja, yaitu dengan memperbanyak dzikir, puasa,
tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Biar miskin tidak usah memperdulikan hiruk
piluk dunia. Terima saja taqdir menimpa tanpa berusaha, biar saja raja-raja
bertindak alim, sebab itu adalah cobaan. Dengan masih menekankan hal tersebut,
orang sufi bersifat hanya menerima apa adanya dan mengalah saja yang pada
hakikatnya masih belum sesuai dengan inti jiwa ajaran Nabi Muhammad saw.
Dengan kompromi Al-Ghazali itu, tasawuf maih mempunyai
kecenderungan membelakangi dunia.
BAB VII
MENGHINDARI
EKSTRIM-EKSTRIM TASAWUF
Dengan menyadari lalu berusaha untuk menghindari berbagai
ektrimitas yang menyelubungi tasawuf itu, diharapkan agar penganut tasawuf yang
benar, dengan menjalankan ibadat kepada Allah sesuai denan tatana syariat yang
benar, bersikap ihsan yaitu menyadari perasaan kyusyu’ dan tawadhu’. Betapa
bahagia manusia yang telah mencapai martabat seperti itu. Hal ini sesuai dengan
yang di lukiskan Al Qur’an, bahwa yang memperoleh kebahagiaan adalah orang yang
beriman, orang yang sholat nya khusu’, menjauhkan diri dari hal yang tidak
berguna. Dengan hal itu semua , insya Allah bisa menganut tasawuf yang benar
yang bertujuan “keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk pada budi
perangai yang terpuji” seperti dikatakan oleh Al-Junaid.
[1] Prof.Drs S. Wojowasito, W.J.S.
Poerwadaminta. S.A.M. Gaastra, kamus indonesia edisi populer, penerbit
Hasta,jakarta, 1971, hal. 109.